“We are a nation of 200 million Germans,” tulis seorang jurnalis Brasil Fernando Duarte, beberapa saat jelang final Piala Dunia 2014 digelar.
“Brasil, decime que se siente, tener en casa a tu papa” (Brasil, beri tahu aku siapa yang lebih baik sekarang) deru nyanyian pendukung Argentina. Nyanyian yang senantiasa terdengar setidaknya beberapa pekan terakhir.
Mereka ada di partai final, sementara Brasil tidak ada di sana. Sebuah mimpi yang teramat indah bagi mereka, tapi tidak bagi Verde-Amarela, julukan timnas Brasil.
Mimpi indah itu tidak hanya bagi para pendukung Argentina, tapi juga bagi sosok Lionel Messi, sang bocah ajaib, musuh abadi bagi sang rival (Brasil). Sosok yang kehadirannya seolah mengintai “sang tetangga” diam-diam, terlebih belum adanya wujud Pele masa kini yang bisa menantang Messi.
Mereka mengakui kehebatan Messi. Namun, Messi yang berhasil memenangi Piala Dunia hanya akan semakin menambah penderitaan Brasil.
Sebelum sang maestro kecil ini menunjukkan kedigdayaannya di dunia sepak bola, kita mengenal lebih dulu sosok Ronaldinho, seorang pemain yang memimpin Brasil dan Amerika Selatan menuju era baru dari kedigdayaan sepak bola di masanya.
Pemain terbaik dunia tahun 2004 dan 2005 ini memiliki daya pikat tersendiri di dunia Si Kulit Bulat. Bagi Ronnie, sapaan akrab Ronaldinho, berada di puncak performa bukanlah sebuah capaian yang singkat dan sederhana. Ini merupakan bagian dari proses perjalanan yang sudah ia lakoni sepanjang hidupnya.
Dengan bakat yang dimiliki, seorang pemain muda berusia 16 tahun asal Argentina ini mulai bersinar di Barcelona. Bagi yang mengenal Messi secara pribadi tahu bahwa ia adalah sebuah sensasi.
Namun, banyak pemain yang justru tak menyadari kehadirannya. Sejauh ini banyak yang tidak terlalu ambil pusing kepadanya, dia hanya seorang anak kecil yang ikut serta dalam pramusim tiap musimnya.
November 2003, Lionel Messi pertama kali dipanggil untuk bergabung dengan tim senior saat laga melawan FC Porto. Para fotografer dan jurnalis sudah menunggu di Bandara El Prat.
Ketika para pemain tiba, mereka fokus pada sosok Ronaldinho yang baru saja pulang selepas membela Brasil pada laga internasional.
Seorang pria Argentina dengan rambut terkulai panjang nampak berjalan lesu di balik gegap gempitanya media saat itu, ibarat acara tambahan di televisi, diikuti beberapa pemain muda yang juga nampak gugup di belakangnya.
Ronaldinho dan Messi berada pada kutub yang saling berlawanan. Pemain yang disebut di awal adalah seorang yang dibeli dari Paris Saint-Germain (PSG) seharga 30 juta poundsterling, yang dipilih sendiri oleh Presiden Barcelona yang baru, Joan Laporta untuk memimpin revolusi sepak bola di Catalunya.
Sedang pemain selanjutnya hanya seorang anak muda pendiam, yang rumahnya berada 10.000 kilometer jauhnya, yang sekadar ingin melakukan apa yang ia tahu dan berharap sebuah keberhasilan akan menjumpainya, entah bagaimana caranya.
Ini jelas tampak sebagai sebuah realitas yang saling bertolak belakang. Ronaldinho adalah seorang pria asal Brasil yang bengal dengan segala kemampuan bola yang ia miliki, sukar diatur ketika bermain, tapi selalu bisa tampil menakjubkan.
Manakala bola berada di kakinya, ia mengolahnya bak mendapat sebuah hadiah yang spesial. Tidak serta merta untuk tiga poin, tidak selalu berbuah trofi, pun juga penghargaan.
Dia benar-benar mencintai permainan ini. Ketika dia bertanding, dia tak sedang bekerja, melainkan sedang bersenang-senang.
Jika Ronaldinho adalah sosok Brasil yang nakal, berbanding terbalik dengan Messi, seorang Argentina yang cenderung kalem. Rivalitas negara mereka sudah tidak dapat dipungkiri, tapi mereka justru menunjukkan keakraban dalam sepak bola dan mereka menikmati saat-saat bersama itu.
“Dia sangat pemalu. Dia tidak pernah berbicara kepada kita setidaknya di 1 bulan pertama,” canda Gerard Pique. Bahkan, sampai saat ini, Messi sanggup bermain selama 90 menit dengan tanpa banyak berbicara.
Ronaldinho dan haru biru perjalanan yang menyenangkan
Ada sedikit keraguan apakah The Flea akan mendapat tempat utama di Barcelona. Meskipun debutnya mengesankan kala bersua Porto di tahun 2003, Messi masih seperti terapung tanpa arah di klub selama setahun.
