Sepakbola Tak Semudah Football Manager, Solskjaer!

Seorang pria dewasa madya baru saja selesai memasang game fantasi terbarunya. Bermodalkan user id steam milik temannya, ia tak sabar untuk memainkan Football Manager (FM). Segera ia menekan tombol main dan memulai perjalanan karier barunya sebagai manajer sebuah tim sepakbola.

Pria ini mulai mengisi personal data dengan informasi sebagai berikut: lahir pada 26 Februari 1973 di Kristiansund, Norwegia. Kemudian kolom nama diisinya dengan Ole Gunnar Solskjaer dan mendapuk Manchester United sebagai kesebelasan favoritnya.

Merasa bahwa dirinya masih muda, ia memilih bar working with youngster dan youngster knowledge kala menentukan managerial style-nya. Sayangnya, ia merelakan bar tactical-nya punya isi yang amat sedikit.

Setelah menyelesaikan pergumulannya mengenai aspek pribadi, ia lantas memilih Molde FK, salah satu raksasa asal Norwegia, sebagai tim yang akan ditukangi. Seperti biasa, para maniak FM akan merasa bangga jika sanggup membawa tim yang kurang populer beroleh prestasi.

Solskjaer memulai kisahnya dari musim 2011 dan secara fantastis, langsung membawa klub itu menjuarai Liga Norwegia (Tippeligaen) dua musim beruntun (2011 dan 2012). Seolah belum cukup, Molde asuhan Solskjaer juga merengkuh titel Piala Norwegia pada 2013. Entah berapa kali ia mengulang hasil save-nya sehingga prestasi Molde begitu mengilap.

Berkaca dari catatan itu, tim asal Wales yang berkompetisi di Liga Primer Inggris, Cardiff City, menariknya sebagai pelatih anyar di pertengahan musim 2013/2014. Target yang dibebankan ke Solskjaer pun sederhana, membawa The Bluebirds lolos dari jerat degradasi. Namun sial, upayanya tersebut gagal dan Cardiff harus rela ‘pulang kampung’ ke divisi Championship.

Kegagalan itu membuat Solskjaer memutuskan untuk balik ke negara asalnya demi melatih Molde. Kebetulan, bekas timnya tersebut memang memberi tawaran yang tak kuasa ia tolak.

Kendati membesut Molde, Solskjaer tetap memantau perkembangan tim favoritnya, United, yang beritanya terus muncul di kotak pesannya. Mimpi untuk melatih The Red Devils senantiasa menyala di dada Solskjaer.

Merupakan hal lumrah jika game FM jadi wadah para pemimpi yang ingin mengalami lonjakan karier manajerial dengan melatih tim besar tanpa harus melewati banyak rintangan. Bak gayung bersambut, performa bapuk United pada musim 2018/2019 di tangan Jose Mourinho menjadi ‘berkah’ untuk Solskjaer. Oleh pihak manajemen, pria berambut pirang ini diminta untuk jadi caretaker sampai akhir musim.

BACA JUGA:  Nasib Solskjaer dan Harapan Menjadi Pelatih 'Supersub' Manchester United

Di konferensi pers perdananya, Solskjaer dengan antusias menyebut bahwa dirinya bahagia dapat pulang ke ‘rumah’. Tak ingin salah melangkah, ia pun mengangkat Mike Phelan sebagai asisten. Sebelumnya, Phelan adalah direktur sepakbola di klub A-League, Central Coast Mariners. Setelah itu, ia merekrut beberapa orang lagi sebagai staf kepelatihannya.

Tak ingin berlama-lama, Solskjaer langsung mengajak seluruh stafnya untuk rapat. Namun entah diakibatkan minim pengalaman atau ogah merasa ribet, ia memberi tanggung jawab kepada Phelan untuk mengelola latihan tim utama dan mengurus detail-detail taktik.

Sadar bahwa kondisi psikologis pemain United sedang jeblok, Solskjaer menggunakan pendekatan khusus agar mereka dapat bangkit kembali. Hasilnya, cukup memuaskan karena United mempertontonkan grafik meningkat di tangannya. Termasuk saat menggasak Paris Saint-Germain (PSG) di babak 16 besar Liga Champions.

Membaiknya penampilan Paul Pogba dan kawan-kawan bikin nama Solskjaer disanjung publik dan media. Bahkan, ada yang mulai berani menyamakannya dengan sosok legendaris, Sir Alex Ferguson. Katanya, Ole’s at the wheel!

Akan tetapi, masa bulan madu Solskjaer dengan United tidak berlangsung lama. Berbagai nasib mujur ala pemula yang didapatkannya pada masa awal menangani The Red Devils pelan-pelan gugur satu demi satu.

