Dalam konteks sepak bola, tergelitik rasanya ketika mengetahui ada sekelompok orang-orang di sini justru lebih fasih dan mendalami segala hal terkait klub sepak bola asing. Manchester United bahkan berani mengklaim bahwa mereka memiliki banyak penggemar di sini. Data yang mereka miliki mengatakan angka 55 juta sebagai jumlah yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal itu kemudian menjadi salah satu alasan utama mengapa mereka sampai berani membuka gerai resmi di Jakarta.
Klub Eropa lainnya, Barcelona, setahun belakangan begitu giat untuk melakukan promosi di Indonesia. Bekerja sama dengan salah satu produsen fast movement consumer goods, mereka bermanuver, mereka mencoba merebut ceruk yang menjanjikan banyak keuntungan. Mudahnya, mereka tidak ingin ketinggalan langkah dari klub-klub Eropa lainnya dalam menangguk untung di sini.
Direktur Proyek FCBEscola Asia Pacific, Xavier Asensi Brufau, bahkan secara terbuka mengatakan bahwa Barcelona amat berharap jumlah penggemarnya di Indonesia akan terus meningkat, khususnya jumlah penggemar dan pengikut di akun-akun media sosial mereka. Jumlah pengikut yang signifikan akan berbanding lurus dengan keuntungan yang akan mereka peroleh kemudian hari.
Uniknya, para penggemar klub-klub Eropa tersebut justru dengan sukarela melakukan apa yang “diminta” oleh manajemen klub. Mereka secara sukarela menggelontorkan uang yang tidak sedikit untuk membeli segala pernak-pernik – yang sesungguhnya tidak sungguh-sungguh diperlukan – demi menyandang status sosial sebagai penggemar sejati. Hal itu mungkin yang masih amat jarang ditemui di tatanan sepak bola lokal.
Dilihat dari beberapa aspek, sesungguhnya sepak bola lokal tidak kalah menarik dibanding sepak bola Eropa yang kerap Anda ikuti di televisi. Terlepas dari betapa amburadulnya segala sistem yang mengiringi, ada beberapa hal yang mungkin hanya akan Anda dapatkan jika Anda mengikuti kompetisi sepak bola lokal – atau paling tidak menyaksikan langsung dari stadion, salah satunya adalah atmosfer rivalitas yang nyata. Bukan, bukan yang semu seperti yang ditunjukkan oleh beberapa kelompok suporter yang kerap bertikai mengatasnamakan kelompok suporter resmi klub-klub Eropa itu.
Serang, ibu kota di Provinsi Banten, jaraknya kurang lebih 50 km dari Pantai Anyer, dan 60 km dari ibu kota negara, Jakarta. Di sana ada sebuah klub sepak bola bernama Perserang yang didirikan pada 1958. Dibandingkan dengan beberapa klub yang punya nama dan rekam sejarah di Indonesia, seperti Persija, Persib, Persebaya, bahkan Persis Solo, mereka tidak sebanding. Sulit bicara prestasi jika mereka lebih banyak berkutat di divisi bawah kompetisi lokal. Prestasi terkini mereka adalah turut menyumbang pemain untuk timnas U-19 yang akan bertanding di Myanmar bulan Oktober, Ravi Murdianto.
Namun, untuk urusan di lapangan. Perserang dan beberapa klub divisi bawah lain tidak kalah dibanding klub lokal yang lebih punya nama – yang kerap menyajikan atmosfer luar biasa. Sebuah pertandingan antara Perserang versus Pelita Krakatau Steel di Stadion Maulana Yusuf, kandang Perserang, pada medio 2007, menyajikan sebuah atmosfer yang menurut saya sungguh menegangkan sekaligus mengerikan. Maklum, keduanya saling beradu gengsi soal siapa penguasa Banten sesungguhnya. Ketika rehat antarbabak, sebuah momen yang entah dari mana asal muasalnya membuat penonton yang hadir kocar-kacir dan panik. Ada sedikit gesekan antarpendukung yang menimbulkan kekalutan. Anehnya, beberapa dari mereka yang menjadi sumber kericuhan itu bahkan sukses lolos ke dalam dengan membawa senjata tajam. Saya dan beberapa yang lain lantas memutuskan untuk menghindar dan meninggalkan stadion tak lama begitu babak kedua dimulai. Hal itu mungkin bukan manifestasi kekerasan yang kerap jadi simbol pemberontakan di beberapa negara Eropa, meski tidak menutup kemungkinan itu adalah perwujudan sempurna mentalitas jawara yang mengakar di kultur masyarakat Banten. Apa pun alasannya, membawa senjata tajam masuk ke stadion tentu bukan hal yang diperkenankan, bukan? Namun, alasan itu nyatanya tidak membuat saya dan beberapa penggemar sepak bola lain kapok untuk menonton langsung di stadion.
