Pada Maret 2019 lalu, sebuah keputusan mengejutkan diambil oleh Zinedine Zidane. Figur yang mengantar Real Madrid menjadi kampiun Liga Champions tiga musim beruntun (2015/2016, 2016/2017, dan 2017/2018) itu memilih untuk kembali ke Stadion Santiago Bernabeu guna menakhodai Los Blancos.
Serentetan hasil buruk yang dituai Karim Benzema dan kawan-kawan kala diasuh Julen Lopetegui serta Santiago Solari pada musim 2018/2019 mendorong pihak manajemen Madrid buat merayu Zidane agar sudi kembali. Beruntung, lelaki keturunan Aljazair itu bersedia dan meneken kontrak sampai musim panas 2022 nanti.
Menukangi tim sejak pertengahan musim bukanlah perkara sepele. Kenyataan ini pula yang bikin Zidane tak menargetkan apapun di sisa musim 2018/2019 kemarin.
Akan tetapi, segalanya berubah jelang musim 2019/2020 bergulir. Seiring kedatangan Eden Hazard, Luka Jovic, Ferland Mendy, Eder Militao sampai Rodrygo ke ibu kota Spanyol, asa melihat kebangkitan Los Blancos mengudara lagi di benak para Madridistas.
Di awal musim, segalanya berjalan amat mulus bagi Madrid. Di ajang La Liga Spanyol, mereka cuma kalah sekali dalam kurun 20 jornada. Catatan serupa juga didapat mereka pada fase penyisihan grup Liga Champions (sekali tumbang di tangan Paris Saint-Germain). Harapan melihat lemari trofi Madrid terisi silverware anyar pun meletup-letup.
Tragisnya, harapan hanya tinggal harapan. Memasuki pertengahan musim, fans klub yang berdiri tahun 1902 itu mesti menebalkan kesabarannya. Pasalnya, ekspektasi mereka tak sepenuhnya beroleh jawaban terbaik.
Secara mengejutkan, Madrid harus tersingkir dari ajang Copa del Rey usai kalah 3-4 dari Real Sociedad di babak perempatfinal. Sementara di Liga Champions, Benzema dan kawan-kawan harus mengakui ketangguhan Manchester City arahan Pep Guardiola lantaran keok 1-2 dalam leg pertama babak 16 besar yang dihelat di Stadion Santiago Bernabeu.
Memang, peluang mereka untuk terus melaju di Liga Champions masih ada. Namun berkaca pada aksi-aksi Benzema dan kawan-kawan belakangan ini, ada pesimisme yang timbul di dada suporter. Terlebih, leg kedua akan diselenggarakan di kandang The Citizens, Stadion Etihad.
Walau memenangkan partai El Clasico melawan Barcelona dua pekan lalu, penurunan performa Madrid juga terlihat di kompetisi La Liga Spanyol. Dalam rentang empat jornada terakhir, mereka cuma memetik angka penuh sekali. Sisanya diakhiri dengan sebiji hasil imbang dan dua kekalahan. Termasuk bertekuk lutut di hadapan Real Betis lewat skor 1-2, Senin dini hari (9/3) kemarin. Akibatnya, Los Blancos tergusur dari posisi puncak.
Ada cukup banyak alasan yang dikemukakan sebagai penyebab turunnya performa Los Blancos. Cederanya para pilar semisal Marco Asensio, Dani Carvajal, Hazard, dan Isco disinyalir membuat aksi Madrid begitu inkonsisten. Sementara Zidane tampak belum begitu yakin dengan kemampuan para pelapis yang masih berusia muda layaknya Brahim Diaz, Mariano, Rodrygo, dan Lucas Vazquez.
Lebih jauh, beberapa penggawa senior seperti Gareth Bale, Marcelo, dan James Rodriguez juga lebih sering didudukkan Zidane di bangku cadangan karena saat dipercaya, tak menunjukkan kapasitas paripurnanya.
Di luar itu semua, ada satu hal lain yang bikin Madridistas di penjuru Bumi senewen terhadap Zidane. Mereka merasa bahwa juru strategi berpaspor Prancis itu lihai memotivasi anak buahnya tapi miskin taktik.
Ketimbang menonjolkan kolektivitas tim, baik saat menyerang ataupun bertahan, penampilan Madrid musim ini cenderung pragmatis dan lebih mengandalkan kemampuan individu pemainnya, terutama saat mengkreasikan peluang.
Kekhawatiran Madridistas makin memuncak saat melihat tim kesayangan mereka terkena deadlock. Alih-alih mampu memecahkan kebuntuan dengan sektor tengah yang dihuni oleh nama-nama sekelas Toni Kroos dan Luka Modric, Madrid justru kerap kesulitan. Tim ini dinilai tak memiliki identitas permainan yang jelas.
Di sisi lain, pengoleksi 13 trofi Liga Champions ini juga tak memiliki barisan depan yang tajam. Satu-satunya pemain dengan koleksi gol menembus dua digit hanyalah Benzema (19 gol di seluruh ajang). Pemain dengan rekening gol terdekat adalah Sergio Ramos yang seorang bek, dengan torehan 7 gol.
Sialnya, gelontoran gol Benzema tak seekstrem Cristiano Ronaldo dahulu. Di satu laga, Benzema bisa mencetak satu atau dua gol, tapi di empat sampai lima partai berikutnya ia mengalami kemandulan akut. Impek yang ia hasilkan saat merumput pun sangat minim sehingga Madrid malah kesulitan menghadirkan ancaman ke gawang lawan.
Sejak periode pertama ia melatih hingga saat ini, Zidane memiliki dua formasi andalan, yakni 4-3-3 yang memanfaatkan permainan dari sayap dan 4-4-2 berlian dengan satu dari sepasang striker yang diturunkan mendapat kebebasan lebih dalam bermain. Berbekal pemain-pemain dengan kualitas wahid, Zidane malah sering kebingungan melakukan perubahan sekaligus penyesuaian di tengah pertandingan.
