Tentang Kebijakan Transfer RB Leipzig

Semenjak eksis sebagai entitas sepakbola, ada banyak nyinyiran yang diterima oleh RasenBallsport (RB) Leipzig. Umumnya, Die Roten Bullen diejek sebagai klub plastik yang ahistoris dan mengandalkan uang perusahaan induknya, perusahaan minuman berenergi asal Austria, Red Bull GmbH, buat berkembang.

Bicara sejarah, Leipzig memang baru berdiri sejak 2009 silam usai Red Bull GmbH mencaplok kesebelasan divisi lima Jerman, SSV Markranstadt.

Walau kerap dicibir dengan berbagai hinaan, Leipzig tetap melaju. Dalam tempo delapan musim sejak berkompetisi pertama kali di kancah profesional, Die Roten Bullen sukses menapak kasta teratas dalam persepakbolaan Jerman, Bundesliga. Bahkan di musim 2019/2020 kemarin, mereka sudah menembus fase semifinal Liga Champions. Fantastis, kan?

Selain manajemen yang solid dan armada tempur mumpuni, hal lain yang wajib kita apresiasi dari mereka adalah cara mengelola tim secara profesional dan penuh perhitungan. Terkait bisnis, klub yang satu ini memiliki kebijakan yang bagus.

Ya, dalam urusan merekrut pemain, Leipzig punya aturan bahwa penggawa anyar mereka harus berusia belia. Hal ini tentu memudahkan mereka untuk memutar uang sebab pemain-pemain di usia tersebut lebih mudah, bahkan berbanderol mahal, saat dijual kembali.

Aturan ini dipegang teguh oleh mantan direktur olahraga Leipzig, Ralf Rangnick, dan diterapkan hingga kini. Dahulu, ia memegang kendali transfer pemain. Meski para pencari bakat sudah mengirimkan data calon-calon nama yang dapat direkrut, tetapi masuk atau tidaknya nama-nama itu ke dalam daftar belanja Leipzig ditentukan oleh Rangnick.

“Kami mencari pemain muda, lapar, dan sangat berbakat yang, idealnya, akan menandatangani kontrak profesional pertama atau kedua ketika mereka datang kepada kami. Artinya, percepatan perkembangan olahraga kami telah meningkatkan patokan untuk pemain baru. Kami sekarang hanya melihat pemain dengan potensi level Liga Champions, tapi kami akan tetap berpegang pada senjata kami (merekrut pemain muda) dan kami tidak akan merusak anggaran kami,” kata Rangnick.

Kita sendiri bisa sama-sama melihat, semenjak eksis, kesebelasan ini jarang sekali merekrut pemain berlabel bintang. Bahkan, untuk pesepakbola yang berusia muda yang kadung punya nama.

Meski banyak kritik dari fans Leipzig sendiri, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa Die Rotten Bullen tetap mampu bersaing di kompetisi domestik maupun regional dengan pemain-pemain ‘bau kencur’.

BACA JUGA:  Misi Pamungkas Messi Bersama Argentina

Setidaknya, ada tiga unsur yang menjadi pertimbangan utama Leipzig kala merekrut pemain.

Pertama, usia pemain maksimal 24 tahun. Skill pemain muda masih bisa diasah hingga mencapai usia matang. Dari beberapa kasus, pemain muda juga lebih mudah diatur ketimbang pemain tenar.

Kedua, harga pemain terjangkau. Leipzig terkenal sebagai tim yang tak mau menghambur-hamburkan uang hanya untuk seorang pemain bintang. Klub yang berkandang di Stadion Red Bull Arena tersebut harus tetap menjaga keseimbangan finansialnya. Jika dilihat secara lebih luas, ada benang merah antara unsur pertama dan kedua.

Ketiga, pemain yang dicomot memang cocok dengan kebutuhan Leipzig dan dinilai mampu beradaptasi secara cepat dengan gaya main Die Rotten Bullen.

Kondisi finansial, kriteria usia pemain dan kebutuhan taktis Leipzig menjadi fondasi utama dari kebijakan transfer yang mereka terapkan.

Pada musim 2020/2021, kebijakan itu tetap dilaksanakan Leipzig secara konsisten. Berdasarkan data Transfermarkt, rata-rata usia dari sebelas pemain anyar yang diboyong Leipzig sekitar 20,8 tahun.