Di Jakarta, atmosfer rivalitas yang sudah mengakar juga bisa Anda rasakan. Minggu (10/8), Stadion Gelora Bung Karno menghelat pertandingan lanjutan antara Persija melawan Persib. Larangan kepada para penggemar Persib untuk datang sudah diumumkan oleh pihak berwajib. Namun, tentu hal itu tidak menjamin apa pun. Melarang pendukung Persib untuk datang mendukung meski nyawa taruhannya hanyalah kesia-siaan. Bagi bobotoh, salah satu hak asasi mereka adalah berteriak dan mendukung Persib di mana saja dan kapan saja. Hal itu kemudian terbukti di tengah laga, di mana ada beberapa orang yang disebut sebagai pendukung Persib yang menyusup di antara kerumunan pendukung Persija dan akhirnya menjadi bulan-bulanan.
Isu yang berkembang ketika itu adalah mangkatnya salah satu sosok penting kelompok penggemar Persib, Ayi Beutik. Salah satu tujuan saya untuk datang ke stadion adalah mengetahui respons para penggemar Persija terhadap kabar tersebut. Satu, dua, tiga, hingga sekitar 30-an orang berhasil saya tanyai soal tanggapan mereka. Meski singkat, sebuah kesimpulan dapat ditarik. Mereka tak sungguh-sungguh peduli terhadap Ayi karena ia adalah pentolan kelompok pendukung tim lawan, tim rival. Sesederhana itu.
Rivalitas yang mengakar, atau mungkin memang diciptakan, menembus batas kemanusiaan dan mengikis empati. Meski pada awal pertandingan sempat diawali dengan mengheningkan cipta, sesungguhnya apa yang terjadi di stadion sangat jauh dari kondisi hening. Tempik sorak dan sumpah serapah terus mengalir pada momen yang seharusnya hening tersebut. Detik beralun menjadi menit, sorak menjurus serapah tak jua surut.
Ketika pertandingan berlangsung pun suasana khas duel Persija versus Persib terjadi. Ejekan, cemoohan, dan hinaan untuk tim kebanggaan warga Bandung itu terus terdengar. Agak was-was rasanya, apalagi bagi saya yang kecil dan besar di Serang yang sesekali mengucapkan kalimat spontan dalam bahasa Sunda. Tribun khusus yang diperuntukkan bagi awak media justru dipenuhi pendukung Persija. Bercampur aroma apek dan bau alkohol, semua menyatu. Berkali-kali saya menahan diri untuk melampiaskan ekspresi ketika kedua tim memiliki peluang, hingga akhirnya peluit panjang mengiringi embusan napas lega karena pertandingan berakhir.
Tak hanya suasana yang menegangkan yang bisa Anda dapati jika pergi langsung ke stadion. Ada warna lokal lain yang tak bisa Anda temui di banyak tempat. Seperti yang terjadi di Gresik, Jawa Timur, misalnya. Salah seorang pemandu pertandingan Gresik United memiliki tingkah polah jenaka. Ketika menyebutkan susunan pemain yang akan berlaga, ia akan mengucapkannya dengan tergagap-gagap menirukan cara salah satu komedian di televisi swasta.
Di Semarang ada hal lain yang tak kalah unik. Masih berkutat soal pemandu pertandingan. Seorang pria bernama Mas Tatoet yang sudah 20 tahun bekerja rangkap sebagai pemandu pertandingan PSIS sekaligus anggota salah satu orkes melayu. Ia punya kebiasaan unik ketika ada kericuhan, baik antarpemain maupun antarpenonton. Ia kerap mengajak para penonton bernyanyi lagu-lagu nasional, seperti Padamu Negeri dan Gugur Bunga. Jika dua lagu tersebut tak membawa aura positif, mas Tatoet akan segera mengajak orang-orang yang hadir untuk bersalawat!
Hal-hal yang lebih baik dari itu mungkin bisa Anda jumpai ketika berkesempatan untuk pergi ke Eropa mengunjungi klub kebanggaan Anda di sana, dengan keteraturan dan kepatutan lainnya. Namun, tidak semua memiliki keberuntungan seperti itu. Hal ini bukan untuk menghakimi soal siapa yang lebih mulia, dan lebih baik, seperti yang diungkapkan oleh Zen RS di dalam esainya yang komprehensif soal rabun dekat dalam menonton sepak bola. Bukan pula untuk memantik rivalitas antarpenggemar sepak bola lokal maupun mancanegara, karena seperti yang dikatakan oleh Peter Jackson, bahwa rivalitas tidak menolong siapa pun. Ini soal keinginan Anda untuk mengubah keberuntungan itu. Keberuntungan yang mungkin tidak begitu banyak menghabiskan uang Anda.
Artikel ini pernah tayang di Fandomagz edisi 8.