Kecantikan dan sepak bola memang bukan sinonim atau kata yang biasa berasosiasi. Akan tetapi, sepak bola nyatanya selalu mampu menawarkan bentuk-bentuk kecantikan yang bisa dinikmati dalam beragam bentuk. Gocek patah-patah Lionel Messi, tendangan-tendangan meriam Cristiano Ronaldo, atau ensiklopedia trik-trik freestyle dalam sosok Ronaldinho. Dalam beberapa aspek, bisa dianggap bahwa mereka adalah pesolek-pesolek menawan lapangan hijau.
Dalam konsep yang lebih besar lagi, beberapa orang justru lebih tertarik pada kerumitan taktik. Terpesona dengan mbulet-nya strategi, pergantian posisi demi posisi, antusias dengan peran-peran sweeper sampai false 9 yang sedang populer (kembali) belakangan ini. Punya ketertarikan akut dengan cara-cara berpikir pelatih-pelatih sepak bola. Nah, bagi orang-orang macam ini, pemain bola hanyalah kuas, lapangan hanya kanvas, dan pelatih merupakan pelukis di balik kecantikan yang sebenarnya.
Sepak bola adalah rangkaian kecantikan dalam setiap lapisannya. Dalam aspek lain, adegan seperti penonton nyelonong masuk ke lapangan atau anak gawang yang menghalangi pemain klub tamu mengambil bola keluar adalah kecantikan sepak bola dalam tafsirnya sendiri. Bahkan, esai-esai bertema bola semacam ini—dalam kadar tertentu—juga bisa masuk dalam bingkai kecantikan sepak bola juga.
Sayang, kecantikan yang terlalu bertumpuk berjejal dalam sepak bola di berbagai aspek ini sedikitnya membuat kita gegar struktur dalam memahami sepak bola. Keindahan taktik dan trik dalam sepak bola, berikut dengan segala macam kerumitannya, harus diakui, membuat kita sedikit melupakan aspek paling dasar sepak bola. Bahwa di balik keglamoran dan make up tebal itu, ada wajah sepak bola yang menawan dalam bentuk paling sederhana.
Membuat teknik dasar sepak bola jadi kekuatan utama
Tanggal 2 Maret 2002, Arsenal dijamu Newcestle United pada ajang Liga Primer Inggris. Pertandingan baru memasuki menit ke-11 dan Dennis Bergkamp mendapatkan umpan yang kurang begitu baik dari Robert Pires di sisi kanan pertahanan Newcastle.
“Saya meminta umpan dari Pires, tapi bola malah bergulir ke arah belakang tubuh saya,” ujarnya seperti ditulis Jonathan Liew, jurnalis Telegraph, “Ini bukan yang saya harapkan, jadi saya pikir saya perlu ide lain.”
Bergkamp menyebutnya; “ide lain”. Sederhana sekali. Namun apa yang terjadi satu sampai dua detik berikutnya tidaklah sesederhana itu. Seluruh penonton di St. James’ Park malam itu melongo. Ide lain yang sederhana itulah yang akhirnya menghadirkan salah satu gol tercantik Bergkamp sepanjang karirnya—atau barangkali salah satu yang terbaik di tanah Britania Raya.
Bola yang bergulir di belakang mantan pemain Ajax Amsterdam ini dikontrol dengan kaki kiri. Posisi yang tidak ideal karena Bergkamp membelakangi gawang. Namun alih-alih menghentikan bola, Bergkamp justru melakukan sedikit dorongan kepada bola. Memberikan putaran yang membuat bola seolah-olah melayang entah ke mana.
Bukannya mengejar ke arah yang sama dengan laju bola, Bergkamp malah berputar berlawanan dengan arah bola. Hal yang membuat bek Newcastle, Nikos Dabizas bingung karena Bergkamp ke kiri dan bola ke kanan. Saat itu tidak ada seorang pemain pun di dalam lapangan yakin apa yang hendak dilakukan seorang Bergkamp. Mau apa dia? Memberi umpan ke pemain lain? Mana mungkin. Tidak ada pemain lain selain dirinya di kotak penalti Newcastle.
Situasi mendadak aneh ketika bola yang disentuh Bergkamp tadi mengalami putaran bola yang membuatnya seperti bumerang—kembali lagi ke pemiliknya. Ya, malam itu, Bergkamp melakukan “kombinasi satu-dua” seorang diri. Menempatkan bola pada titik yang sudah ditentukannya, dan ia berlari ke titik yang direncanakan. Seketika ia langsung berada di situasi satu lawan satu dengan kiper. Dengan tenang, Bergkamp kemudian menendang bola mendatar. Gol untuk Arsenal.
