Solidaritas dan Berbagai Penghambat Juara Arsenal

Anda boleh saling berbeda pendapat tentang tim yang kelak menjuarai Liga Utama Inggris musim 2015/2016, tetapi Anda tidak dapat menampik bahwa kompetisi yang kerap dijuluki liga terbaik seantero dunia tersebut musim ini menyajikan kejutan dan sensasi luar biasa dari pekan ke pekan.

Tentu tidak banyak pihak menyangka Leicester City bisa bertahan di peringkat dua klasemen hingga pekan ke-22. Kejutan lainnya datang dari sang juara bertahan musim lalu, Chelsea, yang terombang-ambing di papan bawah klasemen terpaut hanya beberapa poin dari zona degradasi.

Namun dari semua kejutan sepanjang perhelatan Liga Primer Inggris, yang tak kalah menarik untuk dibahas adalah bagaimana cara Arsenal bisa berada di puncak klasemen dengan performa yang relatif labil. Bahkan untuk fenomena ini, netizen sudah menyiapkan lelucon khusus sejak beberapa tahun silam.

Mereka mengumpamakan Arsenal yang sedang berada di pucuk klasemen sebagai gajah, tiada seorang pun tahu caranya berada di sana, tapi semua orang tahu bahwa dia akan terjatuh suatu saat nanti.

Terdengar pedih memang, tetapi itulah kenyataan pahit yang mereka rasakan pada musim 2013/2014. Arsenal sangat perkasa dan solid dari matchday ke-4 sampai perrtandingan ke-24, kemudian terseok-seok di akhir musim karena inkonsistensi.

Beruntung peforma apik Lukasz Fabianski dan Aaron Ramsey mampu menyelamatkan wajah Arsene Wenger dan pendukung Arsenal di hadapan dunia. Di tengah kondisi dan permainan tim yang labil, Fabianski mampu membawa Arsenal ke babak final Piala FA 2013-14 lewat adu penalti.

Aaron Ramsey menjelma sebagai juru selamat Arsenal di pertandingan final. Gol tunggalnya pada babak waktu tambahan mengakhiri paceklik gelar klub London Utara tersebut setelah terakhir kali menjadi juara di piala FA 2004/2005.

Kembali lagi ke kiprah Arsenal di Liga Primer Inggris.

Pertanyaan yang kali ini timbul adalah, apa penyebab Arsenal gagal mempertahankan puncak klasemen setelah terakhir kali juara pada tahun 2004? Apakah musim ini mereka akan bernasib sama dengan musim-musim sebelumnya sehingga kesempatan mengangkat trofi liga juga pupus?

BACA JUGA:  Menimbang Kehadiran Eric Bailly di Manchester United

Bicara Arsenal, maka kita bicara solidaritas, badai cedera, dan inkonsistensi performa.

Arsenal, sebagaimana tercantum dalam semboyan klub, selalu mengedepankan keharmonisan dan kedekatan antar pemain. Victoria Concordia Crescit, kemenangan berawal dari keharmonisan.

Sebagai manajer yang baik, tentu Arsene Wenger berambisi untuk mewujudkannya demi memuaskan para pendukung Arsenal dan penikmat sepakbola lainnya. Maka Wenger menerapkan filosofi bermain Arsenal Way yang tak hanya sedap dipandang mata, tapi juga mampu menghasilkan sebuah kemenangan.

Sayangnya, keharmonisan tersebut dapat menjelma bak pedang bermata dua. Arsenal Way kerap gagal jika materi pemain yang diturunkan bukan tim inti, apalagi Arsenal sering dilanda badai cedera setiap musim sehingga Wenger kehabisan akal untuk menyesuaikan taktik. Belum lagi keharmonisan pemain tak hanya terjalin dalam kebaikan, tetapi juga dalam keterpurukan.

