Arsenal Berhati Nyaman: Sebuah Kritik Identitas

“Ketika sebuah identitas sudah menguap, kekayaan apalagi yang bisa kita banggakan?” Pertanyaan tersebut mungkin terdengar klise, namun menjadi sesuatu yang esensial dan seharusnya bisa dijawab dengan tegas, terutama untuk sebuah kota (yang katanya) istimewa.

Perhatikan judul di atas. Frasa “berhati nyaman” merupakan unsur mesra dari sebuah kota yang disebut Yogyakarta (selanjutnya disebut Jogja). Frasa tersebut telah melekat cukup lama; konon melewati dua dasawarsa. Frasa “berhati nyaman” merupakan cermin khas dari masyarakat kota Jogjayang madani dan luas. Para pendatang secara otomatis akan merasakan cinta ketika menginjakkan kaki di Bumi Damai Amarta. Namun, seiring zaman yang berputar, kemesraan justru memudar. Kini, yang disebut istimewa, tak lagi semanis derawa (gula –red).

Lagi, perhatikan judul di atas, di mana kata “Arsenal” melengkapi frasa “berhati nyaman”. Bukan, Arsenal bukanlah bagian dari Jogja. Arsenal adalah salah sebuah klub yang bermukim di London Utara, di negerinya Ratu Elizabeth. Lalu, mengapa kata Arsenal nangkring mendampingi frasa “berhati nyaman”?

Beberapa hari yang lalu, penulis membaca sebuah artikel daring dari Radar Jogja yang berjudul Akan Ada 12 Mal di DIJ. Artikel terbitan 21 Maret 2015 tersebut pada intinya menyebutkan bahwa akan ada 12 tempat perbelanjaan modern baru yang akan berdiri di Jogja. Sekilas, kabar tersebut menyiratkan bentuk modernisasi dan pesatnya pembangunan di Jogja. Akan tetapi, alih-alih bahagia, penulis justru merasakan hati yang sakit dan miris jika membayangkan bagaimana rupa Jogja kelak.

Penulis bukan ahli tata kota dan pembangunan. Penulis hanya warga lokal biasa sekaligus penggila Arsenal yang prihatin dengan arah perjalanan Jogja untuk beberapa tahun ke depan. Penulis merasa, pembangunan 12 mal tersebut bukan langkah terbaik untuk warga Jogja pada umumnya. Pembangunan tersebut merupakan hegemoni kosong dari praktik pembangunan tanpa identitas. Ya, ini adalah kritik terhadap identitas, suatu nilai yang penulis pelajari dari Arsenal dan nilai luhur budaya Jogja.

Ada sebuah paralelisme antara Arsenal dan Jogja, yang mungkin tidak pernah digali. Pertama, kita akan berbicara Arsenal, terutama dalam rentang puasa gelar selama sembilan tahun usai memenangi Piala FA pada tahun 2005. Pada periode tersebut, para pendukung Arsenal seperti diuji kesabarannya sampai batas maksimal. Mungkin, tidak sedikit pendukung Arsenal yang tidak mampu bersabar lebih lama lagi dan memutuskan menjadi glory hunter saja. Namun penulis mencoba setia, memahami, dan mempelajari arah “pembangunan” manajemen Arsenal.

BACA JUGA:  Museum Hidup Bernama Stadion Sultan Agung

Dana yang minim, ditambah batasan tegas soal besarnya gaji membuat Arsene Wenger, manajer Arsenal, tidak mampu royal berbelanja pemain. Bahkan, selama puasa gelar tersebut, Arsenal menjadi selling club yang ikhlas melepas 2-3 pemain intinya setiap musim. Pengetatan ikat pinggang dan praktik pengiritan yang dilakukan Arsenal tersebut bukan tanpa tujuan. Selain untuk membangun stadion yang representative dan berkelas dunia, Arsenal juga menginvestasikan sejumlah besar pemasukan untuk membangun pusat pelatihan, akademi, dan tentu masa depan klub.

Selama masa itu juga, Arsene Wenger sendiri diuji kebesaran hatinya. Beberapa kali ia diminta untuk turun. Namun Wenger bertahan, tentu dengan dukungan manajemen, untuk terus menegaskan identitas dan visi terbaik yang tengah dibangun. “Mungkin, jika tanpa Wenger, Arsenal tidak akan berdiri di tempatnya saat ini, sebagai klub profesional yang mandiri secara finansial, tangguh untuk menyambut masa depan, dan mampu bersaing dengan para big fish Liga Primer Inggris di empat besar” adalah kalimat sakti dari para pencinta Wenger. Penulis sendiri berpandangan, manajer pengganti Wenger bisa saja memenangi gelar Liga Champions, kompetisi antarklub paling bergengsi di Eropa. Sebuah titel yang sampai saat ini belum pernah dicapai Wenger. Namun, si pengganti tersebut, siapa pun dia, akan merasakan manisnya kesuksesan dengan dasar yang dibangun seorang Wenger.

