Tak Ada Wine Nikmat di Prancis Hari Ini

Di setiap pagelaran akbar suatu turnamen sepak bola, baik yang digagas oleh induk organisasi sepak bola dunia FIFA, maupun konfederasi tiap-tiap benua semisal UEFA, CONMEBOL, AFC dan lainnya, akan selalu ada pihak yang bertindak sebagai tuan rumah hajatan tersebut.

Alasannya apalagi kalau bukan efektivitas penyelenggaraan, efisiensi biaya serta jatah giliran yang didapat suatu negara sesuai ketentuan yang dibuat masing-masing konfederasi.

Melalui sebuah proses voting yang cukup alot pada Mei 2010 yang lalu, UEFA yang ketika itu dipimpin oleh Michel Platini menetapkan Prancis sebagai tuan rumah Euro alias Piala Eropa 2016. Negeri anggur menyingkirkan Italia dan Turki yang juga mengajukan diri sebagai tuan rumah ajang empat tahunan ini.

Keputusan itu membuat Prancis langsung berbenah guna menyiapkan banyak venue untuk kejuaraan sepak bola antarnegara paling wah di benua biru tersebut.

Beberapa stadion seperti Bollaert-Delelis di Lens, Velodrome di Marseille dan Geoffroy-Guichard di Saint-Etienne direnovasi. Sementara di kota Bordeaux, Lille, Lyon dan Nice, dibangun stadion gres yang lebih representatif untuk ajang semegah Euro.

Selain menyiapkan segala fasilitas yang dibutuhkan, Prancis juga mati-matian membenahi timnas mereka yang mengalami dekadensi prestasi setelah Piala Dunia 2006.

Pensiunnya figur legendaris bernama Zinedine Zidane usai turnamen tersebut memang berpengaruh amat besar bagi timnas berjuluk Si Ayam Jantan –merujuk pada logo federasi sepak bola Prancis yang berupa Ayam Jantan Gallia– ini.

Memang masih ada sosok Thierry Henry, Franck Ribery atau Patrick Vieira yang amat sentral kehadirannya untuk tim, pun begitu dengan penggawa muda penuh talenta semisal Karim Benzema dan Hugo Lloris kala itu.

Namun siapa yang bisa menepis anggapan bila Zidane merupakan ujung tombak kesuksesan Prancis bersama generasi emasnya kala mengawinkan trofi Piala Dunia 1998 dan Euro 2000.

Transisi dari generasi emas menuju generasi baru tentu bukan hal yang mudah dilakukan dan Prancis tahu betul akan hal itu. Hancur lebur di Euro 2008 serta berlumur nista di Piala Dunia 2010 jadi pelajaran sekaligus cambuk penyemangat.

BACA JUGA:  Oriundo Pesanan Mussolini

Prancis tak sedikit pun merasa jeri dan siap menanggung semua cacian yang akan dilontarkan semua pihak. Namun mereka juga percaya bila melahirkan satu generasi jempolan yang tangguh memerlukan proses panjang yang makan waktu.

Hasil-hasil minor kembali diperoleh saat terjun di Euro 2012 dan Piala Dunia 2014. Pasukan Les Bleus hanya mampu finis sebagai perempat finalis di dua pagelaran itu usai ditumbangkan lawannya, masing-masing Spanyol dan Jerman. Uniknya, La Furia Roja dan Der Panzer malah keluar sebagai kampiun di dua turnamen tersebut.

Dan Euro 2016 benar-benar dijadikan momen oleh Prancis untuk mengembalikan status sebagai salah satu raja sepak bola Eropa dan dunia. Berbekal materi pemain dengan kualitas jempolan seperti Antoine Griezmann, Dimitri Payet, dan Paul Pogba serta kecerdasan Didier Deschamps sebagai juru taktik, Prancis tentu tak bisa dipandang sebelah mata.

Segunung harapan dan sejuta beban dari seluruh rakyat L’Hexagone hinggap di pundak para penggawa Prancis.

Melalui perjalanan yang cukup panjang meski disebut mudah oleh beberapa kalangan, Prancis akhirnya mampu mentas di laga final Euro 2016. Di fase grup, Lloris dkk. sanggup mengangkangi Albania, Rumania dan Swiss untuk kemudian menjungkalkan Republik Irlandia di fase perdelapan final.

Tim debutan nan mengejutkan, Islandia, jadi tim yang ditenggelamkan pada babak perempat final. Sedangkan salah satu favorit utama di Euro 2016, Jerman, jadi penghadang di semifinal.

Akan tetapi lewat performa gemilang Griezmann yang menceploskan dua gol ke gawang Manuel Neuer, Les Bleus sukses menghadiahi kubu Der Panzer tiket pulang.

Pada babak final, Prancis berhadapan dengan timnas Portugal yang dihuni nama-nama tenar seperti Cristiano Ronaldo, Luis Nani, dan Pepe. Namun aksi “pas-pasan” Portugal di sepanjang turnamen membuat Prancis tetap diunggulkan.

Jika dirunut lebih jauh, ada sesuatu yang menarik antara Prancis, babak final dan status sebagai host. Sepanjang sejarah, Prancis telah menggelar beberapa turnamen besar di halaman sendiri yakni Euro 1960, Euro 1984, Euro 2016, Piala Dunia 1998 dan Piala Konfederasi 2003.

BACA JUGA:  Api Kebencian terhadap The Sun

Dari lima kesempatan itu, Prancis empat kali menapaki final yakni di Euro 1984, Piala Dunia 1998, Piala Konfederasi 2003 dan yang teraktual, Euro 2016.

Naasnya, dari empat partai puncak itu justru di laga terakhir Prancis harus meratapi kegagalan karena gol semata wayang Eder sudah cukup bagi Portugal untuk memboyong trofi Henri Delaunay ke semenanjung Iberia. Torehan mengesankan Prancis tatkala berlaga di final yang berlangsung di depan publik sendiri pun ternoda.

Patut diingat bahwa pada Euro 1984, Prancis yang saat itu dimotori Platini berhasil merengkuh trofi perdana mereka di kompetisi ini usai menggasak Spanyol dengan kedudukan akhir 2-0 lewat gol yang diciptakan Platini dan Bruno Bellone.

Sementara di Piala Dunia 1998, heroisme kubu Ayam Jantan saat tampil di depan suporternya sendiri sanggup menggunduli Brasil dengan skor mencolok 3-0 via dua gol sundulan Zidane dan satu sepakan Emmanuel Petit. Ini juga gelar pertama Les Bleus di ajang Piala Dunia.

Prancis lagi-lagi berhasil menggondol gelar juara disaat mereka tampil di final Piala Konfederasi 2003 setelah golden goal Thierry Henry di menit ke-97 menyudahi perlawanan Kamerun.

Partai ini sendiri dibalut duka mendalam pasca-kepergian Marc-Vivien Foe, gelandang Kamerun yang menghembuskan nafas terakhir di lapangan akibat serangan jantung ketika tampil di partai semifinal.

Tatapan nanar Patrice Evra dan Griezmann, air mata yang membanjiri kelopak mata Lloris dan Pogba seusai peluit akhir dibunyikan wasit Mark Clattenburg menjadi pemandangan pahit yang mesti disaksikan pendukung Les Bleus di Stade de France maupun penjuru dunia. Sungguh malam yang kelam dan menyedihkan.

Tak ada pesta wine Romanee-Conti untuk Prancis kali ini.

 

Komentar