Brigata Curva Sud: Wajah Suporter Progresif di Indonesia

Richard Giulianotti dan Roland Robertson dalam jurnal yang berjudul “The Globalization of Football: A Study in the Glocalization of the ‘Serious Life’” menyebutkan bahwa internet memegang peran penting atas globalisasi sepak bola dan pembentukan identitas kolektif suporter.

Giulanotti dan Robertson mengajukan konsep bernama “glokalisasi”. Glokalisasi merupakan proses di mana terjadi penyesuaian antara kultur yang masuk melalui globalisasi dengan budaya lokal.

Proses ini bertujuan agar tidak terjadi pertentangan antara budaya global dengan budaya lokal yang telah ada. Glokalisasi diharapkan membentuk budaya “glokal” yang sejalan dengan kebutuhan, nilai, dan budaya lokal, tetapi juga tidak tertinggal dengan budaya global.

Dalam sepak bola, proses ini dapat terlihat dari berkembangnya kelompok suporter fanatik. Sekalipun beberapa kelompok suporter fanatik tersebut terinspirasi dari satu budaya yang sama, tetap ada kekhasan tersendiri yang berasal dari budaya lokal.

Kekhasan itulah yang menyebabkan suatu kelompok suporter berbeda dengan kelompok lain di berbagai belahan bumi.

Brigata Curva Sud sebagai produk “glokalisasi”

Dalam persepakbolaan Indonesia, Brigata Curva Sud (BCS) merupakan hasil dari proses glokalisasi. BCS merupakan salah satu kelompok suporter PSS Sleman. Kultur BCS yang diususung merupakan asimilasi budaya ultras terutama dari Italia yang masuk melalui globalisasi dengan budaya suporter lokal khususnya di Sleman.

Seperti yang sudah dipaparkan di atas, kemiripan karakter BCS dengan ultras di Italia tidak lantas mengatakan bahwa BCS merupakan produk murni ultras Italia karena kultur BCS terbentuk dari proses glokalisasi. Ultras di mana pun tidak bisa disamakan satu sama lain. Begitu pula ultras Indonesia tidak sama juga dengan ultras Italia.

Dualisme Identitas Suporter PSS Sleman

Menurut Fidel Molina dalam sebuah jurnal yang berjudul “Socialization, ‘Glocal’ Identity and Sport: Football between Local and Global”, identitas dalam sebuah kelompok suporter disokong oleh tiga hal yaitu individu, kota, dan klub.

Begitu juga PSS, setiap individu sebagai sebagai suporter PSS memiliki cara dan ekspresi yang berbeda-beda dalam mengungkapkan fanatismenya. Perbedaan cara berekspresi inilah yang melahirkan kelompok suporter bernama Brigata Curva Sud.

Embrio BCS berawal dari kelompok ultras yang ketika itu masih berada di bawah payung Slemania. Kelompok ultras ini mempunyai pandangan yang berbeda dengan Slemania dalam berekspresi untuk mendukung PSS.

BACA JUGA:  Menjaga Kepakan Sayap Super Elang Jawa

Sentralitas Slemania dianggap gagal mengakomodasi keberagaman yang berkembang. Kelompok-kelompok ultras tersebut memutuskan untuk beralih ke tribun selatan saat pertandingan.

Kelompok ultras di tribun selatan pada awalnya hanya beranggotakan 20-30 orang yang di kemudian hari semakin berkembang. Mereka selanjutnya membentuk Brigata Curva Sud secara resmi pada awal 2011.

Istilah “brigata” dalam “Brigata Curva Sud” sendiri diambil dari film L’ultimo ultras (2009) yang memang berkisah tentang kehidupan ultras Italia. Film ini merupakan salah satu jalan masuk budaya ultras yang akhirnya diadopsi BCS melalui proses glokalisasi.

Lahirnya BCS menghasilkan dualisme identitas suporter PSS Sleman. Warna hijau “Slemania” merupakan suporter lama yang dianggap mengusung budaya konservatif sedangkan warna hitam “Brigata Curva Sud” mewakili suporter baru yang dianggap lebih progresif dari pada saudara tuanya.

Keduanya kini beriringan menyuarakan dukungan untuk PSS, hanya saja berada pada sisi stadion yang berlawanan.