Kekalahan dari Arsenal menjadi penanda kemerosotan United-nya Solskjaer. Beruntung, manajemen tetap mempercayainya dan bahkan mengganjarnya dengan kontrak sebagai pelatih permanen selama tiga musim per Maret 2019. Namuns segala masalah yang akhirnya terkuak, bikin Solskjaer hanya mampu mengantar timnya finis di peringkat enam klasemen akhir Liga Primer Inggris 2018/2019.

Rapor tersebut bikin Solskjaer mendorong pihak klub untuk merombak tim. Membeli pemain-pemain berkualitas dan membuang mereka yang dianggap tak berkontribusi tapi digaji tinggi adalah keharusan.

Matthijs De Ligt, Paulo Dybala, Bruno Fernandes sampai James Maddison jadi buruan United jelang musim 2019/2020. Sialnya, tak satu pun dari mereka yang sukses dibawa ke Stadion Old Trafford. Solskjaer pun harus puas dengan Daniel James, Harry Maguire, dan Aaron Wan Bissaka sebagai rekrutan anyar United. Padahal, mereka hanya berkategori pemain bintang tiga dan empat. Berbeda dengan nama-nama yang masuk daftar incaran.

Sementara figur-figur semisal Alexis Sanchez, Ander Herrera, Romelu Lukaku, dan Chris Smalling, dilepas (baik secara permanen atau pinjaman) ke kesebelasan lain.

BACA JUGA:  Seburuk Apa Duet Maguire dan Lindelof?

Realita yang ada dengan ekspektasi sepanjang bursa transfer berbanding terbalik. Mau tidak mau, Solskjaer kudu bekerja dengan apa yang ia miliki. Tidak lebih, tidak kurang. Perkara negosiasi transfer, United memang semakin rumit dan kikir sekarang.

Bergulirnya musim kompetisi 2019/2020 disambut dengan optimisme yang cukup tinggi. Terlebih, anak asuh Solskjaer sanggup meluluhlantakkan Chelsea asuhan Frank Lampard di laga perdana via skor akhir 4-0.

Ketika harapan mulai membubung, Solskjaer malah kehilangan kendali. Berbagai problem yang mendera, tak sanggup ia carikan solusinya. Teraktual, United dipecundangi Bournemouth di Stadion Vitality dengan skor tipis 1-0 pada hari Sabtu kemarin (2/11).

Imbasnya, Pogba dan kawan-kawan saat ini tersendat di posisi sepuluh klasemen sementara berbekal tiga belas angka. Dari sebelas partai yang sudah mereka lakoni, United hanya menang tiga kali, tapi imbang dan keok sebanyak empat kali.

Penampilan lumayan di kompetisi Piala Liga dan Liga Europa, tak membuat suporter fanatik United puas. Mosi tidak percaya mulai digalakkan dengan mengumandangkan tanda pagar #OleOut di media sosial.

Pendukung United sejatinya terbelah dua. Ada yang mendukung Solskjaer, ada pula yang tidak. Mereka yang mendukung merasa bahwa sumber masalah utama di The Red Devils bukanlah Solskjaer, melainkan pihak manajemen yang dikepalai Ed Woodward. Sedangkan yang tidak mendukung menganggap Solskjaer memang bukan sosok kompeten buat menangani tim.

Permainan fantasi di FM mungkin memudahkan siapa saja untuk beroleh kesuksesan dan menyelesaikan segala masalah yang dihadapi. Jika penampilan tim sedang buruk, tinggal berikan team talk dengan nada marah di ruang ganti dan pemain bisa termotivasi. Andai pemain tegang kala bertanding, instruksikan saja mereka untuk bermain lebih tenang dan semua akan baik-baik saja.

Akan tetapi, gambaran Solskjaer bermain FM tersebut (karena dirinya memang gemar memainkan game itu) berbanding terbalik dengan kenyataan. Kesulitan-kesulitan yang ada, baik karena krisis hasil, friksi di ruang ganti, mentalitas tim yang anjlok, kudu dibereskan secara sistematis sebab tak ada fitur load game yang memungkinkannya untuk kembali ke simpanan data terakhir guna mengulang permainan.

Bila tak sanggup menyudahi periode negatif yang dialami United saat ini, maka tak perlu terkejut manakala membaca atau mendengar berita tentang pencopotan Solskjaer dari kursi kepelatihan.

Komentar
Dibuat masokis oleh Manchester United. Senang bercanda di podcast Football Meter. Bisa disapa di akun twitter @stefapridita.