Dalam laga melawan City yang lalu, formasi dasar yang digunakan Zidane adalah 4-3-3 dengan Benzema, Isco, dan Vinicius Junior. Namun dalam penerapannya di lapangan, Isco lebih banyak bergerak di belakang Benzema dan Vinicius sehingga pola Madrid menjadi 4-4-2 berlian. Hasilnya berjalan lumayan baik dan membuahkan satu gol di awal babak kedua.
Ketika unggul, Zidane melakukan pergantian pemain. Vinicius, pemain yang paling sering merepotkan pertahanan yang digalang Kyle Walker dan kolega, malah disubstitusi oleh Bale.
Apes, pergantian itu disebut-sebut sebagai faktor awal kekalahan Madrid. Pasalnya, hal itu membuat ancaman dari Los Blancos berkurang sebab Bale sanggup dimatikan oleh lini belakang City. Makin berkurangnya tekanan Madrid sukses dimanfaatkan The Citizens buat mencetak dua gol di 15 menit terakhir laga dan membawa pulang kemenangan ke tanah Britania.
Saat tertinggal, Zidane mengubah skema tim asuhannya dengan menarik keluar dua gelandangnya yaitu Isco dan Modric guna digantikan oleh Jovic serta Vazquez. Upaya bermain lebih ofensif dengan skema 4-2-4 ini gagal membuahkan hasil karena City sanggup meredam dan justru unggul di sektor tengah. Kartu merah yang didapat Ramos pada menit ke-85 juga mempersulit keadaan.
“Saya membuat keputusan berdasarkan apa yang mereka lakukan. Saya selalu melihat bagaimana cara mereka menyerang, baik saat memakai 4-3-3 dengan duo winger ataupun 4-4-2 berlian dengan Isco bermain di belakang duet striker,” terang Guardiola seperti dikutip dari The Guardian.
Kesalahan yang diperbuat Zidane melawan City kembali terulang di partai kontra Betis. Bermain dengan formasi dasar yang agak berbeda yaitu 4-1-4-1, Madrid sempat tertinggal oleh gol Sidnei. Mujur, Benzema mampu menyamakan kedudukan via sepakan penalti.
Namun perjuangan Madrid berakhir sendu karena pemain pengganti, Cristian Tello, berhasil menggetarkan jala Thibaut Courtois guna membawa Betis unggul sekaligus mengunci poin sempurna.
Di laga ini, awalnya Zidane menempatkan Kroos dan Modric sebagai pelayan utama Benzema. Sedangkan Vazquez dan Vinicius banyak bergerak di area tepi. Namun permainan rapat yang disuguhkan Los Verdiblancos benar-benar menyulitkan Madrid.
Pergantian yang dilakukan yakni menarik Kroos dan Modric buat digantikan Mariano dan Federico Valverde guna menambah agresivitas plus daya gedor, nyatanya tak membuahkan hasil. Madrid pun angkat koper dari Stadion Benito Villamarin dengan kepala tertunduk.
“Kami bermain sangat buruk sedari sepak mula hingga peluit panjang berbunyi. Rasanya sangat mengecewakan,” ungkap Zidane seperti dirilis sport.es.
Menyoal pemilihan pemain, Zidane terkenal sebagai sosok yang amat percaya terhadap The Winning Team-nya. Rotasi yang ia lakukan cenderung sederhana dan tak banyak improvisasi. Namun nahas, penampilan dari sejumlah pemain, tak sama dengan sebelumnya karena deraan cedera dan lain sebagainya.
Diakui sebagai sosok yang piawai memotivasi anak asuhnya, sebagai pelatih Zidane juga punya kelemahan, utamanya yang terkait taktik. Dalam situasi terjepit, pemahaman taktik yang mumpuni bisa membantu sebuah tim keluar dari masalah. Bahkan menciptakan sejumlah momen ikonik yang sulit dilupakan. Namum Zidane, belum kelewat cakap dalam hal ini.
Sehebat apapun seorang pelatih menyemangati pemain-pemainnya, tapi kata motivasi takkan pernah cukup untuk membereskan segalanya. Mereka juga butuh strategi yang tepat guna membungkam lawan.
Sebagai pelatih, Zidane sepantasnya melakukan evaluasi. Meningkatkan seraya mengasah kemampuan taktisnya beserta para pemain merupakan hal wajib. Dengan begitu, ada variasi permainan yang bisa diterapkan sosok berumur 47 tahun tersebut, khususnya saat mengalami deadlock.
Usai kehilangan peluang memeluk Copa del Rey, kans Madrid untuk berpesta di akhir musim tersisa di kancah La Liga Spanyol dan Liga Champions meski perjuangan ke sana teramat berat.
Akan tetapi, menyudahi periode nirgelar harus diwujudkan sesegera mungkin kalau tak ingin ditinggal jauh oleh para rival. Di sisi lain, Madridistas pun ingin dipenuhi hasratnya beroleh gelar.
Terkait pilihan strategi, Zidane acap bikin ternganga, tapi manajemen Los Blancos yakin bahwa ayah dari Enzo, Luca, Theo, dan Elyaz itu adalah satu-satunya figur yang cocok mengentaskan Madrid dari keterpurukan.
Memperkaya pemahaman taktis serta berani menaruh kepercayaan kepada seluruh anggota skuad asuhannya merupakan langkah yang wajib dilakukan Zidane. Hal itu berpotensi membantu Madrid keluar dari situasi sesulit apapun di sebuah pertandingan sehingga mereka tak kepayahan layaknya sekarang.