Beberapa waktu lalu, kita melihat sejumlah eks pesepakbola Kalteng Putra mengomentari unggahan akun Instagram resmi Kalteng Putra untuk menagih hak mereka berupa gaji. Sudah menjadi rahasia umum bahwa manajemen klub menunggak gaji para pemainnya saat mentas di Liga 1 musim 2019 lalu.
Setali tiga uang, masalah serupa juga dialami bekas pemain Mitra Kutai Kartanegara, Perserang, PSMS dan PSPS. Beberapa pemain telah menunjukkan kegelisahan mereka secara terang-terangan via akun media sosial masing-masing.
Bagi sepakbola Indonesia, hal ini merupakan tamparan keras di wajah. Upaya membuat sepakbola kita menjadi lebih profesional, nyatanya masih jauh panggang dari api. Pasalnya, kasus-kasus penunggakan gaji acap berulang setiap musimnya.
Makin menyedihkan, peran federasi sepakbola Indonesia (PSSI) begitu minim dalam mengatasi problem ini. Ketimbang menjatuhkan hukuman berat, PSSI lebih suka memberi imbauan atau peringatan semata kepada klub-klub penunggak. Lucunya lagi, saat masalah itu belum terselesaikan, PSSI malah memberi izin kepada klub-klub di atas untuk tetap mengikuti kompetisi Liga 2 musim 2020.
Di titik ini, para pemain merupakan pihak yang paling dirugikan. Ketika tenaga mereka diperas sepanjang musim, hak-hak yang sepatutnya mereka dapatkan justru tak jelas kabarnya. Janji-janji manajemen bahwa gaji pemain akan dibayarkan, bahkan dengan cara mencicil, bak isapan jempol belaka.
Padahal pesepakbola merupakan salah satu komponen penting dalam sepakbola. Kesebelasan mana yang bisa eksis tanpa adanya pemain? Sialnya, terutama di Indonesia, pemain acap menjadi korban kesewenang-wenangan manajemen klub.
Di saat hak-hak mereka belum jua dipenuhi, para pemain diwajibkan untuk bertindak profesional dengan terus bermain. Kondisi demikian tentu mengganggu sisi psikologis mereka. Siapa yang dapat menampilkan aksi terbaiknya kala asap dapur di rumah tidak ngebul?
Bahkan di sejumlah kejadian, para pemain mendapat ancaman dari pihak klub jika melaporkan masalah tunggakan gaji kepada pihak berwenang, salah satunya Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI). Paling umum, karier sang pemain di kancah profesional ‘dibuat’ mandek. Sebuah praktik jahanam yang memang ada di sepakbola Indonesia.
Jangan kaget bila mengetahui pemain-pemain profesional di tanah air banyak yang ikut kompetisi sepakbola Antar Kampung (Tarkam) sebagai cara menyambung hidup. Padahal, mereka menanggung banyak risiko dengan tampil di ajang tarkam.
Sebagai atlet profesional, para pesepakbola Indonesia harus membekali dirinya dengan kemampuan manajemen diri dan manajemen finansial. Kondisi ini penting agar pemain tidak jatuh ke dalam situasi pelik secara berulang.
Lantas, apa saja yang wajib mereka lakukan?
Mengontrak Agen Pemain
Para penggemar sepakbola jelas tidak asing dengan nama Jorge Mendes atau Mino Raiola, dua agen super di kancah sepakbola dunia. Klien keduanya pun bukan nama sembarangan, antara lain Mario Balotelli, Paul Pogba, dan Cristiano Ronaldo.
Keberadaan agen membuat pesepakbola bisa lebih melek dengan kontrak yang akan ditandatanganinya. Sang agenlah yang akan memberi berbagai masukan kepada sang pemain terkait kelebihan dan kekurangan yang ada di dalam surat perjanjian kerja dengan sebuah klub sehingga pemain tidak asal membubuhkan tanda tangan.
Termasuk mengenai hal-hal yang berhubungan dengan undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia. Jujur saja, hanya sekian persen pesepakbola Indonesia yang mengerti akan poin ini. Padahal, pemahaman tentang itu membekali mereka dengan landasan hukum yang jelas untuk menuntut klubnya saat menemui masalah.
Dengan begitu, para pesepakbola Indonesia bisa menjamin keberlangsungan kariernya walau harus mengeluarkan kocek lebih atau membagi penghasilannya dengan sang agen sesuai dengan kesepakatan yang kedua belah pihak setujui.
Berani Berwirausaha
Salah satu hal yang acap menggoda seseorang hingga memutuskan untuk menjadi pesepakbola profesional adalah potensi memiliki pendapatan tinggi dari lapangan hijau. Meski dalam praktiknya, cuma figur-figur dengan kemampuan apik serta berlaga di level teratas saja yang kemungkinan bisa meraih itu.
Ada di level manapun kemampuan seorang pesepakbola, ada baiknya jika mereka berani mengintip peluang bisnis dengan berwirausaha. Pendapatan dari lapangan hijau dapat disisihkan sebagian untuk membuka usaha. Bisa dengan membuka warung makan atau restoran, tempat potong rambut, tempat cuci motor dan mobil hingga rumah kontrakan atau kos-kosan.
Meski bisnis juga memiliki risiko, tapi setidaknya para pemain bisa menjamin kehidupannya andai menemui kendala dengan tim yang ia perkuat. Lewat usaha ini pula, para pesepakbola dapat menjalani masa tuanya (jika sudah pensiun dan tak ingin berkecimpung lagi di dunia sepakbola) dengan lebih baik serta tertata.
Menjaga Citra Diri
Sebagai atlet, para pesepakbola juga mempunyai citra diri. Hal ini muncul sebagai akibat dari aksi-aksi mereka di atas lapangan. Sayangnya, banyak dari pesepakbola Indonesia yang tak tahu bagaimana caranya memanfaatkan sisi yang satu ini.
Sejumlah pesepakbola top dunia seperti Lionel Messi maupun Ronaldo begitu sering kita lihat nongol di televisi, internet sampai papan reklame. Mereka muncul sebagai duta dari sebuah produk tertentu. Umumnya berupa minuman berenergi, makanan, suplemen hingga sampo.
Apakah Messi dan Ronaldo bisa seperti itu dengan sendirinya? Tentu tidak. Kedua pemain tersebut betul-betul tahu cara memanfaatkan citra diri mereka sehingga klien tertarik untuk memanfaatkan nama besar Messi dan Ronaldo sebagai bintang iklan.
Keadaan inilah yang patut ditiru para pesepakbola Indonesia. Mereka harus tahu cara memanfaatkan kelebihan diri mereka, misalnya saja bentuk tubuh atletisnya, sikap di dalam maupun luar lapangan dan masih banyak lagi.
Terlebih, dewasa ini para pemain juga tak asing dengan penggunaan media sosial pribadi. Layaknya para influencer, mereka wajib memanfaatkan media sosial pribadinya sebagai alat menciptakan sekaligus menjaga citra diri.
Bila sanggup melakukan hal tersebut, menjadi bintang iklan bukanlah kemustahilan untuk para pesepakbola karena pada kenyataannya, popularitas mereka juga setara dengan aktor atau aktris yang sudah biasa menghiasi layar kaca, internet maupun papan reklame.
Kendati tidak mudah, tapi tiga hal di atas seharusnya dapat dipraktikkan para pesepakbola Indonesia. Dengan begitu, perjalanan karier mereka bisa lebih terjamin. Baik saat masih merumput atau kelak sudah gantung sepatu.