Liverpool Era Juergen Klopp Perlu Meniru Kepemimpinan Sir Alex Ferguson di Manchester United

Mendukung sebuah klub bernama Liverpool bukan perkara mudah. Banyak hal yang membuat Anda menjadi sedikit sinting lantaran ekspektasi yang diharapakan jarang menjadi kenyataan.  Salah satu ekspektasi itu adalah keinginan merekrut pemain world class di bursa transfer.

Saat Liverpool kesulitan mendatangkan pemain world class, Manchester United yang hanya bermain di Europa League justru melakukan hal sebaliknya. Mereka membuktikan bahwa bermain di Liga Malam Jumat tak memengaruhi citra mereka sebagai klub besar dan digdaya menarik hati pemain bintang. Hal yang gagal dilakukan Liverpool, bahkan saat mereka lolos ke Liga Champions 2 musim lalu.

Kedatangan Sir Alex Ferguson 30 tahun lalu menjadi awal rezim kesuksesan United di ranah Inggris setelah sempat meredup sepeninggal Sir Matt Busby. Sementara Liverpool sejak ditinggal Rafael Benitez seret trofi bergengsi (lupakan trofi Capital One Cup tahun 2012). Untuk English Premier League sendiri, mereka sudah puasa gelar 26 tahun. Iya, 26 tahun.

Secercah harapan muncul kala Jurgen Klopp datang dari Borussia Dortmund ke Kota Pelabuhan untuk menggantikan Brendan Rodgers. Pria berkacamata tersebut langsung diberikan beban berat seperti awal kedatangan Sir Alex Ferguson ke United kala itu: mengembalikan kejayaan klub.

Memang, Fergie baru bisa memberikan gelar pertamanya bagi United di musim keempatnya. Namun, selebihnya adalah sejarah, yang membuat United sampai saat ini sangat disegani sebagai salah satu tim terpopuler.

Maka ketika kini Klopp nyaris genap setahun menangani Liverpool, saya melihat ada beberapa hal yang patut diikuti Si Merah untuk mencontoh United.

Kebijakan transfer

Jika Anda seorang Kopites dan berharap Liverpool mendapatkan pemain sekelas Zlatan Ibrahimovic, maka lebih baik main FIFA atau PES saja. Liverpool tidak sudi membeli pemain gratis dengan label world class. The Reds lebih terpesona dengan yang tua dan sudah usang semacam Kolo Toure, Alex Maningger, dan Milan Jovanovic dengan status transfer yang sama.

Paragraf di atas adalah sedikit celotehan saya yang lumayan shock dengan kebijakan transfer Manchester United dalam tiga setengah musim terakhir. Setan Merah terlihat jor-joran dalam mengeluarkan uang demi mendapatkan pemain incarannya. Seperti bukan Manchester United yang saya kenal di masa lalu, yang biasanya berhati-hati memilah pemain incaran.

Paul Pogba, Juan Mata, Anthony Martial, Eric Bailly adalah pemain dengan nominal transfer masing-masing seharga lebih dari 30 juta poundsterling sejak Ferguson mengudurkan diri dari jabatannya sebagai manajer.

Padahal, dahulu, pria kelahiran Skotlandia tersebut memiliki kebijakan transfer yang menurut saya tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Juventus saat ini. Fergie terlihat pilih-pilih pemain jika ingin mengeluarkan kocek besar.

BACA JUGA:  Apa yang Ditawarkan Conte kepada Manchester United?

Pada 2007, ia memang mendatangkan Dimitar Berbatov dari Tottenham Hotspur seharga 30,7 juta poundsterling. Sialnya, Berbatov dicap flop oleh sejumlah media Inggris. Pun dengan Juan Sebastian Veron, yang bahkan lebih buruk ketimbang Berbatov.

Selebihnya, mayoritas ia merekrut pemain yang memiliki potensi menjadi bintang.

The Reds, meskipun juga beberapa kali melakukan perjudian dengan mendatangkan pemain yang kerap dilabeli overrated dengan harga fantastis, saat ini berangsur berubah. Klopp laiknya Ferguson, lebih berhati-hati dalam memilih pemain dengan kriteria serta harga yang sudah dipikirkan secara matang.

Sejauh ini, Sadio Mane dan Georginio Wijnaldum menjadi dua pemain termahal Klopp di bursa transfer. Sisanya merupakan pemain potensial dengan harga murah yakni Marko Grujic, Loris Karius, dan Joel Matip. Sewaktu di Dortmund, transfer termahal Klopp adalah Henrik Mkhitaryan yang diboyong dari Shakthar Donetsk (19,25 juta poundsterling).

Kebijakan transfer Klopp ini setidaknya membuat Linda Pizzuti dapat menghabiskan uang John W. Henry, suaminya, dengan pergi ke salon sesering mungkin.