“Sepuluh yard sebelum bola datang, saya menentukan keputusan saya. ‘Aku akan mengubahnya (laju bola)’,” ujar striker legendaris Arsenal itu.
Gol yang begitu indah. Bahkan sekalipun Anda mengulangi video rekamannya ratusan sampai ribuan kali. Anda seolah dibuat penasaran dan berulangkali ingin memastikan, apakah Bergkamp menggunakan semacam teknologi elektromagnetik untuk melakukannya?
Namun pertanyaan semacam itu akan langsung bungkam ketika Anda mengingat kembali tipikal gol-gol seorang Bergkamp. Baik yang dilakukan ketika di Ajax, Arsenal, maupun di tim nasional (timnas) Belanda. Tidak semuanya memang, tapi kebanyakan gol pemain yang memiliki fobia naik pesawat terbang ini memang sering diawali dari sentuhan yang—karena terlalu sempurnanya maka bisa dibilang—sangat “kurang ajar”!
“Kekurangajaran” yang sama juga bisa ditemukan pemain lain dari posisi yang berbeda. Sedikit ke belakang dari posisi Dennis Bergkamp. Seorang gelandang yang telah bersama Barcelona sepanjang 17 tahun karir sepak bola profesionalnya. Ya, Anda pasti mengenalnya; Xavier Hernandez Creus, atau lebih dikenal dengan nama Xavi Hernandez.
Apakah Xavi memiliki kontrol bola yang sempurna seperti Bergkamp juga? Hmm, tidak juga. Sebagai seorang pemain sepak bola profesional kelas dunia, tentu Xavi memiliki kontrol bola yang baik, tapi harus diakui ia tidaklah sesempurna Bergkamp dalam melakukannya. Meskipun begitu, Xavi memiliki keahlian teknik dasar berikutnya dengan sempurna: sebuah umpan.
Memberi umpan memang pekerjaan sederhana. Begitu sederhananya, bahkan membuat banyak dari kita sering enggan melakukannya ketika bermain futsal atau sepak bola. Kita menganggap bahwa memberi umpan adalah pekerjaan mudah, dan sayangnya sepak bola disukai bukan karena kemudahannya, namun karena kesulitan serta tantangannya. Dan salah satu kesulitan yang selalu menarik untuk dicoba adalah menggocek bola—melewati satu sampai tiga pemain lawan.
Perasaan memberi umpan yang berhasil menerobos sepuluh pemain lawan tidaklah semenyenangkan ketika menggocek tiga pemain lawan. Sebuah perasaan yang sudah lama mengendap dalam setiap benak dari orang-orang yang tidak hanya suka menonton sepak bola, tapi juga sering memainkannya. Barangkali karena kesederhanaannya itulah, pemain-pemain yang memiliki umpan-umpan brilian selalu kalah populer dari seorang eksekutor gol atau penggocek bola yang yahud.
“Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi memang pemain luar biasa. Tapi itu semua tergantung bagaimana Anda melihat permainan ini. Saya melihat Xavi layak untuk itu (menjadi pemain terbaik dunia) bukan karena dia yang terbaik, tapi karena dia adalah tipe pemain yang bekerja keras untuk memungkinkan pemain lain menjadi lebih baik (dengan umpannya),” kata Johan Cruyff.
Dunia sepak bola mengenal pengumpan-pengumpan ulung. Ada David Beckham, Luis Figo, Rui Costa, hingga seorang maestro umpan macam Andrea Pirlo. Tidak ada yang bisa membantah kemampuan umpan mereka. Lalu apa yang membuat seorang Xavi punya nilai berbeda dari nama-nama legendaris tersebut?
Jawabannya adalah kemauannya tetap setia untuk bermain sederhana. Sederhana dengan umpan-umpannya, tidak memaksakan agar terlihat indah, mengumpan seperti mesin yang terkesan konstan, dan meminimalisir segala potensi kesalahan. Jika dilihat dengan perspektif ini, kita akan menemukan bahwa ternyata “kekurangajaran” Xavi justru terletak pada kesederhanaannya.
Bermain sederhana tidak pernah mudah. Apalagi ketika Anda sebenarnya memiliki kemampuan yang lebih dari itu. Dan kita semua tahu, kemampuan Xavi tidak semudah yang dikira. Sebab ia termasuk salah satu pemain yang jarang sekali melakukan salah umpan sepanjang karirnya.