Apalagi mereka termasuk ke dalam klub dengan tipe Multi Club Ownership (MCO). Artinya, RB Leipzig dengan leluasa mendapatkan talenta berbakat dengan harga murah dari sesama klub yang disokong perusahaan Red Bull GmbH, yakni Red Bull Salzburg (Austria), New York Red Bulls (Amerika Serikat), hingga Red Bull Bragantino (Brasil).

Bukan persoalan sulit bagi Leipzig untuk mendapatkan informasi tentang pemain muda berbakat. Jaringan pemandu bakat klub-klub Red Bull tentu punya kredibilitas memadai untuk menyuplainya.

Amadou Haidara, Marcel Sabitzer, dan Dayot Upamecano diambil dari Red Bull Salzburg dengan banderol murah. Pun ketika Leipzig menggamit Tyler Adams dari New York Red Bulls.

Usai direkrut, pemain-pemain itu akan ditempa kemampuannya supaya sesuai dengan standar kebutuhan Die Roten Bullen. Bila sang pemain dapat beradaptasi secara cepat, maka semakin bagus.

Kendati demikian, kebijakan transfer pemain muda juga memiliki risiko tersendiri. Pemain yang direkrut, tak semuanya dapat bersinar. Alhasil, harga jualnya pun merosot.

Di sisi lain, hanya sedikit penggawa yang punya karier panjang di Stadion Red Bull Arena. Akibatnya, sulit bagi kita untuk menyebut siapa pemain yang layak dianugerahi gelar legenda.

BACA JUGA:  Menanti Kiprah Persebaya Bersama Azrul Ananda

Akan tetapi, Leipzig tak ambil pusing dengan hal tersebut karena biaya investasi untuk pemain muda tak kelewat tinggi. Berkaitan dengan legenda klub, juga tergantung persepsi masing-masing. Bagi Leipzig, Diego Demme dan Daniel Frahn sudah layak dikatakan sebagai legenda.

Setelah perkembangan pemain berada di level tertinggi, lampu sorot media pun akan tertuju ke Leipzig. Bak pasar tradisional, Leipzig mempersilahkan klub-klub lain memilih produk-produk terbaiknya. Mereka siap melego semuanya asalkan harganya memang cocok.

Penyerang Jerman, Timo Werner, dibeli Chelsea seharga 53 juta Euro. Padahal Werner dibeli dari Stuttgart hanya seharga 14 juta Euro.

Lalu ada Naby Keita yang dibeli dari Red Bull Salzburg seharga 29 juta Euro. Usai matang, ia dilepas ke Liverpool dengan mahar 60 juta Euro.

Pundi-pundi uang mengalir deras ke kas klub. Berbekal dana itu pula, mereka kemudian memburu pemain muda potensial lain dari penjuru dunia. Maka wajar kalau skuad Leipzig terbilang berwarna lantaran keberadaan pemain-pemain asal Afrika, Amerika, Asia, dan Eropa.

Meski begitu, muncul juga kritik dari khalayak bahwa kebijakan yang dilakukan Leipzig ini tak lebih dari cara Red Bull GmbH menebalkan dompet mereka sendiri.

Mati satu, tumbuh seribu. Analogi tersebut sangat cocok menggambarkan kebijakan transfer Leipzig. Di saat klub-klub lain enggan kehilangan pilarnya, Leipzig justru sebaliknya. Apalagi tim yang kini diasuh Julian Nagelsmann itu lebih mengandalkan kolektivitas alih-alih kemampuan individu pemainnya.

Ketika Werner pergi, ada Hwang Hee-chan dan Alexander Sorloth sebagai pengganti. Ketika Keita minggat, Adams dan Haidara sudah siap jadi andalan baru.

Sepakbola modern adalah bisnis karena olahraga yang satu ini telah berkembang menjadi sebuah industri. Segala aspek yang ada di dunia sepakbola diharapkan dapat menghasilkan profit. Hal itulah yang ditangkap dan diterapkan Leipzig. Toh, performa mereka di lapangan bisa tetap konsisten.

Suporter Leipzig akan terus mendukung kesebelasan favorit mereka. Namun berbeda dengan fans klub lain, suporter Die Rotten Bullen sudah siap mental tatkala Adams, Benjamin Henrichs, Dani Olmo, Youssouf Poulsen, sampai Upamecano tak lagi berbaju Leipzig karena dilego ke klub lain sebagai implementasi kebijakan transfer klub.

Komentar
Buruh tulis dan penikmat sepakbola Inggris yang dapat disapa via akun Twitter @isalomonkalou