Percaya dengan latihan

Medio November 2015, Klopp menyerukan pernyataan yang membuat saya melting. Ia merasa jika hanya dia satu-satunya orang di dunia ini yang lebih percaya latihan ketimbang membeli pemain di bursa transfer untuk menciptakan kualitas.

Dengan materi pemain seadanya musim lalu, Klopp sukses membawa Liverpool mencapai dua final meskipun gagal juara.

Kini, dengan kedatangan Pep Guardiola serta Antonio Conte ke jajaran top tim elit disertai dengan belanja pemain bintang secara masif, skuat Liverpool masih dianggap kurang bisa bersaing, bahkan untuk finis di 4 besar saja sudah dianggap pencapaian besar.

Musim 2012/2013, Ferguson membawa Manchester United meraih gelar EPL ke-20. Jika dicermati, saat itu skuat yang dimiliki Fergie kalah mentereng ketimbang Chelsea dan Manchester City. Namun, Fergie dengan sifat konservatifnya tahu benar bagaimana membangun skuat yang besar tidak bergantung kepada nama besar.

Dengan skuat yang hampir sama semusim setelahnya mereka nyaris juara andai tidak ada teriakan bersejarah “Agueroooo” oleh Martyn Tyler.

Mungkin saja, dengan konsep training lebih baik ketimbang transfer, Fergie yakin bahwa sebuah gelar tidak sulit untuk diraih. Pemain macam John O’Shea, Tom Cleverley, dan Wes Brown bahkan bisa berkembang dengan baik.

BACA JUGA:  Turki: Kuda Hitam yang Nasibnya di Ujung Tanduk

Maka dari itu, Liverpool tak perlu merendah dengan skuat yang tidak semewah para rival. Jika Klopp mampu menyatukan elemen parsial di dalam skuat bahkan sampai suporter, justru para rival yang harus berhati-hati.

Jika Ferguson mampu menenggelamkan Arsenal dengan skor 8-2 kala itu dengan starting XI yang hipster, saya harap Klopp nanti mampu mempermalukan City-nya Guardiola dengan Ragnar Klavan, James Milner, dan Alex Manninger di dalamnya. Kalau kalah? Tenang, kan This is (always) will be Our Year.

Fondasi masa depan

The Class of 1992 milik United bukan hanya sebuah cerita, namun mimpi sempurna bagi setiap pemain muda akademi di negeri Ratu Elizabeth. David Beckham, dkk. dikolaborasikan tangan dingin Fergie mampu membawa kesuksesan bagi The Red Devils. Hal ini adalah sesuatu yang patut dipelajari oleh Liverpool.

Liverpool kebanjiran pemain muda potensial dengan beragam macam talenta.  Musim lalu, nama-nama seperti Sheyi Ojo, Cameron Brannagan, Kevin Stewart, sampai Pedro Chirivella sudah diorbitkan Klopp. Di samping itu, masih ada pemain yang tampil memukau di pra-musim seperti Ovie Ejaria, Ben Woodburn, dan Ryan Kent.

Mantan pelatih Mainz tersebut bahkan sudah menguatkan keinginginannya untuk terus mempromosikan para youngster ke tim utama. Semenjak Steven Gerrard dan Jamie Carragher, akademi Liverpool memang mandek menelurkan pemain berkualitas.

Jordan Rossiter, yang dilabeli The Next Gerrard karena rupa dan gaya bermain yang mirip bahkan harus menyeberang ke Skotlandia karena tidak mampu bersaing dalam persaingan lini tengah Liverpool.

Sementara itu, nama-nama seperti Jay Spearing, Martin Kelly, dan Jon Flanagan tak mampu memenuhi ekspektasi publik. Nama terakhir, yang dilabeli The British Cafu bahkan harus dipinjamkan ke Burnley untuk mendapatkan puncak performanya kembali seperti di musim 2013/2014.

Dengan orientasi yang sudah dirancang Klopp, rasa-rasanya tak ada salahnya berharap jika ini saat yang tepat untuk melihat tim utama Liverpool dihuni banyak pemain binaan akademi. Soal gelar itu urusan nanti.

**

Memang, semuanya masih dalam asumsi Klopp tetap di Liverpool sampai kontraknya berakhir tahun 2022. Kita semua tahu, jika Liverpool puasa trofi lagi, Kopites akan dengan mudah mengekspansi Twitter dengan tagar #KloppOut. Sementara United dengan Jose Mourinho-nya bisa saja membantahkan artikel ini seandainya mereka mampu meraih kedigdayaan.

Tapi saya sih tenang saja. Mourinho tidak pernah bertahan lebih dari 4 tahun di klub yang pernah dilatihnya, bukan?

 

Komentar
Mahasiswa jurusan Teknik Informatika. Terlahir sebagai fans Liverpool, berkat dukungan moral sang ayah.