Jawa Pos, sejak dekade 1980-an, identik dengan koran yang menyediakan porsi halaman berlimpah bagi berita olahraga, khususnya berita tentang sepak bola. Pada dekade tersebut, Dahlan Iskan dengan cerdik mendekatkan Jawa Pos dengan Persebaya Surabaya. Pada satu dekade penghujung kompetisi Perserikatan, Persebaya meraih prestasi yang mengkilap, salah satunya karena dukungan Jawa Pos. Persebaya menjadi representasi warga Jawa Timur, sebagaimana juga yang terjadi di Jawa Barat dengan Persib Bandung dan Jawa Tengah dengan PSIS Semarang.
Di Jawa Barat, koran Pikiran Rakyat lekat dengan Persib dan di Jawa Tengah, koran Suara Merdeka menjalin simbiosis mutualisme dengan PSIS. Alasan kedekatan geografis dan emosional melatarbelakangi kedekatan koran di daerah dengan klub sepak bola lokal. Juga tidak bisa dilewatkan adalah kedekatan pemerintah daerah dengan klub Perserikatan. Banyak pejabat pemerintah, dan juga militer, turut mengurusi klub. Bagi koran di masa Orde Baru, menjaga hubungan baik dengan pemerintah adalah pekerjaan penting agar tidak dibredel, setidaknya aman beroperasi.
Kompas, dalam posisinya sebagai koran nasional, tidak begitu memiliki relasi yang sekuat Pikiran Rakyat dengan Persib dan Suara Merdeka dengan PSIS Semarang. Apalagi jika dibandingkan dengan berkelindannya Jawa Pos dengan Persebaya. Walaupun terbit dari ibukota, Kompas tidaklah identik dengan Persija Jakarta. Kompas memosisikan dirinya benar-benar sebagai koran nasional, yang tidak memihak salah satu klub Perserikatan.
Jawa Pos meraup sukses dengan banyak mengangkat berita tentang kiprah Persebaya di masa Perserikatan. Oplah Jawa Pos melesat, berbarengan dengan keberhasilan kultural koran ini menciptakan penandaan baru bagi Persebaya dan para pendukungnya, seperti halnya dengan wong mangap. Visual wong mangap yang dikreasi Mister Muhtar, desainer grafis Jawa Pos, sejak dikenalkan pada dekade 1980-an tetap menghiasi halaman olahraga Jawa Pos kala memberitakan tentang Green Force. Jawa Pos sekaligus membuktikan bahwa koran nasional tidak harus terbit dari Jakarta.
Selain banyak memberitakan sepak bola lokal, sejak tahun 1990-an Jawa Pos juga terkenal dengan berita sepak bola asing. Momentum Jawa Pos dengan berita sepak bolanya berada pada waktu yang tepat. Di penghujung dekade 1980-an, pemerintah menerapkan open sky policy (kebijakan langit terbuka). Parabola mulai masuk ke Indonesia dan stasiun televisi swasta mulai mengudara. Sejak awal berdiri, televisi swasta dalam programming-nya menempatkan siaran langsung sepak bola sebagai salah satu program unggulan, seperti pada dua stasiun televise swasta pertama di Indonesia, RCTI dengan Liga Italia dan SCTV dengan Liga Inggris pada dekade 1990-an.
Kelompok Kompas Gramedia (KKG) mengawali era tabloid olahraga dengan merilis tabloid BOLA. Kelahiran tabloid ini menandai ceruk pembaca yang kian tersegmentasi pada kelompok pembaca yang mengemari olahraga, khususnya sepak bola.
Sabtu, 31 Oktober 2015, di linimasa Twitter, saya membaca pengumuman jika Harian BOLA pamitan. Harian ini adalah pengembangan dari tabloid BOLA yang awalnya mingguan (weekly) menjadi harian (daily). Setengah tidak percaya, saya menghubungi Fajar Rahman dari GantiGol dan Sirajudin Hasbi dari Fandom Indonesia, sebagai usaha mendapatkan trianggulasi informasi. Keduanya membenarkan informasi tentang hari terakhir Harian BOLA terbit.