Brigata Curva Sud sebagai ultras

Dalam buku Italian Football: Culture and Organization karangan Alessandro Dal Lago dan Rocco De Biasi dituliskan bahwa ultras memanggul “tugas kultural” di dalam stadion untuk tampil dengan pertunjukan spektakuler dalam kaitan dengan dukungan kolektif kepada sebuah klub, koreografi yang mengagumkan, bendera dan spanduk raksasa, percik kembang api atau sulutan bom asap, rol kertas yang serentak dilempar.

Layaknya ultras yang didefinisikan oleh kedua pakar di atas, BCS juga melakukan hal yang serupa. Spanduk-spanduk terpampang di tribun selatan Stadion Maguwoharjo. Tak lupa bendera-bendera raksasa dikibarkan di baris terdepan tribun.

Fanatisme membawa mereka ke dalam kesadaran untuk bernyanyi sepanjang pertandingan sebagai bentuk dukungan terhadap PSS. Bagi mereka, chants merupakan sebuah doa untuk kekasih tercinta.

“Memadukan bunyi dengan isi hati. Terlebih untuk dia yang menjadi jantung hati ini. Menilik lebih dalam mengenai chants dan doa. Agar apa yang telah menjadi ucapan adalah cita dan impian agar menjadi kenyataan,” tulis admin bcsxpss.com yang merupakan laman resmi BCS.

Glokalisasi tampak ketika BCS menyanyikan lagu berbahasa asing, sebagai contoh adalah lagu Forza Sleman yang merupakan modifikasi dari lagu Forza Milan milik ultras AC Milan. Glokalisasi juga tampak dalam gerakan Poznan yang mereka tampilkan.

BACA JUGA:  Proyek Harapan Palsu Stadion Mahakam Depok

Gerakan Poznan merupakan atraksi meloncat-loncat berangkulan dengan membelakangi lapangan yang pertama kali diperagakan oleh suporter Lech Poznan.

Koreografi juga diperagakan oleh BCS. Ribuan orang yang memadati tribun selatan Stadion Maguwoharjo akan mengangkat kertas bermacam warna pada satu waktu sehingga akan terbentuk sebuah pola tertentu.

Pola koreografi yang dibentuk menyesuaikan jumlah suporter. Pada musim 2011/2012, pola koreografi yang ditampilkan hanya sederhana karena saat itu jumlah anggota masih sedikit. Seiring berjalannya waktu, pola yang dibentuk semakin rumit dan variatif karena jumlah anggota yang semakin bertambah.

Pada akhir pertandingan, BCS mengeluarkan atraksi pamungkas dengan menyalakan flare. Atraksi ini dilakukan di akhir pertandingan agar pertandingan tidak terganggu asap yang ditimbulkan.

Saat ini, BCS semakin berkembang dengan mempunyai unit usaha, Curva Sud Shop, untuk mengakomodasi biaya operasional mereka.

Meski sudah berkembang menjadi kelompok besar, BCS menolak untuk menjadi organisasi yang memiliki struktur kepengurusan. Alasannya adalah agar seluruh anggota mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam setiap pengambilan keputusan dan melaksanakan kebijakan yang telah disepakati.

Hal tersebut dirumuskan dalam slogan No Leader Just Together yang merupakan salah satu dari lima asas yang mereka sebut sebagai “manifesto” dalam laman resmi BCS.

 

Sumber:

  • Dal Lago, A. dan R. De Biasi. 2005. Italian Football: Culture and Organization.
  • Giulianotti, R. dan R. Robertson. 2004. “The Globalization of Football: A Study in the Glocalization of the ‘Serious Life’”. The British Journal of Sociology. 55 (4): 545–568.
  • Molina, F. 2007. “Socialization, ‘Glocal’ Identity and Sport: Football Between Local and Global”. European Journal for Sport and Society. 4 (1): 169–176.
  • Yunastiawan, A. 2012. Brigata Curva Sud: Anomali Suporter Sepakbola Indonesia”. Diakses dari http://kompasiana.com/post/bola/2012/06/08/brigata-curvasud-anomali-suporter-sepakbolaindonesia/ pada 1November 2016 pukul 20.27 WIB.
  • Brigata Curva Sud. 2015. “No Leader Just Together”, Diakses dari http://bcsxpss.com/post/manifesto/2015-12-10/no-leader-just-together.html pada 1 November 2016 pukul 21.03 WIB.
Komentar
Pendukung Persiba Bantul dengan akun twitter @AndhikaGila_ng