Kompetisi Liga 1 Putri sudah bergulir dua belas pekan (kendati ada sejumlah klub yang baru memainkan sepuluh atau sebelas pertandingan), persaingan di antara kontestan yang menghuni Grup A maupun Grup B juga makin sengit. Praktis, hanya Persipura Jayapura yang tampak begitu dominan.
Sebagai pendukung Persija Jakarta, tentu saya menaruh perhatian terhadap kiprah tim wanitanya di Liga 1 Putri. Terlebih, mereka berada satu grup dengan tim putri dari rival bebuyutan di kancah sepakbola Indonesia, Persib Bandung.
Dari sekian nama yang menghuni skuat Persija, Zahra Muzdalifah mungkin jadi sosok yang paling populer. Menekuni sepakbola sejak usia belia, dara kelahiran 4 April 2001 ini memang punya kemampuan olah bola ciamik. Hal itu pula yang mengantarkannya masuk ke tim nasional wanita Indonesia dan bahkan menyandang ban kapten.
Mesti diakui bahwa kompetisi Liga 1 Putri berperan cukup besar melambungkan nama Zahra. Pemain bernomor punggung 9 ini acap muncul di sejumlah media sehingga publik juga makin mengenal siapa dirinya.
Lebih jauh, dengan kemampuan olah bolanya yang mengagumkan, Zahra seolah menyumpal mulut kaum patriarkis yang hobi nyinyir dengan melontarkan kalimat-kalimat seperti, “perempuan lebih baik tidak bermain sepakbola”, “perempuan seharusnya main boneka saja”, “perempuan yang main sepakbola itu tomboy” atau “perempuan kok main sepakbola?
Sayangnya, ketika Zahra berusaha membuktikan diri dengan keterampilan yang ia miliki, masih banyak orang yang hanya melihatnya dari bentuk fisik dan paras semata.
Sekarang, kalian coba ketik di mesin pencarian dengan kata kunci Zahra Muzdalifah. Maka yang lazim ditemui adalah judul-judul berita yang dibumbui embel-embel “cantik”, “mempesona”, dan kata-kata sejenis.
Bila membahas sepakbola, mengapa kita tidak fokus saja terhadap cara bermain Zahra tanpa harus menyematkan embel-embel paras cantik di dalamnya?
Saya ambil contoh, di artikel yang diterbitkan oleh Brilio. Judul dari artikel tersebut tertulis, Pesona 10 pesepakbola Liga 1 Putri, Bikin Semangat Nonton. Dari judul tersebut muncul sebuah pertanyaan di kepala saya, berarti selain dari 10 pemain tersebut, para pemirsa tidak akan bersemangat untuk menonton?
Pun semangat menonton yang dimaksud di sini adalah semangat yang seperti apa? Saya menganggap ini sebagai upaya meletakkan perempuan sebagai objek pemuas imajinasi visual saja.
Arpita Sharma dalam jurnalnya yang berjudul Portrayal of Women In Mass Media mengatakan bahwa media telah berperan penting dalam menyoroti berbagai isu menyangkut perempuan. Namun di sisi lain, media juga memiliki dampak negatif dalam hal melakukan “kekerasan” terhadap perempuan melalui gambar-gambar tubuh perempuan yang dapat dikomersialisasikan. Tentunya hal itu bertujuan agar media tersebut mendapatkan timbal balik berupa rating, laba industri, peningkatan pengguna media massa dan seterusnya.
Selain Brilio, ada portal berita Inews yang menyematkan kata “cantik” di artikelnya. Jika ditelaah, kata “cantik” tersebut sebenarnya tidak berkesinambungan dengan isi artikelnya. Bila kata itu dihapus, kita tetap mendapatkan informasi mengenai profil Zahra yang memang sudah dirangkum oleh sang jurnalis. Lantas, mengapa masih harus ada kata cantik di sana?
Bisa jadi maksudnya adalah untuk mendongkrak jumlah pembaca dengan cara membuat judul yang dapat membangkitkan rasa penasaran dari orang-orang yang menonton, khususnya laki-laki. Pemberitaan mengenai Zahra menurut saya merupakan sebuah cara melanggengkan konstruksi patriarki yang acap melihat wanita sebatas tampilan fisiknya saja.
Lagi pula, cantik menurut siapa? Cantik bagi si A belum tentu cantik bagi si B. Tolok ukur mana yang digunakan? Kalau mereka disebut cantik, apa relevansinya dengan peristiwa yang diberitakan?
Sumber: Youtube Tribune Suporter Indonesia
Gambar di atas juga sangat jelas menunjukan bahwa masih banyak orang-orang yang jalan pikirannya berputar pada seksualitas semata. Jika kalian tidak percaya, coba beranjak ke kolom komentar dari video tersebut. Komentar-komentar banal seperti, “udah nungging tuh, tunggu apa lagi?, “awas Simic sange nanti”, “sabun bolong mana, sabun bolong?”, dan berbagai komentar tidak etis berkeliaran tidak tahu aturan.
Banyak keahlian yang tidak dimiliki kita, tetapi dimiliki oleh Zahra. Mengapa kita tidak mencari tahu latar belakang apa yang menyebabkan Zahra sangat menyukai sepakbola? Melalui sepakbola, Zahra punya dua impian hebat. Salah satu dari mimpinya sudah terlaksana, impian yang satu lagi tinggal menunggu waktu.
“Aku ingin menjadi pemain profesional, pemain perempuan yang bisa layak bermain di Eropa. Itu impian aku dari kecil. Dulu impian aku ingin bisa bela negara dan itu sudah (terwujud). Sekarang ada lagi, goals (tujuan) keduanya yakni bisa menjadi pemain perempuan Indonesia pertama yang bermain di Eropa seperti Egy Maulana Vikri (penggawa Lechia Gdansk),” ucap Zahra seperti dilansir dari Goal.
Mengapa kita tidak mengapresiasi itu? Sampai saat ini, media-media di Indonesia cenderung menjadikan identitas sebagai satu-satunya variabel yang wajib diperhatikan, tanpa pernah mengetahui bagaimana proses yang telah dilalui sampai berada di posisi dan kondisi sekarang.
Saya memang hanya menyebutkan tiga contoh, mungkin di luar sana, kalian bisa menemukan lebih banyak artikel dengan jenis yang sama. Apakah kita pernah berpikir bagaimana perasaan si perempuan yang dijadikan objek pemberitaan? Mana yang sebenarnya ingin ia tonjolkan kepada dunia, kecantikan atau prestasinya?
Padahal, di titik tertentu cantik jadi hal yang mengerikan sekaligus menyedihkan. Tidak ada kebaikan selain berahi yang menyala-nyala untuk kemudian dilampiaskan para lelaki hidung belang. Setidaknya begitulah penggambaran oleh Eka Kurniawan dalam novel Cantik Itu Luka.