Saat sepak bola Indonesia masih berada pada era Perserikatan, PSIS adalah representasi Jawa Tengah, sehingga basis dukungannya pun meluas tidak hanya di Semarang, namun di berbagai kota di Jawa Tengah. PSIS menjadi identitas kebanggaan warga Jawa Tengah, sebagaimana Persebaya menjadi ikon kebanggaan Jawa Timur dan Persib yang mewakili identitas Jawa Barat dalam persepakbolaan nasional. Ketiganya memiliki prestasi yang membanggakan pada dekade 1980-an, dekade terakhir Perserikatan, setelah dilebur dengan Galatama pada awal dekade 1990-an. PSIS sendiri berhasil menjuarai kompetisi Perserikatan pada tahun 1987.
Memasuki awal kompetisi Liga Indonesia, format baru kompetisi hasil penggabungan Perserikatan dan Galatama, eksistensi PSIS di Jawa Tengah belum mampu tersentuh oleh klub-klub di lain di propinsi ini. Tahun 1999, PSIS sukses menjuarai Liga Indonesia. Persis Solo, raksasa sepak bola di era 1930-an, masih belum menggeliat. PPSM, klub dari Kota Magelang yang berdiri lebih awal dari PSIS juga masih belum terdengar kiprahnya. Klub-klub asal Perserikatan lainnya seperti Persibangga Purbalingga, Persibas Banyumas, Persibat Batang, Persip Pekalongan, Persijap Jepara, Persipur Purwodadi, PSIR Rembang dan PSCS Cilacap masih jarang terdengar kiprahnya di media massa pada tahun-tahun tersebut. Arseto, sebuah klub yang berasal dari rahim Galatama yang bermarkas di Kota Solo, justru lebih dikenal karena bermain di Divisi Utama Liga Indonesia
Tahun 1998, reformasi bergolak dan mengubah wajah politik Indonesia. Politik sentralisasi ala Orde Baru ditinggalkan, berganti dengan desentralisasi. Serangkaian aksi unjuk rasa yang berujung pada kerusuhan massa menghentikan kompetisi Liga Indonesia. Setelah orde berganti, sepak bola Indonesia menapaki era baru, masa otonomi daerah.
Otonomi daerah dengan segera mendorong pertumbuhan klub-klub sepak bola di berbagai kota yang ada di daerah. Tiadanya larangan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk menghidupi klub mendorong kepala daerah di berbagai kota menghidupkan gairah sepak bola di kota/kabupaten mereka masing-masing. Klub asal Perserikatan yang awalnya tidak terdengar gaungnya disuntik dana APBD dan secara serempak menjadi identitas kebanggaan kota. Nasib berbeda dialami oleh klub eks Galatama yang mengalami kesulitan untuk menghidupi diri, sebagaimana yang dialami oleh Arseto Solo.
Penggunaan dana APBD untuk pengelolaan sepak bola professional pada akhirnya dilarang oleh menteri dalam negeri pada tahun 2011, namun klub-klub yang telah terlanjur tumbuh di berbagai kota dengan beragam cara berusaha bertahan dalam kompetisi. Latar belakangnya sederhana, klub telah menjadi kebanggaan dan identitas kota. Buktinya juga sederhana, di berbagai kota telah terbentuk berbagai komunitas suporter sepak bola yang mendukung klub lokalnya. Sebagai implikasinya, rivalitas kelompok suporter antar kota dalam propinsi pun terbentuk.
Di Jawa Tengah, PSIS tidak lagi sendiri. Klub-klub eks Perserikatan yang pada masa kompetisi Perserikatan berada di bawah bayang-bayang PSIS, menjadi identitas baru yang dibanggakan oleh suporternya masing-masing. Musim kompetisi Divisi Utama tahun 2015 ini mempersuakan PSIS dengan klub-klub dari berbagai kota di Jawa Tengah yang telah disebut di atas, kecuali PSCS yang berada di wilayah berbeda.
Kegelisahan Wareng dan Respons Positif Kelompok Suporter
Wareng, begitu saya mengenalnya, adalah ketua umum Panser Biru, salah satu sayap suporter pendukung PSIS Semarang. Pada Sarasehan Suporter Nasional di Solo tanggal 3 April 2015, Wareng menyampaikan pendapatnya tentang sepak bola di Jawa Tengah. Berkumpul pada Sarasehan Suporter Nasional tersebut, organisasi dan komunitas suporter dari berbagai klub di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Selain itu, ada juga perwakilan dari suporter Persiba Balikpapan dan Sriwijaya FC. Di depan lebih dari 20 perwakilan organisasi dan komunitas suporter, Wareng menarasikan tentang pertandingan PSIS pada musim sebelumnya yang acapkali diwarnai bentrokan fisik. “Di Semarang tidak terjadi apa-apa, tapi dalam perjalanan pulang suporter dari kota lain sering mendapat serangan di luar kota Semarang,” begitu kurang lebih kegelisahan Wareng.
Bak gayung bersambut, kegelisahan Wareng mendapat respons dari para peserta sarasehan. Respons positif ini muncul karena Wareng mewakili suporter PSIS, sebuah klub yang pada masa Perserikatan menjadi identitas bersama warga Jawa Tengah. Mereka menyambut gagasan untuk membuat satuan tugas (satgas) yang berisi perwakilan dari berbagai kelompok suporter yang berbeda. Gagasan tentang satgas ini bergulir sampai akhir sarasehan ketika kelompok suporter dari Jawa Tengah membuat forum dalam sebuah meja bundar. Di meja bundar, para pemimpin kelompok supporter ini menapak langkah baru dalam relasi antarsuporter sepak bola di Jawa Tengah.
Semoga gagasan Wareng dan inisiasi berbagai kelompok suporter di Jawa Tengah dalam membangun relasi antar kelompok suporter propinsi ini terwujud.