Zenit Saint Petersburg: Penantang Ibu Kota yang Agung

Jika mendengar Kota Saint Petersburg di Rusia, maka banyak yang diasosiasikan dengan kebesaran pemimpin mereka terdahulu, Peter Yang Agung. Kota ini memendam banyak sejarah dan budaya yang cenderung bertolak belakang dengan kota–kota lain yang ada di Rusia karena arus modernisasi yang terpatri sejak dahulu.

Saint Petersburg juga memiliki klub sepak bola yang tidak bisa diabaikan, Zenit Saint Petersburg. Pencapaian Zenit dalam persepakbolaan Rusia modern boleh dikatakan luar biasa, berdasarkan trofi serta pengembangan klub yang visioner.

Fakta bahwa kompetisi Liga Primer Rusia yang bergulir sejak 2001 dikuasai oleh klub-klub dari Moscow yang digdaya seperti Lokomotiv, Spartak, dan CSKA yang pernah merasakan juara. Sementara di luar klub ibu kota, hanya Rubin Kazan dan Zenit yang pernah merasakan juara.

Dalam beberapa musim terakhir, hanya Zenit yang konsisten dan terus menggangu keberadaan klub ibu kota di klasemen. Sangat wajar, bila pesaing-pesaing di Liga Primer Rusia terutama dari Moscow, memandang bahwa Zenit bukanlah klub yang melejit cepat kemudian tenggelam kembali.

Tengok saja dalam lima musim terakhir, Zenit tidak pernah keluar setidaknya zona tiga besar, termasuk juara liga pada musim lalu.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika Zenit terlihat mapan di Liga Primer Rusia berdasarkan catatan yang ditulis oleh Marc Bennetts melalui bukunya, Football Dynamo. Beserta kondisi Zenit saat ini yang dijelaskan oleh beberapa jurnalis atau pengamat sepak bola Rusia.

Didukung oleh pihak-pihak penting

Sejak dimulainya format kompetisi Liga Primer Rusia yang menggantikan kompetisi sepak bola pada era Uni Soviet, nama Zenit tidak terlalu mendapat perhatian karena banyaknya klub tradisional dari era Uni Soviet yang mendapatkan afiliasi kuat dari politisi, birokrat, dan pebisnis yang berasal dari pemerintah pusat.

Keadaan menjadi berubah saat memasuki era milenium, di mana keikutsertaan Zenit pada kompetisi Liga Primer Rusia, terdapat sosok yang menjadi cikal bakal transformasi Zenit.

Vitaly Mutko, mantan pemilik Zenit tahun 1997–2003, memang belum ada hasil yang signifikan dan bisa bersaing dengan tim dari Moscow. Namun, ada sebuah pengalaman menarik yang dialami Mutko yang juga merupakan mantan Menteri Olahraga Rusia dan mantan Presiden Federasi Sepak Bola Rusia.

Pada tahun 2002, Bennetts menulis bagaimana Mutko pernah menjadi sasaran amukan pendukung Zenit hingga hampir terkena lemparan botol Vodka setelah kekalahan memalukan 7-1 oleh Dinamo Moscow yang membuat Mutko harus meminta ma’af.

Sebetulnya, Mutko lebih berjasa menaikkan prestasi persepakbolaan Rusia karena keberhasilan menaikkan pamor kompetisi Liga Primer Rusia, kesuksesan tim nasional Rusia melaju ke semifinal Euro 2008, dan terpilihnya Rusia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018.

BACA JUGA:  Kegagalan Berlapis di Stade Velodrome, Marseille

Perubahan Zenit dalam mengarungi kompetisi Liga Primer Rusia mulai dirasakan pada tahun 2004, saat politisi lokal mulai muncul untuk ikut membantu Zenit seperti Mikhail Fradkov. Tahun berikutnya, akusisi saham Gazprom dari Sibneft yang dimiliki oleh Roman Abramovich menjadi titik penting seperti yang Bennetts tulis untuk mengubah peruntungan Zenit dalam kompetisi.

Gazprom, perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam (SDA), menjadi donor terbesar untuk mensponsori klub dengan kebijakan mendatangkan pemain serta pelatih yang berkualitas. Bahkan, pendanaan Gazprom terhadap Zenit melibihi klub-klub Moscow sehingga mereka bisa leluasa dalam menentukan anggaran belanja klub.

Tidak hanya berhenti di Zenit, ekspansi Gazprom turut menjadi sponsor bagi Schalke 04 di Jerman, Crvena Zvezda di Serbia, dan Chelsea di Inggris. Merasa belum cukup, Gazprom menjadi sponsor utama Liga Champions Eropa dan penyelenggaran sepak bola terbesar di Rusia, Piala Dunia 2018. Beruntunglah Zenit memiliki sponsor dan dukungan kuat dari Gazprom.

Sebagai sosok yang lahir dan besar di Leningrad, nama lama dari Saint Petersburg, Presiden Rusia Vladimir Putin pasti memiliki simpati untuk mendukung klub kota kelahirannya.

