“Some people think football is a matter of life and death. I assure you, it’s much more serious than that.”
Kutipan sang legenda Liverpool, Bill Shankly, seolah menggambarkan betapa megahnya sepak bola bagi para pengagumnya. Dalam memaknai frasa Bill Shankly, sepak bola kemudian digambarkan sebagai sebuah olahraga penuh perjuangan. Sebagaimana makna hidup dan mati yang acapkali dianggap sebagai sesuatu yang begitu sakral, penuh makna, dan bukanlah suatu hal yang main-main.
Interpretasi seperti ini memang berdasar. Sepak bola seringkali menyajikan sebuah pertandingan intensitas tinggi dengan menjual nama rivalitas sebagai suatu hal yang benar-benar ekslusif. Terutama di era di mana kebencian, dendam, gengsi, serta ego sebagai sebuah tim seolah selalu terlihat sebagai daya tarik sepak bola yang membuat olahraga ini disebut-sebut sebagai olahraga yang indah.
Maka seperti inilah sepak bola. Tim Anda harus menang, jika ingin menunjukkan kepada dunia bagaimana seharusnya bahagia itu menyelimuti hati seseorang sebagai pencinta sepak bola.
Ia harus mampu tampil tanpa celah, bilamana tak mau dicela oleh tim rival. Ia harus mampu memenuhi hasrat dan ego seorang penggemar atas kehausan mereka untuk menyaksikan tim jagoan mereka berada dalam jalur kemenangan.
Atas sebab inilah kemudian tayangan sarat gengsi penuh kebencian laku keras dalam sepak bola. Sang jawara akan memenangkan sebuah kebahagiaan luar biasa, sedangkan yang kalah akan terus memendam rasa iri kepada yang menang.
Dan karenanya, kedua tim selalu tampak berupaya berjuang mati-matian untuk meraih sebuah kemenangan. Layaknya sebuah perjuangan hidup dan mati.
Maka tak heran bila pertandingan bertajuk derby seperti North West Derby, Liverpool vs Manchester United, bisa menyentuh angka 600-700 juta penonton. Sedangkan pertandingan sekelas El Clasico , Barcelona vs Real Madrid, menyentuh angka 400-500 juta penonton seperti data yang dilansir oleh Daily Mail pada April 2015. Hal ini sudah cukup menunjukkan bagaimana rivalitas dalam sepak bola mendorong orang untuk ikut terlibat di dalamnya.
Karena dicitrakan demikian, maka liga yang baru lahir seperti Major League Soccer (MLS) kemudian berusaha untuk menciptakan rivalitas sebagai upaya untuk membentuk suatu liga yang tak kalah kompetitif dengan Eropa.
Klub-klub MLS kemudian berupaya untuk membentuk kultur ultras-ultrasan dengan kesan kebencian yang “dipaksakan” demi meniru tindak tanduk rivalitas yang sudah menjadi budaya dalam sepak bola.
Klub yang baru terbentu, seperti Orlando City ataupun New York City FC, terobsesi untuk menciptakan rivalitas dengan banter sana-sini demi menunjukkan ego mereka sebagai tim yang terobsesi untuk besar.
Namun, bilamana berkaca, sepak bola sendiri tak melulu perihal rivalitas belaka. Karena tak selalu penggemar sepak bola selalu larut dalam kisah kebencian dan persaingan untuk membuat mereka menggilai sepak bola. Bahwa sebenarnya ada kisah-kisah lain yang sebenarnya jauh dari rivalitas yang kemudian membuat olahraga ini memang pantas disebut sebagai permainan yang indah.
Sebutlah kisah yang terjadi pada bulan November lalu. Leicester City dan Jamie Vardy mendapatkan puja-puji bak pahlawan.
Bahkan figur seperti Ruud van Nistelrooy turut memberikan pujian terhadapnya secara langsung. Kisah keuletannya dan kesabarannya mampu mengubahnya dari pemain non-liga menjadi pemecah rekor gol beruntung Liga Primer Inggis. Vardy mampu membuat orang-orang kagum.
Kisah yang pada akhirnya membuat semua pencinta sepak bola, terlepas dari ego klub masing-masing, kemudian mau duduk bersama menyaksikan Vardy menggapai impiannya.
Memang kisah tersebut bukanlah kisah soal rivalitas. Namun, hal tersebut tentu merupakan suatu kisah yang indah, bukan?
Bagaimana kisah-kisah ajaib layaknya dongeng kemudian bisa hadir dalam dunia sepak bola. Bagaimana kisah macam ini ramai diperbincangkan dan mungkin akan selalu dikenang nantinya.
Bagaimana kisah macam ini kemudian mampu membuat pendukung sepak bola berguman, bahwa keindahan sepakbola tak melulu soal rivalitas belaka.
Kembali mengenai frasa yang dikatakan Bill Shankly sendiri, sebenarnya memang ada penyalahan makna. Dan ini bisa saja disebabkan atas kutipan yang mampu tersebar secara viral di dunia maya tanpa mengetahui asal muasalnya.
Sebenarnya, jika menelitik dari sejarah, Shankly memang mengatakan persoalan sepak bola lebih dari urusan hidup dan mati. Namun, bukan berarti sepak bola adalah olahraga yang keras yang mampu membuat kita, dan siapa pun yang terlibat di dalamnya, di antara hidup dan mati saking cintanya terhadap olahraga ini.
Shanks – julukan Bill Shankly – sebagaimana yang diungkap oleh situs penggemar Shanks asal Merseyside, shanks.com, menyatakan frasa yang indah tersebut saat ia terduduk dan menyaksikan pertandingan derby yang dikenal sebagai friendly derby –Liverpool v Everton.
Ia pada akhirnya menyaksikan wajah lain dari sepak bola. Wajah yang mungkin takkan ia temukan dalam suguhan pertandingan sepak bola manapun.
Pada akhirnya sepak bola memang lebih dari urusan hidup dan mati belaka. Ia terkadang menunjukkan wajah ego dan kesombongan bagi sebuah tim yang unggul, dan wajah iri penuh pendendam bagi tim yang menjadi pesakitan yang mungkin jadi warisan turun temurun.
Di sisi lain pula, terkadang ia menunjukkan wajah lainnya yang penuh kesantunan. Wajah di mana sepak bola itu mampu membuat kita tersenyum.
Saat di mana kita mampu duduk bersama menyaksikan mimpi-mimpi yang setengah mati berusaha diraih. Mimpi yang mampu membuat klub, pesepak bola, maupun pendukung merasa lebih hidup daripada masa sebelumnya.