Manis dan Pahit Kisah Ben Burgess

Tugas utama seorang striker adalah mengobrak-abrik pertahanan lawan dan mencetak gol sebanyak-banyaknya. Tak heran jika seorang striker memiliki sifat yang egois, terutama saat ada di depan gawang lawan. Namun itu merupakan naluri alamiah yang memang dibentuk bahkan semenjak anak berusia tujuh atau delapan tahun menimba ilmu di sekolah sepak bola.

Dan karakter semacam itulah yang muncul di dalam diri seorang anak muda bernama Benjamin “Ben” Kieron Burgess saat ia memutuskan untuk menjadi pesepak bola. Burgess muda punya cita-cita bermain di Premier League, menjadi hero bagi klubnya di suatu laga prestisius, mencetak gol sebanyak-banyaknya hingga menjadi top skor dan dielu-elukan pendukung klub yang dibelanya.

Maka Brockhall Training Ground milik akademi juara Premier League 1994/1995, Blackburn Rovers, dipilih Burgess untuk mewujudkan keinginannya. Ia bergabung dengan The Rovers saat usianya masih 16 tahun pada 1997. Kebetulan di pertengahan 1990-an klub berlambang bunga mawar tersebut punya dua sosok striker maut dalam diri Chris Sutton dan Alan Shearer, meski nama yang disebut terakhir telah hijrah ke Newcastle United pada musim panas 1996.

Keputusan bergabung dengan Blackburn merupakan salah satu hal termanis dalam hidup Burgess. Ia bertekad untuk bisa bersinar di klub yang bermarkas di Ewood Park tersebut. Sayangnya sebelum harapan dan impian itu merekah, serangkaian kejadian pahit mesti dirasakannya yang kala itu masih sangat muda.

Burgess tercatat membela The Rovers selang 1998-2002 namun di rentang waktu itu pula ia lebih sering bermain di luar Ewood Park. Ia gagal menembus skuat utama Blackburn hingga akhirnya dipinjamkan ke klub lain. Northern Spirit di Liga Australia dan Brentford FC di League Two menjadi tempatnya mencari pengalaman. Jauh dari keluarga dan bermain di liga yang lebih kecil mau tak mau harus jadi santapan Burgess muda.

Meski begitu, pada sepanjang masa pengasingan tersebut ada hal manis yang dipetik Burgess. Ia berhasil membuktikan diri sebagai talenta yang punya kualitas untuk berkembang dan menjadi pemain yang handal. Bersama Spirit dan Brentford, Burgess mencatat 70 penampilan dan 33 gol. Bukan torehan yang buruk untuk striker muda berusia 19 tahun.

Akan tetapi penampilan oke itu tetap tak membuat Graeme Souness, pelatih Blackburn kala itu, mengarahkan pandangan padanya. Kenyataan pahit bahkan harus dikecap Burgess ketika ia dilepas ke Stockport County pada 2002/2003.

Naas bagi Burgess, di klub barunya itu ia gagal bersinar. Pun dengan masa peminjamannya ke Oldham Athletic yang juga berakhir pahit. Sampai akhirnya sebuah tawaran menghampiri Burgess jelang musim 2003/2004. Kesebelasan dari Inggris belahan timur yang main di League Two, Hull City, memberinya kesempatan untuk membuktikan diri.

Awal yang manis dirasakan Burgess pada musim perdananya bersama The Tigers. Duetnya bareng Danny Allsopp ketika itu berhasil mengantarkan Hull promosi ke League One. Torehan 18 golnya adalah yang tertinggi di antara semua pemain. Dirinya juga menciptakan sejarah sebagai pemain pertama yang mencetak hattrick di stadion baru Hull, KC Stadium. Namun ketika Burgess sedang ada di awang-awang, sebuah bencana menghampirinya. Ia terkena cedera ligamen parah di penghujung musim. Cedera tersebut akhirnya membuat Burgess lebih akrab dengan meja operasi ketimbang lapangan hijau. Dua musim berikut di KC Stadium pun dilaluinya dengan rasa pahit dan penuh kekecewaan akibat jarang main.

