Jangan Tenggelam, Persipura!

Merah menjadi rapor Persipura sepanjang seri kedua Liga 1 musim 2021/2022. Ironisnya, hal itu berlanjut setidaknya sampai laga pertama seri ketiga.

Kesebelasan dari pengujung timur Indonesia ini menelan enam kekalahan beruntun. Mereka pun terperosok di dua terbawah klasemen sementara.

Jika pencinta sepakbola lokal diberi kesempatan untuk memilih klub mana yang dikagumi, selain klub asal daerahnya sendiri, pilihan tersebut kemungkinan besar akan tertuju pada Persipura.

Tim yang menjadi representasi masyarakat Papua di level teratas persepakbolaan nasional ini memang pantas disegani dan dikagumi.

Tim berjuluk Mutiara Hitam ini berdiri pada 25 Mei 1965 dan diprakarsai oleh beberapa tokoh lokal Papua seperti Ds. Mesach Koibur dan Barnabas Youwe serta bermarkas di Stadion Mandala, Jayapura.

Sejak awal berdiri, mereka memiliki visi menjadi tempat pengkaderan pesepakbola profesional Papua agar dapat diakui harkat dan martabatnya berikut harga dirinya.

Layaknya anggota Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) lainnya, sebagai anggota, Persipura juga turut mengarungi kompetisi sepakbola tingkat nasional semenjak era Perserikatan hingga kini di Liga 1.

Ada beberapa alasan mengapa Persipura begitu disegani dan dikagumi dalam kancah pesepakbolaan tanah air.

Pertama, tentu saja berkaitan dengan prestasi. Semenjak Indonesia memasuki masa reformasi dengan kebijakan otonomi daerahnya, Persipura menjelma sebagai raksasa sepakbola tanah air.

Pada masa modernisasi kompetisi sepakbola tanah air di era 2000-an, Mutiara Hitam telah lima kali menjadi kampiun Liga Indonesia yakni tahun 2005, 2009, 2011, 2013 dan 2016.

Di sela-sela tahun tersebut, mereka beberapa kali finis sebagai runner up. Wajar jika Persipura Mania, sebutan untuk kelompok suporter Persipura, begitu bangga melabeli timnya sebagai Jenderal Bintang Lima.

Tak hanya di kancah nasional, Persipura pun mampu berbicara banyak di kawasan Asia. Menyandang status sebagai jawara Indonesia, klub dengan seragam khas garis vertikal merah-hitam ini menjadi wakil dalam kejuaraan antarklub Benua Kuning.

BACA JUGA:  Kepak Sayap Lazio

Tercatat, Persipura dua kali mengikuti Piala AFC yakni tahun 2011 dan 2014. Pada tahun 2011, perjalanan mereka di Asia harus terhenti di tangan tim asal Irak, Arbil SC, pada babak perempat final.

Sementara pada tahun 2014, Persipura hampir melenggang menuju final sebelum dihentikan oleh wakil asal Kuwait yaitu Al-Qadsia.

Meski kompetisi Piala AFC kini telah berubah, sejauh ini belum ada klub asal Indonesia yang mampu berbicara banyak seperti yang ditunjukkan Mutiara Hitam.

Kedua, Persipura selalu mampu melambungkan pemain muda lokal asal Papua yang kelak menjadi andalan mereka maupun Tim Nasional Indonesia.

Eduard Ivakdalam, Boaz Solossa, Ricardo Salampessy, Titus Bonay, Todd Ferre, Gunansar Mandowen, serta kini Ramai Rumakiek.

Rasanya layak menyebut Persipura sebagai representasi utama kekuatan sepakbola Indonesia Timur.

Sebab sampai hari ini, belum ada tim lain dari wilayah Indonesia Timur yang menunjukkan kekuatan melebihi mereka.

Eksistensi Perseru, Persidafon, Persiram, dan Persiwa hanya sejenak untuk kemudian lenyap ditelan gelap malam.

Persipura menjadi sarana perlawanan legal yang digunakan oleh pemuda Papua untuk unjuk gigi di kancah nasional.

Perlawanan tersebut hadir mengingat sejak dulu tanah Papua seakan belum merdeka dari cengkeraman berbagai pihak.

Sejak dahulu berbagai konflik baik militer, sosial, politik hingga ekonomi yang ada di ibu kota seringkali berujung pada penindasan terhadap masyarakat Papua.

Pengerukan sumber daya alam secara masif hingga kini masih belum dirasakan hasilnya oleh masyarakat lokal.

Persipura adalah Barcelona-nya La Liga. Layaknya kutipan, “Persipura dan Perlawanan” pada laman Fandom, mengapa pengamat olahraga di Indonesia takut sekali membuat parabel antara Barcelona dan Persipura?

Sayangnya, kisah-kisah heroik dari Persipura tak terlihat sepanjang musim ini. Alih-alih melesat sebagai kandidat juara, mereka malah terpincang-pincang di zona degradasi.

BACA JUGA:  Sepucuk Surat untuk Sepakbola Indonesia

Mutiara Hitam seperti ada di titik terendahnya dalam kancah sepakbola nasional selama dua dekade pamungkas.

Berbagai penyebab diperkirakan menjadi minornya hasil Persipura pada awal musim ini. Konflik internal antara beberapa pemain dengan tim pelatih beserta manajemen turut menginisiasi kemunduran mereka.

Akibatnya, Boaz yang juga seorang kapten, ujung tombak andalan sekaligus legenda klub memilih angkat kaki bersama Yustinus Pae. Padahal, keduanya adalah sosok senior di tubuh skuad.

Penyebab lainnya disinyalir karena minimnya pemain lokal senior yang menjadi jembatan antara pemain muda, pemain senior, penggawa asing, pelatih, dan pihak manajemen.

Pelatih Jacksen F. Tiago pun harus memutar otak di sisa laga Liga 1 untuk mengamankan posisinya sekaligus menjaga harkat dan martabat klub dan masyarakat Papua.

Semoga Persipura, dengan nama besarnya segera pulih dan kembali ke jalur kemenangan.

Jangan sampai Mutiara Hitam yang sangat bernilai ini tenggelam begitu saja. Sudah selayaknya ia bersanding dengan berbagai emas di kota-kota lainnya.

Komentar
Tersasar menjadi PNS, tetapi tetap memperhatikan sepakbola nasional usai gagal menjadi pemain profesional. Suka sejarah dan hobi melakoni awaydays. Mari bertegur sapa di Twitter via akun @bang_pan71.