Tentang Akhir Musim di Liga 1 dan Kegelisahan Setelahnya

Tentang Akhir Musim di Liga 1 dan Kegelisahan Setelahnya

Diakui atau tidak, ada rasa tidak nyaman di dada penggemar sepakbola Indonesia ketika tahu bahwa kompetisi Liga 1 musim 2019 berakhir. Bahkan saat mengetahui bahwa hal itu terjadi, keinginan untuk melihat kompetisi musim 2020 langsung meledak-ledak di dada.

Pada akhir musim, biasanya lahir sebuah perayaan atas gelar juara. Kali ini, giliran Bali United yang berpesta usai menyelesaikan musim di peringkat pertama. Namun demikian, ada pula yang berkalang durjana lantaran harus menerima nasib turun kasta ke Liga 2. Mereka adalah Perseru Badak Lampung, Semen Padang, dan Kalteng Putra.

Sementara fans dari klub lain yang timnya sanggup bertahan di kasta teratas Liga 1, mulai menerka-nerka apa yang bakal dilakukan tim kesayangan mereka setelah kompetisi 2019 berakhir dan langkah apa yang akan diambil jelang bergulirnya musim 2020.

Di benua Eropa, perayaan akan partai pamungkas terasa lebih meriah jika dihelat di kandang sendiri. Selepas wasit meniup peluit panjang, banyak suporter yang menyalakan suar maupun smoke bomb. Bila timnya juara, maka euforianya akan semakin menggila. Sebaliknya, tangis bakal tumpah ruah di stadion andai klub kesayangan jadi korban perangkap degradasi.

Di Inggris pada era 1990-an silam, para suporter akan merangsek masuk ke lapangan guna melucuti seragam para pemain kebanggaannya. Tak hanya itu, fans kerap kali menggunting jala gawang dan mengambil tiang sepak pojok.

Kegelisahan Setelah Musim Berakhir

Akui saja bahwa setiap kali kompetisi berakhir, ada perasaan gelisah yang menggelayuti dada fans. Berbagai pertanyaan muncul di kepala. Apakah pemain A akan dipertahankan? Siapa pemain baru yang didatangkan? Jika tim tersebut mengganti pelatih, tentu fans bakal mencari tahu siapa kandidat arsitek baru tim. Belum lagi keinginan untuk mengetahui sponsor apa saja yang siap menghiasi baju tim kesayangan.

BACA JUGA:  Mutualisme Irfan Bachdim dan PS Sleman

Para fans akan semakin gelisah jika mereka tahu bahwa kesebelasan yang mereka cintai punya masalah finansial. Asa buat menyaksikan pemain bintang direkrut, jelas menyusut. Sebaliknya, kekhawatiran akan kapabilitas tim buat mengarungi musim baru malah meningkat drastis. Tak perlu terkejut kalau ada kelompok suporter yang melakukan protes saat manajemen dianggap tidak serius dalam mempersiapkan timnya.

Makin bikin gelisah, tim-tim di Indonesia punya kecenderungan mengontrak pemain dengan durasi singkat, hanya setahun atau semusim. Tidak banyak klub yang berkenan atau lebih tepatnya mampu mengontrak pemain dengan ikatan kerja jangka panjang.

Ini tak cuma berkaitan dengan kondisi finansial sebuah klub, tapi juga kejelasan kompetisi. Sudah menjadi rahasia umum bila jadwal liga garapan federasi dan operator kerap tak menentu.

Di Eropa, fenomena macam ini sudah jarang ditemukan. Maka wajar bila fans sepakbola di sana tak memiliki kekhawatiran seekstrem penggila sepakbola di Tanah Air. Tata kelola kompetisi maupun manajemen klub yang sangat baik membuat mereka bertransformasi jadi profesional dengan cepat dan eksepsional. Sebuah realita yang masih tak mudah diimplementasikan di Indonesia.

Wajar bila kemudian klub-klub Indonesia memiliki kebijakan unik terkait perekrutan pemain. Selain durasi kontrakya pendek, mendatangkan pemain berbanderol murah kendati kualitasnya tidak paripurna selalu jadi pilihan bagi klub-klub dengan keadaan finansial tak prima. Preseden ini pula yang bikin mereka lebih sering mengincar eksistensi di Liga 1 belaka ketimbang tampil mengejutkan dan ikut bersaing di papan atas.

Namun bagi mereka yang situasi finansialnya lebih baik, mempersiapkan diri sejak awal bukanlah kesulitan. Sebagai contoh, ada Bali United yang dalam beberapa hari terakhir ramai dibicarakan publik sebab meresmikan kedatangan Gavin Kwan Adsit, Hariono, dan Nadeo Argawinata. Bahkan kabarnya, nama yang disebut terakhir dicomot lewat skema transfer. Hal yang jarang terjadi di Indonesia karena mayoritas klub mendatangkan pemain baru saat kontraknya dengan klub lama selesai.

BACA JUGA:  PSM dan Kenangan Dua Dekade

Di tengah kondisi runyam dan sulit, ada pula kegembiraan yang terucap dari bibir fans. Alasannya apa lagi kalau bukan kemampuan pelatih memaksimalkan sumber daya yang ada. Pokoknya, tidak degradasi adalah berkah luar biasa yang wajib disyukuri.

Menarik untuk melihat bagaimana perkembangan sepakbola Indonesia di masa yang akan datang. Mungkinkah profesionalitas yang selama ini kerap digaungkan oleh semua kalangan, termasuk federasi sendiri, dapat diwujudkan? Bila tidak, kegelisahan para fans di kala musim berakhir akan abadi.

 

Komentar
Masih belajar menulis. Penggawa Sleman Football sekaligus pekerja kantoran. Sangat mudah ditemui di Stadion. Dapat disapa melalui akun twitter @bagusananditya