Sepakbola yang Menyatukan Palestina dan Israel
Kalau saya mendengar nama kota Palestina, yang terngiang dalam benak adalah konflik yang menyangkut kedua negara yaitu Palestina dan Israel. Berkepanjangan sejak tahun 1948 hingga kini. Berarti, tahun 2019 telah genap konflik berumur 71 tahun.
Padahal, dua negara itu sejatinya bersahabat. Bahkan, sebelum kedua negara itu memiliki nama resmi Palestina dan Israel. Persahabatan macam apa yang pernah diciptakan? Salah satunya melalui sepakbola.
Bermula dari tahun 1900. Di kota Jerusalem terdapat sekolah yang memiliki klub sepakbola. Klub itu bernama St. George School. Suatu ketika di tahun 1908, anak-anak yang bersekolah di sana melakukan uji tanding dengan American University of Beirut di Beirut.
Setahun berikutnya, giliran anak-anak Beirut bertandang ke Jerusalem. Yang dituju bukan St. George School melainkan Jerusalem Youth School. Dan, berkat pertandingan di Jerusalem tahun 1909, nama Jerusalem mulai dikenal sebagai tempat permulaan sepakbola. Selain Jerusalem, terdapat pula nama Jaffa dan Haifa yang kelak akan menjadi salah satu klub Israel paling disegani di Eropa.
Pasca berakhirnya Perang Dunia I –yang sempat membuat sepakbola di sana terhenti— Jerusalem mencoba membangkitkan gairah sepakbola melalui peran Inggris.
Ya, boleh dibilang Inggris yang mengontrol beberapa wilayah Timur Tengah, termasuk Jerusalem. Atas bantuan Inggris, dibentuklah Jerusalem Sports Club pada tahun 1920. Sepakbola berkembang dengan pesat bersamaan dengan cabang olahraga lain seperti tenis dan kriket.
Ada sesuatu yang unik ketika menjelang akhir tahun 1920. Klub-klub sepakbola di sana ingin memberikan batas antara hubungan agama dengan olahraga seperti yang dilakukan The Dajana Sports Club of Jerusalem dan beberapa klub Ortodoks. Mereka mencoba keluar dari pengaruh gereja.
Mereka percaya bahwa pengaruh gereja justru akan memperburuk sportivitas tim. Sebab, sepakbola harus mencakup semua. Melintasi batas ras, kultur, maupun agama sekali pun. Akhirnya sepakbola berkembang pesat hingga klub berjumlah lebih dari 30.
Klub-klub yang muncul rata-rata memang menggunakan nama agama. Seperti Islamic Sports Club dan Orthodox Sports Club. Namun, itu tak berarti membatasi anggota hanya terdiri dari Islam saja atau Ortodoks. Mereka berkelindan.
Meskipun begitu, tetap saja ada kerikil yang bertebaran. Salah satunya gerakan Zionis. Zionis merasa bahwa olahraga bisa menjadi alat politik yang mumpuni. Menyalurkan aspirasi sekaligus menguatkan dukungan. Dan jangan salah, Zionis sudah beranggapan demikian sejak 1925. Jauh sebelum negara Israel berdiri.
Maka dilancarkan provokasi demi provokasi. Mereka mendirikan klub bernama Maccabi yang diambil dari kemerdekaan Yahudi saat abad kedua sebelum Masehi. Setelahnya, mereka mengibarkan bendera Zionis di samping bendera Inggris di Jerusalem. Tentu saja, ini menuai polemik. Salah satunya yang bersuara keras adalah Asosiasi Muslim-Kristen (AMK). AMK menilai bahwa Zionis berusaha merusak intisari sepakbola.
Celakanya, masalah ini kian berlarut ketika Maccabi berusaha meraih simpati dari FIFA. Maccabi mencoba meng-identitas-kan diri sebagai klub yang mewakili Jerusalem. Tapi, FIFA menolak karena Maccabi tak terafiliasi ke dalam suatu negara. Usaha gagal walaupun hanya sebentar. Sebab, mereka lagi-lagi melobi FIFA.
Caranya cukup cerdas. Mereka membentuk Palestina Football Association (PFA) kemudian membentuk liga yang tidak hanya mengundang orang-orang Zionis, tapi juga orang-orang Arab.
Bahkan, mereka mempersilakan Arab untuk membentuk sebuah klub. Kemudian diberi nama Arab Sports Club of Jerusalem. FIFA luluh. PFA diizinkan membuat liga pada tahun 1929. Dan, liga pun berlangsung sampai tahun 1947.
Nah, kerumitan kembali terjadi. Zionis berusaha memaksakan bahasa Hebrew sebagai bahasa resmi PFA. Dan, mereka berusaha mengeluarkan klub-klub Arab dari PFA. Apakah mereka berhasil? Tentu saja. Dengan bantuan Inggris, semuanya berjalan lancar. Ada kuasa di dalam sepakbola.
Dari situ, Zionis berkuasa. Mereka memaksa negara-negara Arab macam Mesir, Lebanon, dan Suriah untuk tidak mengakui klub Arab yang berafiliasi di Jerusalem. Di periode ini, kerumitan sepakbola dibawa layaknya benang kusut. FIFA pun ogah terbawa masalah politik antara Arab dan Zionis. Oleh sebab itu, daripada menambah masalah, FIFA mempersilakan Arab Palestina untuk mendirikan asosiasi baru. Kemudian, asosiasi tersebut diberi nama Arab Palestina Sports Federation (APSF). Harapannya sederhana. Mampu mengakomodasi orang-orang lokal Islam dan Kristen yang tergerus karena Zionis.
Kemudian, berkembanglah APSF. Walaupun, tentu saja banyak jalan terjal karena Zionis berusaha mengganggu keberlangsungan APSF. Menggagalkan klub-klub yang ingin bertanding melawan klub dari negara lain hingga mencegah kembalinya klub Arab untuk melebur bersama PFA. Dalam artian, APSF dihilangkan sehingga hanya PFA saja.
Respon itu baru hadir ketika tahun 1944. PFA mengadakan liga yang terdiri dari Arab, Zionis, Inggris hingga Yunani. Liga berlangsung. Meskipun pada akhirnya, liga harus terhenti ketika awal tahun 1948. Perang Arab-Israel dimulai. Sepakbola pun harus sementara waktu dihentikan.