Sama seperti kebanyakan orang, Frank Rijkaard dan asistennya Henk ten Cate paham betul akan besarnya potensi seorang Messi. Tetapi pintu kesempatan masih belum terbuka, tanpa ada yang tahu mengapa.
“Aku tidak paham mengapa waktu itu aku tidak dipanggil untuk masuk tim inti,” kenang Messi saat diwawancarai oleh Barca TV tahun 2013 silam. “Setelah memikirkannya, aku sadar bahwa (Rijkaard) waktu itu ingin membawaku masuk ke tim inti tanpa harus terburu-buru.”
Mereka yakin bahwa Messi akan langsung menjadi sensasi dan menjadi tambahan yang luar biasa pada proyek sepak bola yang dipimpin langsung oleh Joan Laporta. Bahkan Ronaldinho sendiri percaya akan hal itu. Meskipun skuat yang ada sudah nampak luar biasa.
Cerita berlanjut (menurut buku Guillem Balague yang berjudul Messi) manakala pria kecil Argentina ini untuk pertama kalinya berlatih bersama tim senior, Ronaldinho segera memanggil rekan dekatnya sekaligus jurnalis, Christina Cubero.
“Aku baru saja selesai berlatih dengan seseorang yang akan menjadi pemain yang lebih baik melebihi diriku,” ujarnya, meskipun Cubero nampak tidak percaya. Sebagai pelaku sepak bola, hanya dengan mengamati anak muda ini memainkan bola rupanya sudah membuatnya yakin. Ronaldinho sadar akan keputusannya saat itu.
Sama halnya dengan Messi, Ronaldinho pernah melawati masa-masa kelam di sepak bola Eropa kala masih muda. Tapi lebih dari itu, hidup memang seperti anomali.
Seorang penulis dan penyair terkenal, Oscar Wilde, pernah berkata, “Anybody can sympathise with the sufferings of a friend, but it requires a very fine nature to sympathise with a friend’s success.” Messi memang belum lama menjadi rekannya. Tapi Ronnie tahu kalau rekannya ini akan menjadi luar biasa di masa mendatang.
Seorang pemain jenius akan mengenali pemain jenius lainnya, maka Ronaldinho memutuskan untuk membantunya. Messi diajak untuk bergabung dengan “geng Ronaldinho” di Barcelona.
Ia diajak bersantap makan bersama pemain macam Deco, Edmilson, Sylvinho, dan Thiago Motta. Ronaldinho seolah sengaja ingin mengajak Messi membaur dengan para seniornya.
Meskipun, ia juga paham, Messi tidak akan dengan mudah membaur meskipun hanya sekadar berbincang. Tapi setidaknya ini awalan yang bagus menurut Ronaldinho.
“Ia hanya duduk diam, memandang sekitar, kadang ikut tertawa meski sambil tersipu malu. Ia belajar dengan cepat,” kenang Sylvinho.
Berkumpul bersama rekan-rekan lain yang lebih senior di luar sepak bola juga dilakukannya. Pemain-pemain asal Brasil sering pergi makan di luar minimal sebulan sekali, dan Messi turut serta di sana. Ia mulai nampak terbiasa.
Mungkin ada semacam tembok pembatas terkait latar belakang Messi sebagai seorang Argentina. Namun, semua dibawa dalam suasana yang cair. Sekali lagi, ia masih seorang yang pendiam, irit bicara. Namun itu tak mengurungkan niat Ronaldinho untuk senantiasa mengajaknya. Dan Messi begitu senang tiap kali ajakan itu datang.
Tentu, Ronnie bukanlah seorang babysitter. Ia punya tanggung jawab lain yang lebih besar saat itu. Keterikatannya pada publik Catalan memang tak terbantahkan. Musim panas 2005, seisi kota nampak begitu ceria.
Pada musim perdananya menangani Barcelona, Frank Rijkaard memiliki tanggung jawab untuk mempersembahkan trofi bagi Barcelona, setelah terakhir pada 1999.
Pada jornada ke-34 yang dihelat di kandang melawan Albacete, saat itu Barcelona unggul 1-0. Menit ke-88 Messi dimainkan. Seantero Camp Nou nampak begitu antusias. Ada harapan untuk menambah gol pada pertandingan itu. Akhirnya, Messi dan Ronaldinho dipasangkan.
Beberapa menit berselang, Ronaldinho memberi umpan lambung di pertahanan Albacete kepada Messi, yang kemudian dapat dikonversikan menjadi gol.
Sayang, hakim garis sudah mengangkat bendera terlebih dahulu. Penjaga gawang Raul Valbuea mengacak-acak rambut Messi seperti ingin berkata “tidak untuk kali ini anak muda.”
