Ruang Publik dan Kopi di Warkop Pitulikur

Terletak di tengah kota Surabaya, Warung Kopi (Warkop) Pitulikur mengingatkan saya pada pemikiran Jurgen Habermas tentang ruang publik (public sphere). Tempatnya secara fisik sungguh sederhana dengan dipenuhi besi-besi bekas, karena kebetulan di sekitarnya terdapat pengepul besi bekas. Lantainya hanyalah tanah dengan bangku dan meja yang terbuat dari kayu. Ukurannya cukup luas, sanggup menampung lebih dari lima puluh pengunjung. Jika bangku penuh, plastik bekas spanduk digital siap digelar untuk lesehan. Menu utamanya, sesuai dengan namanya, tentu saja adalah kopi hitam pekat. Menu tambahannya, ada nasi bungkus, mie instan, gorengan dan krupuk.

Di balik kesederhanaannya, Warkop Pitulikur memanjakan pengunjungnya dengan teknologi canggih. Sebuah televisi plasma berukuran besar dan proyektor digital siap menayangkan pertandingan sepak bola bagi para pengunjung yang kebanyakan adalah penggila sepak bola. Selain itu, akses internet melalui wifi terbuka diakses oleh para pengunjung untuk berselancar ke dunia digital.

Saat saya mengunjungi Warkop Pitulikur pada Sabtu tanggal 13 Juni 2015, sebuah spanduk nonton bareng final Liga Champion yang memertemukan Barcelona dan Juventus masih terpasang di depan warung. Hari itu, Warkop Pitulikur ramai dikunjungi oleh para pelanggannya. Di antaranya masih berseragam sekolah menengah atas (SMA). Beragam perbincangan bersahutan di ini, namun secara umum para pengunjung memerbincangkan tentang pertandingan sepak bola yang akan berlangsung malam harinya. Pertandingan yang akan memertemukan Andik and Friends dan Team Amigos. Tim yang disebut pertama adalah tim yang diperkuat para pemain yang pernah memperkuat Persebaya, dan yang disebut terakhir adalah tim yang terdiri dari pemain asing yang berasal dari Amerika Latin yang berlaga di sepak bola Indonesia. Kebetulan warkop Pitulikur menjadi salah satu tempat penukaran kuitansi tiket pertandingan.

Selain para fans Persebaya yang hendak menukarkan kuitansi menjadi tiket, datang juga beberapa fans yang hendak membeli tiket secara langsung. Sayangnya, tiket sudah habis. Warkop Pitulikur mempersilakan mereka yang belum mendapatkan tiket untuk datang langsung ke loket yang ada di Gelora Bung Tomo setelah mendapat jaminan bahwa tiket masih tersedia di loket stadion.

BACA JUGA:  Air Perdamaian Suporter Indonesia

Hari Sabtu itu, pagi hari di warkop Pitulikur, serombongan Bonek dari Jakarta dan sekitarnya datang setelah menempuh perjalanan dengan moda transportasi udara. Berjumpalah mereka dengan rombongan Bonek dari Yogyakarta dan beberapa kota lain, serta tentu saja tuan rumah, Surabaya. Setelah berbasa-basi menanyakan tentang kabar, perbincangan dengan menyegera mengarah pada satu tema, Persebaya.

Lebih dari dua tahun, klub ini didera dualisme setelah intervensi elit PSSI berkaitan tentang kepemilikan Persebaya. “Persebaya” yang didirikan dengan restu PSSI ternyata tidak mampu mengundang simpati publik Surabaya dan Jawa Timur. Justru Persebaya yang terpaksa harus menyandang nama Persebaya (1927) yang mendapat simpati publik. Perbincangan pun menjadi wacana tentang masa depan Persebaya. Ada beragam wacana yang berkembang, terutama adalah berkaitan dengan kepastian hukum tentang Persebaya yang tengah diperjuangkan di meja hijau.

Ditemani dengan kopi hitam pekat, bagaimana wacana dan gagasan didiskusikan oleh para pengunjungnya di warkop Pitulikur, mengingatkan saya pada pemikiran Jurgen Habermas tentang “warung kopi” di masa abad pertengahan. Masyarakat kelas menengah Eropa berjumpa di sana untuk saling beradu pendapat secara egaliter tentang Eropa di masa depan. Dari sanalah, ide-ide tentang demokrasi berkembang, melawan monarki absolut yang mencengkeram Eropa. Inilah yang disebut sebagai ruang publik.

Tentang prasyarat adanya ruang publik kurang lebihnya demikian. Pertama, ruang publik ada ketika partisipan memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam mengemukakan gagasannya. Kedua, tidak ada tekanan bagi partisipan yang terlibat dalam wacana. Terakhir, gagasan-gagasan didiskusikan secara terbuka oleh semua partisipan yang terlibat dalam wacana tanpa ada saling memaksakan kehendak.

Brian Cowan menulis sebuah buku menarik tentang ruang publik yang diperkenalkan oleh Jurgen Habermas dengan minum kopi dalam perspektif sejarah berjudul The Social Life of Coffee: The Emergence of British Coffeehouse (2005). Menurutnya, masuknya kopi dari daerah Timur ke Inggris yang diperkenalkan oleh kekaisaran Ottoman diiringi dengan kemunculan warung atau kedai kopi. Kopi yang awalnya hanya dikenal oleh para pengelana Inggris berubah menjadi bagian dari aktivitas publik. Di warung kopi cinderamata dan barang milik para virtuoso dipajang sebagai dekorasi untuk menarik minat publik mengunjunginya.

BACA JUGA:  Sepakbola dan Wisata Kuliner di Stadion

Berangsur-angsur, warung kopi menjadi pusat informasi dan pertukaran gagasan masyarakat urban. Kalangan pekerja menyempatkan diri mampir di warung kopi untuk membaca koran atau mendengarkan isu baru. Keriuhan pengunjung warung kopi dalam menyampaikan gagasan dan wacana menjadikan warung kopi memiliki kekuatan politis di mata penguasa. Di warung kopi, mengikuti gagasan Jurgen Habermas, pengunjung yang menelorkan wacananya tidak dipandang karena latar belakang statusnya. Semua pengunjung dapat berwacana tanpa terpatok pada status sosial yang bersangkutan. Inilah yang menjadi dasar terbentuknya rasionalitas dalam berwacana. Kuasa kerajaan dan borjuasi yang sebelumnya menentukan wacana publik tenggelam oleh rasionalitas.

Ruang publik sebagaimana yang muncul di Eropa pada masa pencerahan dan gagasan Jurgen Habermas bisa kita temukan di Warkop Pitulikur. Pengunjungnya yang saya jumpai adalah publik yang tercerahkan dan terdidik dengan baik. Jika kelas pekerja di Inggris pada masa lalu mengunjungi kedai kopi untuk mendapatkan koran, pengunjung Warkop Pitulikur mendapatkan akses internet gratis. Informasi yang mereka dapatkan kemudian dipertukarkan baik dalam diskusi di meja warung kopi maupun disebarkan ke media sosial.

Mereka juga memiliki gagasan dan menghormati wacana yang berkembang dalam diskusi tanpa memandang status sosialnya. Di sinilah wacana publik yang didasarkan rasionalitas berkembang. Hampir de javu dengan Eropa di masa lampau, mereka yang datang ke Warkop Pitulikur menghadapi tirani. Jika dulu absolutisme di Eropa adalah monarki, kini yang mereka hadapi adalah tirani yang mencoba mematikan Persebaya.

 

Komentar
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.