“Kedengarannya mudah, tapi untuk menguasai teknik ini sulit. Ini adalah cara saya bertahan di sepak bola. Secara fisik saya tidak kuat atau tinggi, jadi saya selalu harus mencari ruang bebas di mana saya dapat membuat ruang dan punya waktu untuk berpikir, mengontrol bola, dan memberi umpan berikutnya,” ujar Xavi.
Sebagai pencetak rekor pemain terbanyak yang memberikan umpan 100% sukses (96 passing) dalam satu pertandingan di pentas Liga Champions (musim 2012/2013 saat melawan Paris Saint Germain [PSG]), Xavi adalah—meminjam kata-kata Sergio Ramos; “Sepak bola dalam bentuknya yang paling murni.”
Menalar dan menakar sepak bola dari dasar
Dalam otobiografinya, David Beckham pernah menjelaskan mengenai konsep sederhana soal pemahamannya mengenai sepak bola. “Siapa yang paling cepat di lapangan sepak bola? Thierry Henry?” tanyanya. Bukan. Yang paling cepat adalah bola, tulis Beckham kemudian. Ya, bola.
Sebuah benda yang menjadi alasan permainan ini ada. Anda mungkin masih bisa bermain sepak bola jika tidak punya lapangan, Anda masih bisa pindah ke teras rumah, halaman belakang, atau bahkan garasi rumah. Namun semua itu akan percuma jika Anda tidak punya bola atau apapun yang bisa dijadikan “bola”.
Barangkali, banyak dari kita yang sempat mencibir kemampuan olah bola Beckham yang biasa saja saat ia masih aktif sebagai pemain, tapi kita jelas tidak bisa membantah akan kemampuan umpannya yang begitu terukur. Dan oleh karenanya, didasari dari kemampuan terkenalnya itu (baca: umpan) Beckham ternyata cukup mampu menerjemahkan sepak bola dalam bentuknya yang paling dasar.
Bola sebagai benda tercepat dalam lapangan sepak bola memang gagasan yang menarik. Sebagai perbandingan untuk menjelaskannya: asis Beckham ke Michael Owen di perdelapanfinal Piala Dunia 1998 melawan Argentina, jauh lebih cepat lajunya daripada larinya Owen dalam aksi solo run-nya sebelum mencetak salah satu gol terbaik Piala Dunia sepanjang masa itu.
Dalam kasus lain, umpan jauh yang dilepaskan oleh Frank De Boer pada laga perempatfinal Piala Dunia 1998 (juga melawan Argentina) menuju ke kaki Dennis Bergkamp—yang juga dikontrol dengan begitu “kurang ajar”—dan membuat Belanda lolos ke semifinal di menit-menit akhir, jauh lebih cepat daripada larinya Arjen Robben ketika beradu sprint dengan Sergio Ramos sebelum mencetak gol ke gawang Spanyol di babak grup Piala Dunia 2014.
Artinya, secepat apapun lari seorang pemain sepak bola, mustahil bisa menandingi kecepatan laju sebuah bola. Dan itulah mengapa, dua teknik dasar sepak bola dihadirkan sebagai fasilitas dasar untuk memaksimalkan potensi “kemampuan” bola tersebut.
Dua teknik dasar ini adalah dua elemen pertama yang diajarkan kepada calon-calon pemain sepak bola profesional masa depan di seluruh akademi dan sekolah sepak bola seluruh dunia. Setiap pergerakan pemain, strategi, serta taktik yang diterapkan pelatih dalam sepak bola akan percuma jika pemain tidak memiliki dua teknik elementer tersebut secara matang. Ya, terdengar sederhana memang, tapi tidak mudah.
“Simplicity is the ultimate sophistacation,” kalau kata Leonardo da Vinci. Kesederhanaan adalah kecanggihan tertinggi. Bagi seniman sekaligus visioner Italia macam Da Vinci, semakin canggih berarti justru semakin sederhana, bukannya malah membuat semakin rumit. Dan hal itu juga berlaku dalam sepak bola.
Apabila dijalankan secara konstan dengan tingkat kesalahan yang minim; bahkan kalau perlu sampai di titik nol, teknik dasar justru akan menjadi kekuatan yang dahsyat dan mengerikan. Itulah alasan kenapa tiki-taka sempat begitu digdaya dan bertahan cukup lama. Sederhana saja, sebab tiki-taka adalah pengejewantahan taktik sepak bola ke bentuknya yang paling dasar: kontrol bola dan memberi umpan.
Dua hal yang nyatanya juga berhasil dimaksimalkan secara sempurna oleh Dennis Bergkamp dan Xavi Hernandez, yang menghadirkan kecantikan sepak bola dari bentuknya yang paling dasar. ∎