Beberapa saat berselang. Kombinasi yang sama, hasil yang sama. Delapan ribu fans bersorak. Messi melakukannya lagi, mengonversi umpan Ronaldinho menjadi gol. Kali ini tidak terjebak offside.
Ia berlari menuju Ronaldinho, kemudian oleh Ronnie digendongnya anak muda tersebut. Gestur Sang Pria Brasil itu seperti bermakna, “selamat datang di dunia barumu.”
Rekan-rekan lain turut menghampirinya, lalu sama-sama merayakan lesakan golnya.
Selepas meraih gelar yang sangat dibutuhkan musim itu, Messi dilanda permasalahan birokrasi. Ada batasan pemain asing, di Barcelona sudah ada Ronaldinho, Rafael Marquez, dan Samuel Eto’o.
Messi tidak turut serta pada enam pertandingan awal liga, sampai pihak klub selesai mengurus status kewarganegaraan Messi sebagai orang Spanyol pada September 2005.
Sementara absen dari La Liga, ia masih diizinkan bermain di pentas Eropa, berkat kebijakan UEFA. Sehingga, ia dan Ronaldinho terus berkembang terlepas atas apa yang menimpanya.
Bulan November, pasangan ini membantu Barcelona menghancurkan Real Madrid 3-0 di Santiago Bernabeu. Menjadi sebuah pertandingan yang fantastis. Ronaldinho bahkan mendapat standing applause kala itu, tanda kalau dia adalah pemain terbaik dunia.
Lionel Messi, sebuah kepercayaan dan arti menonton pertandingan olahraga
Tim Catalan tidak hanya mengamankan gelar juara La Liga untuk dua musim berturut-turut, tapi juga berhasil menjadi jawara Liga Champions untuk pertama kali sejak 1992. Messi melewatkan partai final karena dilanda cedera, meskipun ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan berupaya pulih lebih cepat.
Ia nampak terpukul dan menangis manakala Henk ten Cate mengatakan kalau ia tidak akan tampil saat itu.
Ketika tim merayakan kemenangannya di Paris, Messi hanya duduk sendiri di ruang ganti. Tidak lama berselang, Ronaldinho, Motta, dan Deco datang membawa trofi. Lalu, ia kembali ceria seperti sediakala.
Kehidupan tampak begitu menyenangkan ketika kita berada di posisi puncak. Saat itu, Ronaldinho adalah pemain terbaik dunia dan ia juga bermain bagi tim terbaik di dunia.
Namun, roda benar-benar berputar. Kondisi berubah teramat cepat. Barca tidak menggenggam gelar apa pun musim 2007/2008. Setelah seluruh pekerjaan yang luar biasa untuk memperbaiki Barcelona, Rijkaard terdepak.
Pep Guardiola datang dan ia merasa bahwa Ronadinho tidak bisa melanjutkan kariernya bersama Barcelona. Dengan nafas sesak dan berat hati, Joan Laporta menemui pria Brasil tersebut dan memberikan kabar: ia akan dijual ke AC Milan.
Setelahnya, Laporta bertemu Messi dan menjelaskan apa yang baru saja terjadi. “Nomor punggung 10 saat ini sepenuhnya milikmu.” Messi sadar, lembaran baru dalam sejarah kariernya akan tertulis. Ronaldinho tidak akan selamanya di sana.
Anak ini benar-benar terlihat akan melebihi kebintangan seorang Ronaldinho. Guardiola sudah mengambil keputusan berani, dan beban berat tersemat di pundak seorang Messi.
Akhirnya, semua benar terbukti. Total 38 gol disarangkan Messi untuk sang manajer baru. Lebih luar biasanya lagi, mereka meraih treble winner saat itu.
Ronaldinho sudah lama pergi manakala Messi memenangi gelar pemain terbaik dunia untuk keempat kalinya tahun 2012. Tapi, pengaruh positif Ronaldinho dalam diri Messi tidak akan pernah pudar.
“Saya selalu menegaskan bahwa sejak saat pertama kali saya masuk ke ruang ganti tim utama Barcelona, Ronaldinho dan para pemain Brasil lainnya, baik Deco, Sylvinho, dan Motta, mereka semua menerimaku dan membuat segalanya lebih mudah. Khususnya Ronaldinho, dia bintang di tim ini,” cerita Messi kepada Barca TV tahun 2013.
“Aku berterima kasih atas caranya memperlakukanku sejak saat pertama kali. Ia sangat membantu, terutama ketika aku memasuki lingkungan baru yang seperti itu. Ia selalu ada dan membiarkanku tumbuh menjadi diri sendiri. Semuanya terasa lebih mudah bagiku.”
Meski mempunyai banyak keburukan, Ronaldinho tetap memberikan dampak positif untuk Messi. Dampak yang mungkin tak bisa kita ukur, atau kita nilai.
Disclaimer: Artikel ini merupakan saduran dari artikel di TheseFootballTimes.co yang berjudul Ronaldinho and Messi: a relationship born out of genius yang ditulis oleh Jamie Kemp.