Jika Arsenal Way berjalan mulus, Arsenal mampu mengalahkan klub mana pun, termasuk Barcelona era Pep Guardiola dan Bayern München era Jupp Heynckes yang pada masanya menjadi klub terkuat di Eropa. Namun jika Arsenal Way tak berjalan dengan semestinya, Arsenal dapat dipermalukan oleh klub mana pun bahkan dari divisi League One dan League Two.

Mantan kapten Arsenal, Tony Adams, pernah menuturkan dalam wawancara dengan The Telegraph bahwa George Graham unggul jauh dalam hal taktik daripada Arsene Wenger.

“George adalah seorang pelatih yang luar biasa. Defensif, struktural, dan kemampuan teknisnya bagi saya jauh lebih baik. Tidak bermaksud tak adil dengan Arsene.”

“Seorang pelatih memiliki kekuatan dan kelemahan. George, pengorganisasiannya. Sementara itu, Arsene adalah seorang ahli fisiologi dan psikologi. Di situlah ia unggul. ”

Pernyataan Adams menyiratkan bahwa Wenger miskin taktik. Selama pemain inti masih mampu bermain, maka Wenger akan menurunkan mereka tiada hentinya dari satu pertandingan ke pertandingan lainnya. Wenger hanya menyiapkan satu winning team dalam satu musim. Hingga saat mereka cedera, Wenger akan menyiapkan taktik yang sama, tetapi dengan komposisi pemain yang berbeda.

BACA JUGA:  Hannover, Paris, dan Kenapa Terorisme Lebih Kejam dari Pembunuhan?

Seorang pelatih yang banyak menelaah persoalan taktik seperti yang dilakukan oleh George Graham tentu akan menyiapkan pondasi tim yang solid dan menghindari ketergantungan terhadap satu atau dua pemain. Graham terkenal lewat strategi bertahan yang sangat disiplin, terdiri dari empat bek yang dipimpin oleh Tony Adams, serta Lee Dixon, Steve Bould, dan Nigel Winterburn.

Gelandang dan striker Arsenal pada eranya juga memiliki kapabilitas dan mobilitas tinggi, seperti David Rocastle, Michael Thomas, Paul Merson, Alan Smith, dan Ian Wright. Graham tidak banyak mengutak-atik posisi pemainnya, meskipun ada beberapa pemain yang versatile.

Kalau kita baca dari kisah-kisah para pesepak bola yang diasuh oleh Arsene Wenger, hampir semua memiliki perlakuan yang sama: diberi kasih sayang layaknya seorang anak kandung, jarang diomeli, dan sering diubah posisinya dalam tim.

Apa yang Wenger lakukan kepada mereka ini, sadar atau tidak disadari, menumbuhkan keharmonisan dan mengembangkan kreativitas mereka. Namun di sisi lain, mereka jadi pribadi yang kurang kompetitif, mudah tertekan, dan kurang fokus karena tidak memiliki peran dan penempatan yang jelas.

Kita mafhum menjadi pemain sepak bola tidak hanya mengandalkan fisik, intelegensi, dan kesetiakawanan saja. Perlu kesadaran diri untuk membangun dan merawat mental yang kuat untuk meraih kesuksesan.

Mental yang kuat dapat terbentuk lewat kebiasaan pemain dan binaan sang pelatih. Dalam membangun mental juara Arsenal, tentu Wenger belum memaksimalkan segala potensi yang ada meskipun ia tetap mawas diri agar kesalahan yang serupa tidak terulang.

Dengan solidaritas, mental juara yang mulai terbentuk, para pemain yang segera kembali merumput usai dilanda cedera, serta inkonsistensi klub-klub lain di Liga Primer, sudah sepantasnya Arsenal juara musim ini. Jika Arsenal tidak menghancurkan semua penghambat, mereka tetap akan menjadi gajah yang tak sadar dirinya mampu berada di ketinggian, tetapi juga tidak mampu menahan diri untuk tidak jatuh.

 

Komentar
Penonton sepak bola layar kaca setiap akhir pekan. Kontributor beberapa media (kurang terkenal) dan narablog (yang juga kurang terkenal). Bisa dihubungi melalui akun twitter @yusabdul.