Walaupun tidak terlibat langsung, Bennetts menuturkan bahwa Putin berandil dalam membantu Gazprom melakukan ekspansi dan monopoli sumber daya minyak dan gas di Rusia. Sehingga, Gazrpom menjadi perusahaan sumber daya alam yang memiliki profit tinggi di Eropa.

Bahkan, saat masyarakat Rusia memandang sinis pembelian mahal Hulk dan Axel Witsel, Putin hanya beranggapan bahwa bintang–bintang sepak bola dunia memang perlu menikmati kompetisi di Rusia. Sepeti itulah Putin yang dikenal sebagai sosok yang ambisius tidak hanya dalam perpolitikan, hingga bidang apa pun untuk memperkuat Rusia.

Keterbukaan dengan asing

Bila klub–klub di Rusia memiliki preferensi untuk menggunakan jasa pemain dan pelatih yang berasal dari domestik atau eks Uni Soviet, maka Zenit merupakan anomali dalam sepak bola Rusia. Selama Zenit mengikuti kancah Liga Primer Rusia, mereka selalu bergantung kepada tenaga asing baik untuk pos pelatih maupun pemain untuk memberi pengaruh penting bagi klub.

Zenit menjadi pionir yang menggunakan pelatih asing di luar Rusia dan eks negara Uni Soviet dengan penunjukan Vlastimil Petrzela dari Republik Ceko pada tahun 2002.

Setelah investasi Gazprom, sentuhan asing makin menguat, di mana mereka menunjuk pelatih asal Belanda, Dick Advocaat. Advocaat membawa Zenit juara Liga Primer Rusia untuk pertama kali pada tahun 2007, kemudian melejit kembali pada tahun berikutnya dengan menjuarai Piala UEFA dan UEFA Super Cup tahun 2008. Sehingga Zenit berhasil menyamai dan melebihi prestasi klub ibu kota, CSKA yang menjuarai turnamen yang berubah nama menjadi Liga Europa pada tahun 2005 itu.

BACA JUGA:  Apa Saja yang Perlu Dipersiapkan Menyongsong Musim Baru Liga Indonesia?

Kemudian, kesuksesan Zenit terulang kembali dengan menggunakan jasa tenaga asing, pelatih kenamaan Luciano Spaltetti dari Italia yang pernah merengkuh double winners di Rusia. Pelatih yang kembali melatih AS Roma itu, merengkuh Liga Primer Rusia tahun 2010 dan Piala Rusia 2009/2010, ditambah gelar Liga Primer Rusia tahun 2011/2012. Lalu, Andre Villas-Boas yang berhasil menjadi juara Liga Primer Rusia musim lalu, 2014/2015.

Komposisi pemain pun saat ini cukup mentereng dengan keberadaan pemain Amerika Selatan dan Eropa Barat dengan munculnya nama Ezequiel Garay, Domenico Criscito, Javi Garcia, Danny, Axel Witsel, dan Hulk.

Barangkali, pengaruh Peter Yang Agung mejadi sebuah hal yang secara kebetulan menjadi faktor kedekatan Zenit dengan pemain serta pelatih asing, kota Saint Petersburg pun dikenal sebagai “Jendela Eropa” karena prinsip kota yang berjalan modern dengan mengedepankan barat sebagai kiblat mereka.

Kondisi terkini

Performa musim ini cukup menurun dengan bertengger di posisi tiga klasemen sementara. Mereka mengalami inkonsistensi performa karena permainan yang mudah terbaca. Memang masih ada tujuh pertandingan, tetapi untuk mengejar juara perlu usaha keras dengan selisih dua poin (pekan 24) dari pemuncak klasemen, CSKA Moscow. Maka mengejar dua besar atau meraih spot Liga Champions lebih realistis.

Visi Zenit memang meyakinkan atas transformasi mereka di Rusia, tapi mereka masih sulit mengejar prestasi lebih prestius di kompetisi Eropa. Dalam lima musim terakhir di Liga Champions, Zenit lolos fase grup tiga kali dan selalu terhenti pula di babak 16 besar.

Mungkin butuh waktu lama untuk mensejajarkan diri dengan klub–klub yang memiliki tradisi panjang di kompetisi Eropa atau klub kaya Eropa yang dikuasai oleh pemilik dari Timur Tengah.

Tugas selanjutnya adalah tampil sebaik mungkin, agar bisa meraih juara atau runner-up untuk mengamankan tiket ke Liga Champions. Dan mencari pengganti Villas-Boas yang menyatakan mundur akhir musim nanti. Manuel Pellegrini yang akan digantikan oleh Pep Guardiola di Manchester City menjadi kandidat yang sering diperbincangkan, selain Leonardo Jardim dari AS Monaco.

Semoga saja, Zenit bisa meraih kesuksesan mereka di domestik sekaligus Eropa sebesar pemimpin mereka terdahulu Peter Yang Agung di kemudian hari.

 

Komentar