BACA JUGA:  Harapan yang Hadir Kembali Bagi Sergi Roberto

Saat karirnya memasuki periode gelap datanglah Simon Grayson, manajer Blackpool, klub yang berkubang di League One. Sang manajer memintanya untuk bergabung dengan The Tangerines, julukan Blackpool. Merasa karirnya mentok di Hull, Burgess pun menyambut tawaran Grayson itu.

Walau penampilannya tak semengkilap sebelum didera cedera ligamen, Burgess tetap menjadi pilihan utama Grayson. Pun begitu saat Grayson hengkang dan The Tangerines ditangani gaffer anyar Ian Holloway, Burgess tetap menjadi penyerang andalannya. Empat musim memperkuat The Tangerines, musim pertama dan terakhirnya adalah yang paling berkesan. Musim pertama di Bloomfield Road, Burgess sukses membawa The Tangerines promosi ke Championship Division usai memenangi playoff promosi melawan Yeovil Town 2-0. Sementara di musim terakhir lagi-lagi Burgess sukses membawa Blackpool menciptakan sejarah dengan promosi ke Premier League untuk kali pertama setelah menaklukkan Cardiff City 3-2 di babak final playoff promosi yang diselenggarakan di Wembley. Dari 126 partai yang dimainkannya berseragam oranye khas Blackpool, Burgess cuma menyumbang 23 gol. Jumlah yang sejujurnya sangat rendah untuk seorang penyerang andalan.

Episode manis yang dicicipi Blackpool lewat keberhasilan mereka promosi ke Premier League rupanya meninggalkan rasa pahit baru buat Burgess. Kontraknya tak diperpanjang oleh manajemen. Harapan Burgess untuk berkiprah di Premier League pun musnah. Ia dilepas gratis hingga akhirnya bergabung dengan tim League Two, Notts County pada musim panas 2010.

Semenjak saat itu periode-periode pahit seolah lebih akrab dengan Burgess. Bersama The Magpies, julukan Notts County, Burgess tak bisa menampilkan yang terbaik. Dirinya pun seringkali diganggu cedera. Ketika dipinjamkan ke Cheltenham Town, rival County di League Two, Burgess pun tampil memble. Sampai akhirnya pada 2012 ia menerima pinangan Tranmere Rovers, tim yang berlaga di League One.

Pilihan menerima tawaran Super White Army yang diharapkannya berbuah manis nyatanya tak sesuai ekspektasi. Justru di titik inilah sebuah keputusan besar mesti dibuat Burgess.

“Aku masih ingat dengan sangat jelas bagaimana aku pada akhirnya mengambil keputusan untuk mundur dari dunia sepak bola”, tutur Burgess dalam sebuah wawancara dengan bbc.com.

Hanya sanggup mengikuti dua kali sesi latihan di tiga pekan pertama pramusim jelang bergulirnya kompetisi di musim 2012/2013 akibat masalah lutut membuatnya hilang kepercayaan diri. Kerusakan ligamennya kala berlaga bareng Hull dulu membuat kondisi lututnya tak pernah bisa kembali seperti sediakala. Hingga suatu ketika Tranmere menggelar laga latih tanding melawan klub amatir, Burgess berjanji pada dirinya sendiri apabila tak bisa menyelesaikan laga itu, maka satu-satunya pilihan hanyalah pensiun!

Partai persahabatan berlangsung sepuluh menit hingga kejadian yang membulatkan keputusan pahit itu pun terjadi. Ketika itu Burgess berusaha mendekati bek lawan yang membawa bola, sang bek yang berusia 45 tahun dan mengenakan pelindung gigi tersebut dengan cerdiknya menggocek bola melewati Burgess walau dalam kecepatan yang sangat lamban. Saat berusaha untuk memutar tubuh, lutut Burgess seperti terkunci dan ia pun terkapar di tengah lapangan. Seketika, Burgess pun merasa bahwa karir sepak bolanya tamat.

Ada kemarahan, kekesalan, keputusasaan, ketakutan dan kecemasan yang seketika hinggap di kepala Burgess begitu menyadari bahwa karir yang dikejarnya sejak muda usia sudah berakhir. Salah satu hal yang membayangi benaknya dan terasa begitu mengerikan saat itu adalah apa yang harus dilakukannya tanpa sepak bola? Beruntung Burgess memiliki pendamping hidup yang tetap memberinya dukungan di periode paling sulit dalam hidupnya itu.

