Surat untuk PSSI: Demi Timnas Putri, Ikutilah Jejak Lyon

Tim nasional Indonesia ke Piala Asia! Begitu headline sejumlah media. Namun patut diingat, yang akan bermain di ajang itu bukanlah Timnas Putra melainkan Timnas Putri.

Kalimat-kalimat berbahasa Inggris dengan deras meluncur dari bibir Zahra Muzdalifah. Wajahnya semringah.

Berulang kali senyum tersungging di bibir penggawa timnas putri tersebut kala menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan wartawan.

Tentu, rasa lelah itu ada, tetapi apalah artinya itu semua jika dibandingkan dengan pencapaian yang baru saja ditorehkannya?

Dua kemenangan, masing-masing 1-0, atas Singapura membawa Timnas Putri Indonesia lolos ke putaran final Piala Asia 2022 yang dihelat di India.

Akhirnya, setelah terakhir kali berlaga di ajang tersebut pada tahun 1989, Indonesia bakal kembali beraksi di sana.

Keberhasilan Zahra dan kawan-kawan memang menyisakan sedikit keraguan lantaran kelolosan mereka tak bisa dilepaskan dari absennya Irak dan Korea Utara dari babak Kualifikasi. Pandemi virus corona jadi alasan di balik kemunduran mereka.

Akan tetapi, kesuksesan anak asuh Rudy Eka Priyambada itu juga tak bisa dipandang sebelah mata. Bagaimana tidak? Liga saja Indonesia tidak punya.

Pada Februari 2021 lalu, Rudy Eka harus menggelar seleksi terbuka, di mana semua pemain kelahiran 2002 ke atas boleh ikut serta.

Rudy Eka bahkan mesti blusukan ke sekolah-sekolah sepakbola (SSB) di daerah untuk mencari pemain. Hasilnya, 38 nama terjaring dan dari sana dikerucutkan lagi menjadi 20 pemain.

Ke-20 pemain itulah yang diterjunkan dalam dua laga Kualifikasi Piala Asia 2022 melawan Singapura. Dua kemenangan diraih dan tiket putaran final digenggam.

Keberhasilan ini seketika mengingatkan banyak orang Indonesia (termasuk saya sendiri) bahwa sepakbola putri di negeri ini punya potensi besar.

Tanpa ada liga saja, Safira Ika Putri dan kolega bisa meraih dua kemenangan atas Singapura. Bayangkan apabila ada kompetisi yang rutin dan terstruktur digelar setiap tahunnya.

BACA JUGA:  Bagaimana Cara Menjadi Pelatih Sepakbola di Indonesia?

Pada 2019 lalu, Liga 1 Putri sebetulnya sudah pernah digelar, di mana Persib keluar sebagai pemenang.

Saya ingat betul ucapan Chief Executive Officer (CEO) Mola TV, Mirwan Suwarso, dalam sebuah acara pertemuan dengan wartawan kala itu. Mola TV sendiri merupakan broadcaster resmi kompetisi Liga 1 Putri edisi perdana itu.

Menurut Mirwan, Liga 1 Putri adalah program Mola TV yang paling laku! Mirwan kala itu tidak menjelaskan secara mendetail berapa angkanya. Namun saya tak yakin dia mengada-ada dan, tentunya, ini sesuatu yang mengejutkan.

Pasalnya, sejak awal pun Mola TV sudah menyiarkan program-program olahraga berkelas dunia. Artinya, Liga 1 Putri memang punya daya tarik. Soal apa yang menjadi daya tarik, itu urusan belakangan.

Mungkin ada banyak yang menonton kompetisi Liga 1 Putri karena mencari “pemain cantik”, mungkin juga ada yang dengan sengaja menonton untuk mencari kekurangan kompetisi ini.

Pada akhirnya, mereka menonton juga dan ini adalah awalan bagus bagi sebuah kompetisi yang sebelumnya terdengar asing sekali di kuping orang Indonesia.

Liga 1 Putri mestinya bisa menjadi ceruk yang dapat dieksploitasi oleh dunia persepakbolaan Indonesia.

Kompetisi ini dapat menjadi alternatif bagi kompetisi Liga 1 Putra yang, terkadang, lebih menonjol sisi kontroversialnya.

Kelolosan Timnas Putri ke India tahun depan mestinya dijadikan momentum untuk menghidupkan kembali Liga 1 Putri yang potensial ini.

Perlu diketahui, sepakbola putra dan putri seperti berada dalam dua dunia berbeda. Ada negara-negara yang begitu menonjol di sepakbola putri tetapi melempem di sepakbola putra.

Tengok saja Piala Dunia Wanita dan Olimpiade sebagai gambaran mudahnya. Di sepakbola putri, negara-negara macam Amerika Serikat, Kanada, dan Swedia bisa begitu digdaya. Bahkan, Thailand saja sudah bisa berkiprah di ajang Piala Dunia Wanita.

BACA JUGA:  Peran Penting Klub dalam Reformasi Sepakbola Indonesia

Contoh lain bisa tampak di kompetisi Liga Champions Wanita. Di ajang ini, klub yang punya gelar terbanyak bukan Real Madrid, AC Milan, Bayern Munchen, atau Liverpool, melainkan Olympique Lyonnais.

Sudah tujuh kali Lyon berhasil menjadi kampiun Liga Champions Wanita. Padahal, klub asal Prancis ini baru dibangkitkan oleh Presiden Jean Michel Aulas pada tahun 2004.

Oh, ya. Selain tujuh titel Liga Champions Wanita, Lyon juga sudah mengumpulkan 14 trofi Ligue 1 Wanita sejak Aulas membangkitkan mereka.

Rahasia kesuksesan Lyon itu sederhana saja yakni keseriusan Aulas. Aulas yang dibesarkan dengan prinsip egalitarian oleh ayah dan ibunya itu memang menginginkan kesetaraan dalam sepakbola antara pria dan wanita.

Pada 1987, Aulas menyelamatkan tim putra Lyon dari keterpurukan. Pelan tapi pasti, dia membangun tim kompetitif yang akhirnya bermuara pada keberhasilan meraih tujuh gelar Ligue 1 beruntun pada dekade 2000-an.

Cara ini diterapkan pula oleh Aulas ke tim putri. Aulas mengakuisisi FC Lyon pada 2004 dan menjadikannya tim putri klubnya.

Karena biaya operasional sepakbola putri tidak semahal sepakbola putra, Aulas pun bisa lebih leluasa bergerak mendatangkan pemain kelas satu.

Sebut saja Ada Hegerberg, Amandine Henry, Danielle van de Donk, lalu Tiane Endler. Ini belum termasuk pemain jebolan akademi seperti Wendie Renard, Amel Majri, dan Delphine Cascarino. Semua nama yang disebutkan itu adalah pemain-pemain kelas dunia.

Kembali ke Liga 1 Putri, federasi sepakbola Indonesia (PSSI) mestinya bisa dan mau mengikuti jejak Aulas.

Akui saja bahwa mengejar ketertinggalan di sektor putra sudah sangat sulit. Namun, jarak di sektor putri masih amat mungkin diperkecil karena peta persaingannya memang tidak sama.

Tentu saja, cara satu-satunya untuk memperkecil jurang perbedaan itu adalah dengan menggelar kompetisi resmi secara rutin.

Hanya itulah ucapan terima kasih yang dibutuhkan dan pantas didapatkan oleh para penggawa Garuda Pertiwi.

Komentar
Punya fetish pada gelandang bertahan, penggemar calcio, dan (mencoba untuk jadi) storyteller yang baik. Juga menggemari musik, film, dan makanan enak.