Segera saya ke kios pengecer koran di pasar Ngipik Banguntapan Bantul Yogyakarta yang hanya berjarak satu kilometer arah timur Kotagede Yogyakarta. Jam masih menunjukan jarumnya di angka 11 saat sampai di lapak langganan saya tersebut. Harian BOLA sudah habis saat saya datang. Penjual koran langsung bercerita kalau Harian BOLA sudah tidak terbit. “Sayang mas, Bola (Harian BOLA – penulis) sudah tidak terbit. Padahal lumayan laris. Apalagi tidak ada lagi TopSkor dan SuperBall di sini,” ujarnya dalam bahasa Jawa kromo madya.
Segera saya meluncur ke Kotagede Yogyakarta. Di perempatan jalan Perintis Kemerdekan terdapat agen distributor koran, namanya agen koran Pelangi. Empat eksemplar Harian Bola masih terpajang. Saya langsung membeli dua eksemplar, satu untuk saya dan satu lagi untuk Sirajudin Hasbi, yang mengaku kehabisan ketika hendak membeli di agen koran. Pemilik agen distribusi koran bercerita jika setiap hari setidaknya ada 100 eksemplar Harian BOLA yang laku melalui agen koran Pelangi. Sebagian terjual melalui pengecer, sebagian langsung dibeli konsumen di kios. Senada dengan penjual koran eceran di Pasar Ngipik, ia merasa sedih Harian BOLA tidak lagi terbit.
Berhenti terbitnya Harian BOLA menambah daftar panjang media cetak bersegmen audiens penggemar olahraga khususnya sepak bola yang gulung tikar baik dalam format penerbitan mingguan maupun harian. Pada 1983 sampai dengan 1996 kelompok Sinar Harapan pernah menerbitkan tabloid olahraga bernama Tribun Olahraga. Kelompok Jawa Pos yang berpusat di Surabaya pernah menerbitkan tabloid Kompetisi. Harian Solo Pos yang menjadi bagian dari kelompok Bisnis Indonesia pernah juga menerbitkan tabloid Arena. Juga yang tidak bisa dilewatkan adalah tabloid olahraga GO. Tabloid Tribun, Kompetisi, Go dan Arena kini tidak lagi terbit.
Di bawah payung brand Tribun (nama yang dipakai Kelompok Kompas Gramedia/KKG) untuk jejaring pers daerahnya, terbit harian sepak bola bernama SuperBall.
Harian ini head to head dengan Harian BOLA yang masih satu induk karena sama-sama berada di bawah naungan KKG, sekaligus juga berhadapan dengan Harian TopSkor. Tapi, keduanya makin jarang dijumpati di lapak koran yang ada di Yogyakarta.
Media cetak kini harus bertarung lebih keras memperebutkan pangsa pasar pembaca dalam dua aras: pertama pertarungan horizontal dengan sesama media cetak dan kedua, pertarungan melawan media daring. Pertarungan memperebutkan pembaca, sekaligus adalah pertarungan memperbutkan kue iklan dan jalur distribusi.
Setiap pagi di perempatan jalan Ring Road Kotagede Yogyakarta, penjual koran eceran menjajakan korannya. Walaupun harus menggunakan kursi roda, penyandang disabilitas ini, dengan bersemangat menawarkan koran kepada pengguna jalan kala lampu lalu lintas berwarna merah. Semangatnya menjual koran jauh lebih terhormat daripada pengamen yang hanya bermodal tutup botol bekas yang dipaku pada sepotong kayu. Dari informasi yang penulis dapatkan dari pemilik agen koran Pelangi, setiap eksemplar Harian BOLA, seorang pengecer mengantongi keuntungan 400 rupiah. Ketika koran ini tidak terbit, hilanglah keuntungan bagi pengecer. Bagi saya, membeli koran bukan sekadar membaca namun beramal kepada sesama. Itulah alasan mengapa saya memilih tetap membeli koran melalui eceran.
Saya tetap akan membeli koran, meski pilihannya kini semakin terbatas seiring dengan gulung tikarnya satu per satu media cetak.