Dalam proses tersebut jelas terjadi sebuah kesepakatan untuk membangun klub di jalan yang benar. Salah satunya adalah dengan mempertahankan identitas dan memperkuatnya dengan visi Victoria Concordia Crescit (kemenangan yang dicapai dari keharmonisan). Saat terjebak di tengah klub pemangsa dengan dana wah, Arsenal tidak tergoda untuk berutang atau menjual identitas demi latah membeli pemain-pemain dengan harga selangit. Arsenal tetap bertahan dengan identitas pembinaan pemain dan dengan visi terbaik.

Sisi inilah yang sangat dibutuhkan Jogja saat ini. Jogja, sebagai kota dengan budaya luhur, jelas mempunyai modal istimewa untuk menjadi kota modern sekaligus ramah dengan manusia yang berkembang di dalamnya. Apakah 12 mal, yang “dipaksa” berdiri di wilayah sempit adalah bahan bakar terbaik untuk menggerakkan roda perekonomian Jogja? Tidak! Apakah bangunan fisik merupakan modal paling penting mencapai kemandirian dan keluhuran insan? Tidak! Jogja harus membangun patokan dan dasar utama globalisasi, yaitu manusia.

Pembangunan yang salah kaprah sudah menunjukkan dampak negatifnya. Tengok saja Jalan Laksda Adisucipto kala malam hari setiap akhir pekan. Jalan besar kota Jogja-Sleman berubah menjadi seperti babakan. Riuh rendah kendaraan yang tersendat, macet lagi ruwet. Ingat lagi dengan protes warga tempo hari karena sumur yang asat. Pendirian hotel tanpa memikirkan lingkungan membuat air minggat. Warga protes dengan mandi tanah, menjadi gambaran betapa dampak buruk pembangunan tanpa visi tersebut. Kalau sudah begini, sah sudah jika Anda ingin menghapus “Ruang Terbuka Hijau” dari kamus istilah milik pemerintah daerah kota Jogja (yang katanya istimewa).

BACA JUGA:  Para Mursyid di Lapangan Hijau

Lihat bagaimana Arsenal tidak gampang menyerah dengan investor bernaluri pemangsa. Lihat Arsenal yang bertahan dengan identitas dan visinya. Penting untuk dicatat bahwa identitas adalah kekayaan sebenarnya dari seorang manusia. Insan dewasa, yang sudah memahami bagaimana dunia bekerja, selalu mendasarkan identitas kepada khitahnya sebagai manusia ciptaan Tuhan. Bagi orang Jogja, ada satu adagium luhur, yaitu Hamemayu Hayuning Bawono.

Menurut Ahmad Sarwono bin Zahir, Hamemayu Hayuning Bawono artinya kewajiban untuk melindungi, memelihara, melestarikan keselamatan dunia dengan mengedepankan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau golongan. Masih menurut Ahmad Sarwono, Hamemayu Hayuning Bawono selaras dengan keyakinan rahmatan lil-alamain dalam agama Islam, yang bermakna menebarkan rahmat dan kasih sayang. Sementara itu, Wagiran dalam artikelnya berjudul Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana menjelaskan bahwa Hamemayu Hayuning Bawono merupakan filsafat dasar pemerintahan raja, yang berarti membuat dunia menjadi lebih indah (ayu) dengan pembangunan yang ramah lingkungan.

Dari dua teori di atas, kita (warga Jogja dan pemerintah daerah pada khususnya) seharusnya paham bahwa visi Jogja ke depan bukan hanya soal branding “Istimewa” dengan warna merah menyala. Pembangunan harus dilandasi dengan pemahaman bahwa dunia harus dibangun dengan dasar kebaikan manusia, bukan kebaikan golongan tertentu. Seiring pemahaman tersebut, pendarasan Hamemayu Hayuning Bawono akan semakin indah ketika sebuah kota mungil dibangun dengan visi ramah lingkungan. Jogja sudah punya modal kuat dalam diri Hamemayu Hayuning Bawono, lalu mengapa kita enggan untuk menerapakannya?

Arsenal akan terus hidup, berkembang, dan akan semakin kuat dengan identitas. Jogja, akan terus hidup, berkembang, tetapi entah apakah identitas sebagai kota budaya akan segera lenyap. Pada akhirnya, manusia Jogja harus hidup dengan pemahaman Hamemayu Hayuning Bawono yang dibangun dengan visi Victoria Concordia Cresit. Kemenangan (kebaikan luhur) dicapai dengan keharmonisan (bukan gedung bertingkat).

 

Komentar
Koki @arsenalskitchen.