Taktik Bukan Hal Utama dalam Sepak Bola Inggris

Apa yang diingat tim nasional Inggris dalam momen Piala Dunia sepanjang masa? Juara dunia di rumah sendiri? Kekalahan dari Diego Maradona seorang? Kartu merah David Beckham? Kegagalan di momen-momen adu penalti? Atau tidak disahkannya gol Frank Lampard?

Oke. Barangkali Anda bisa menambahi banyak lagi momen-momen tim nasional yang selalu menjadi favorit juara di setiap gelaran Piala Dunia ini—paling tidak sejak menjadi juara di tanah sendiri tahun 1966.

Sebagai negara yang mengklaim sebagai “penemu” sepak bola modern, tentu kita akan mengeryitkan dahi begitu melihat daftar kejuaraan internasional yang dimiliki oleh Inggris.

Hanya satu juara dunia dan sama sekali belum pernah menjuarai Piala Eropa, sebuah capaian yang tidak bisa dibilang bagus untuk tim dengan kultur sepak bola seperti Inggris. Satu-satunya “prestasi” Inggris adalah menjadi satu-satunya tim juara dunia yang belum pernah menjuarai piala Eropa. Hanya itu.

Sebanyak 93.000 penonton di Wembley, London, Ratu dan Pangeran Philips, serta sekitar 400 juta pasang mata dari siaran langsung televisi menjadi saksi bahwa “sepak bola telah kembali ke tanah kelahirannya”—begitu para media Inggris menjuluki keberhasilan tim nasional mereka mengalahkan Jerman Barat di final Piala Dunia 1966.

Prestasi ini jelas sangat membanggakan. Bukan saja karena ini momen pertama Inggris berhak menyandang sebagai tim raksasa dunia, namun karena Inggris melakukannya di saat Brasil masih diperkuat dua legendanya yang fenomenal; Pele dan Garincha, Portugal masih diperkuat “The Black Panther” Eusebio, dan Inggris dipandang remeh oleh rakyatnya sendiri

Maklum saja rakyat Inggris memandang remeh. Dipermalukan oleh Amerika Serikat di 1950, dihancurkan “Magical Magyars” Hungaria pada 1953, dibantai 2-5 oleh Prancis tahun 1963, dan tidak bisa bicara banyak di Piala Dunia sebelumnya membuat Inggris tidak lagi dilihat sebagai tim yang berpeluang.

Ketika semua raksasa sampai ke tanah Inggris; Brasil, Jerman Barat, Uruguay, Hungaria, Italia, dan Argentina. Rakyat Inggris percaya bahwa Piala Jules Rimet hanya akan “sekadar” singgah di tanah Britania untuk segera dibawa pulang oleh salah satu dari tim nasional tersebut.

Barangkali salah satu orang yang begitu yakin Inggris akan juara hanyalah sang manajer Sir Alf Ramsey. Ia tetap berpikir positif di saat semua staf pelatih dan pemain Inggris tidak begitu yakin tim mereka akan bicara banyak.

Pesimisme rakyat Inggris bahkan tidak juga berakhir meskipun mereka berhasil menembus semifinal dan bertemu dengan Eusebio, peraih gelar Pemain Terbaik Eropa satu tahun sebelumnya.

Eusebio memang mencetak gol, namun gol tersebut tidak cukup bagi Portugal karena Bobby Chaltron berhasil mencetak satu gol lebih banyak dan membuat Inggris mengunci satu jatah final melawan Jerman Barat, yang sukses menaklukkan kiper legendaris Lev Yashin dari Uni Soviet di semifinal.

BACA JUGA:  Nostalgia Euro 1996 Sebagai Tantangan Bagi Inggris

Pertandingan final di Wembley, sampai waktu normal 90 menit, kedudukan masih imbang 1-1. Wolfgang Weber berhasil menunda Inggris merayakan pestanya pada menit-menit akhir babak kedua. Memasuki perpanjangan waktu, Alec Weeks, wartawan BBC di Wembley saat itu mengungkapkan kesaksiannya.

“Memasuki perpanjangan waktu, kaki-kaki supoter mulai menggetarkan lantai stadion dan diiringi teriakan; “England, England, England’,” kata Weeks. “Bahkan kamera ikut bergetar, stadion hampir rubuh. Aku tidak akan pernah lupa. Itu pasti jadi motivasi besar bagi para pemain.”

Saat tendangan Geoff Hurst mengenai mistar dan memantul ke garis gawang, dan untuk beberapa detik wasit menghentikan pertandingan karena tidak yakin terjadi gol atau tidak, para penonton di stadion setengahnya sudah bersorak, setengahnya terdiam menunggu keputusan Tofik Barkhmov.

Ketika hakim garis dari Soviet ini menganggukkan kepala dan wasit menunjuk titik kick off, maka setengah penonton yang terdiam tadi segera larut dalam ledakan euforia. Keputusan yang kontroversial bagi pihak Jerman Barat.

Dengan mental yang sudah hancur di pihak Jerman Barat, Hurst kembali mencetak gol untuk melengkapi hatrrick. Tanah Britania segera berubah menjadi lautan manusia yang merayakan keberhasilan Inggris menjadi juara dunia untuk pertama kalinya. Inggris menang 4-2.

“Ini adalah kebanggaan nasional. Saya ingat suasana di Trafalgar Squere, dan itu sesuatu yang mirip dengan Victory Day (kemenangan Inggris dalam Perang Dunia II) dalam bayangan saya,” ujar Barry Davies, komentator ITV yang menyiarkan langsung pertandingan tersebut.