BACA JUGA:  Andrew Robertson dan Perjuangan Panjangnya

Dengan segenap keberanian yang ia kumpulkan berikut kata-kata yang sudah ratusan kali dipersiapkannya untuk diutarakan, Burgess pun memutuskan untuk menemui pelatih Tranmere saat itu, Ronnie Moore. Ia menyatakan kepada sang manajer bahwa dirinya ingin pensiun dari sepak bola. Awalnya Moore menganggap itu sebagai guyonan Burgess semata. Namun pada akhirnya sang pelatih paham jika pemain yang baru direkrutnya tersebut sungguh-sungguh dengan ucapannya.

“Aku kecewa. Namun Ben berkata jika dirinya merasa tak mampu lagi bermain. Dia adalah contoh yang bagus bagi pemain-pemain kami. Aku berdoa yang terbaik untuknya. Semoga kehidupan barunya di luar sepak bola membuahkan hasil yang manis”, ucap Moore seperti dikutip situs resmi Tranmere kala itu.

Burgess pun menemui seluruh anggota tim yang baru dikenalnya beberapa pekan guna menyampaikan salam perpisahan. Sudut matanya basah karena airmata sebab dunia yang digelutinya kini benar-benar harus ditinggalkannya. Tak ada lagi ruang ganti, tak ada lagi perayaan usai mencetak gol, tak ada lagi spanduk-spanduk dukungan yang selama ini dirasakannya. Burgess merasa hidupnya teramat pahit saat itu.

Publik mungkin familiar dengan nama Brian Clough, Marco Van Basten dan Pierluigi Casiraghi. Mereka merupakan striker-striker hebat di masanya. Namun mereka punya kesamaan dengan Burgess yaitu pensiun pada masa emas usia mereka sebagai pesepak bola akibat cedera. Terlebih, ketiganya juga penyerang seperti Burgess.

Jika Clough, Van Basten dan Casiraghi tetap menggeluti dunia sepak bola dengan beralih profesi menjadi pelatih, seperti juga masukan-masukan yang diterima Burgess dari kawan-kawannya. Maka jalan yang dipilih Burgess sangatlah jauh berbeda.

Semasa bermain dahulu ia sempat mengikuti kursus pendidikan dan keterampilan yang dihelat oleh Asosiasi Pesepak bola Profesional Inggris (PFA). Ketika itu Burgess berhasil menyelesaikan program sarjana pada bidang Profesional Sports Writing and Broadcasting di Universitas Staffordshire.

Di tengah kebingunannya pasca-pensiun, Burgess akhirnya memilih untuk melanjutkan pendidikannya dan mengikuti Post Graduate Certificate in Education (PGCE). Sebuah rute yang sangat jauh dari urusan tendang menendang bola. Apabila selesai menempuh studi tersebut, maka Burgess pun bisa menjadi seorang guru!

Menjadi guru merupakan sebuah pilihan yang dibuat Burgess karena menjadi pelatih sepak bola adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya. Ia benar-benar ingin melanjutkan hidupnya di luar sepak bola. Walau ia sejatinya sadar jika pendapatan seorang guru takkan bisa mendekati apalagi menyaingi pendapatan seorang pemain sepak bola. Tapi baginya, sepak bola sudah selesai dalam kisah hidupnya. Menjadi guru adalah pilihan paling manis yang bisa dinikmatinya kini.

Sebuah pertanyaan pernah dilontarkan seorang wartawan padanya, “Apakah Burgess merindukan sepak bola?”

Dengan tenang ia menyebut tidak.

“Melihat anak-anak memahami apa yang sudah kujelaskan selama beberapa jam atau melihat mereka yang tak suka membaca lalu mengambil sebuah buku, membacanya dan menjelaskan isi buku tersebut dengan penuh semangat, rasanya sama saja dengan mencetak gol”, papar Burgess.

Hal manis yang didamba Burgess adalah menjadi pesepak bola, namun hal pahit berupa cedera ligamen parah membuatnya harus meninggalkan lapangan hijau selama-lamanya. Namun perjuangan pria kelahiran 9 November 1981 tak bergenti sampai di situ. Menjadi guru adalah caranya melanjutkan hidup, melanjutkan impian-impiannya.

 

Komentar