Ya, memang, Inggris berada di puncak dunia saat itu. Tapi sayangnya hanya untuk saat itu. Tak pernah kembali terulang.

Bangsa singa dan ksatria

“Inggris masih terlalu mengandalkan kekuatan (fisik) dan itu kelemahannya. Mereka sudah kalah dengan cara itu selama 60 tahun,” ujar David Winner, penulis buku Brilliant Orange kepada CNN.

Setiap penggemar sepak bola paham benar maksud Winner. Jika Anda menonton Liga Inggris di akhir pekan, Anda jelas akan menyadari bagaimana orang Inggris lebih menghargai permainan sepak bola dengan etos tinggi daripada bermain dengan cerdas.

“Suporter bersorak dan wing back maju ke depan, wing back lain cepat menyusul ke depan dan suporter semakin bersorak,” ujar Cecs Fabregas mengomentari cepatnya permainan bola orang Inggris, “Ini perkara intuisi yang lebih agresif, diciptakan melalui atmosfir pertandingan. Bagi seorang penonton, Liga Inggris tidak tertandingi.”

Benar. Dibandingkan menonton Liga Italia atau Spanyol, kecepatan, kekuatan, dan gemuruh sepak bola Inggris tidak tertandingi. Bagaimana kultur orang Inggris yang to the point ikut serta memengaruhi cara mereka bermain.

Kick and Rush yang menjadi trademark atau ciri khas permainan bagi Inggris yang menciptakan cara berpikir untuk segera menyerang ke jantung pertahanan, tanpa melalui area tengah permainan, tanpa bertele-tele—artinya tanpa perlu sering bermain ball possession. Langsung menghujam gawangnya. Langsung serang.

BACA JUGA:  Melihat Jack Wilshere sebagai Anti-Hero

Pendekatan-pendekatan yang mengusung tema-tema pengorbanan, keberanian, dan kepahlawanan jelas jadi pilihan. Dibandingkan kultur sepak bola Eropa daratan, masyarakat Britania Raya (tidak hanya Inggris, tapi Skotlandia, Irlandia, dan Wales juga) lebih menyukai “pertarungan terbuka”.

Pendekatan cara bermain sepak bola yang terbangun jadi semacam duel satu lawan satu, bukan permainan siasat atau taktik. Itulah mengapa mereka juga menggemari rugby, karena olahraga ini dianggap mewakili hasrat komunal masyarakatnya.

“Kami lebih mencintai petarung seperti Terry Butcher, Stuart Pearce, atau Tony Adams,” tambah Winner.

Selain pendekatan kejantanan dan kepahlawanan semacam itu, orang Inggris juga lebih menyukai momen di mana pemainnya berjuang keras mati-matian sampai akhir. Menang dengan etos kerja dianggap lebih baik daripada bermain dominan menguasai laga, meskipun hasilnya sama-sama menang.

Mereka lebih suka dengan momen-momen; dipandang remeh, sepertinya akan kalah, di menit-menit akhir tidak lagi ada harapan, dan ternyata mereka bisa menang pada detik-detik akhir. Ciri khas cerita pahlawan untuk dongeng sebelum tidur bagi anak-anak.

Piala Dunia 1966, final Liga Champions 1999 oleh Manchester United, dan Liverpool dalam keadaan yang hampir sama pada final Liga Champions 2005. Ketiga cerita yang selalu menjadi kebanggaan orang Inggris dalam memandang tingginya level pesepakbolaan mereka. Cerita comeback dari kekalahan adalah sebuah drama yang begitu disukai dan dipandang lebih memiliki nilai kepahlawanan daripada sebuah kemenangan yang dihasilkan dari sebuah dominasi permainan.

“Ide ini adalah bukan soal sebaik apa Anda bermain, tapi soal bagaimana Anda mampu mengekspresikan kejantanan untuk menutupi keterbatasan skill.  Melakukan sesuatu dengan cara halus (dalam sepak bola) adalah sebuah penghinaan yang mendalam bagi jiwa kejantanan orang Inggris. Dan saya tidak melihat ada perubahan sampai hari ini,” jelas Winner.

Senada dengan Winner, Simon Kuper, wartawan sekaligus penulis buku Soccernomics menilai bahwa gagasan ini muncul dari adanya pandangan bahwa jiwa ksatria adalah panutan bagi rakyat. Hal yang kemudian menyusup menjadi kultur bermain bola. Semangat dan tekad lebih bernilai dari ketrampilan teknis. “Umumnya kita lebih menghargai cara berpikir disiplin,” jelas Kuper.

“Simbol pria Inggris adalah prajurit, bahkan mungkin sampai sekarang. Media massa membicarakan pemain kami seperti tentara. Sehingga nilai yang sangat diingat dalam sepak bola Inggris adalah keberanian, semangat, ketaatan, kerja keras, dan Anda tidak akan banyak mendengar soal kreativitas di sana, karena memang begitulah cara berpikir militer,” tambah Kuper.

 

Komentar
Lahir di Jogja tapi besar dan belajar cinta sepak bola dari Pelita Solo dan Persijatim Solo FC. Tukang modifikasi dan renovasi kalimat di Indie Book Corner (IBC). Masih bermimpi jadi atlet kayang pertama yang berlaga di UFC World Champion. Biasa nggambleh di @dafidab