Di pembinaan sepak bola usia muda, peran orang tua (ortu) sangatlah krusial. Perjalanan karier menuju pesepak bola profesional begitu panjang, berliku dan penuh dengan tantangan.
Orang tua menjadi faktor pendukung terpenting dalam proses tersebut. Secara natural, anak menghabiskan sebagian besar waktunya bersama orang tua di rumah. Tak heran perkembangan kepribadian anak amat bergantung pada kemampuan parenting ortu-nya.
Celakanya, kebanyakan pemikiran dan keputusan ortu tentang kegiatan sepak bola anaknya dipenuhi banyak salah kaprah. Ini terjadi karena minimnya wawasan orang tua terhadap sepak bola. Sayang, hal tersebut tidak disadari oleh mereka. Pada kasus yang lebih mengerikan, sebenarnya ortu mengerti. Hanya saja “demi anak” mereka kemudian rela korbankan integritas, moralitas dan rasionalitasnya.
Tulisan ini adalah rekaan imajiner yang terinsipirasi dari kisah nyata di Sekolah Sepak Bola (SSB). Terkait relasi orang tua dengan SSB dan pelatihnya. Kesamaan nama dan latar adalah kebetulan belaka. Semoga bisa dibaca oleh para orang tua pemain SSB dan menjadi cermin untuk introspeksi.
Anak saya kok dicoret?
SSB baru saja mengumumkan skuat untuk suatu turnamen. Kebetulan tidak semua pemain usia tersebut bisa masuk tim. Seorang orang tua yang anaknya tidak terpilih protes keras.
Bapak : “Kenapa anak saya dicoret?
Pelatih : “Karena kalau tidak, SSB kami didiskualifikasi. Kuotanya cuma 12 pemain. Harus ada yang dicoret!”
Bapak : “Kenapa anak saya? Anak saya beda, dia gampang jatuh mental. Sejak dicoret ia tak mau makan, tak mau ke sekolah!”
Pelatih : “Pelatih memilih berdasarkan sepak bola, bukan kekuatan mental. Kalau anak bapak dipilih, lalu ada anak lain yang tercoret. Trus juga tak mau makan dan sekolah, Apa saran bapak untuk saya?”
*Si bapak pun ngeloyor!
Moral: Kriteria pemilihan pemain adalah kualitas dan potensi sepak bola, bukan yang lain!
Baru sebulan kok kepilih
Jelang turnamen, SSB umumkan pemain yang terpilih. Dalam skuat tersebut, terdapat Si Tomo yang merupakan siswa baru, tetapi memiliki kemampuan menonjol. Beberapa ortu siswa lawas yang tidak terpilih iri dan protes keras.
Ortu : “Anak saya sudah setahun berlatih di SSB ini dicoret. Si Tomo baru latihan sebulan sudah kepilih! Di mana keadilannya?”
Manager : “Justru pemilihan tersebut adil, karena pelatih tidak beda-bedakan siswa baru atau lama. Pemilihan tim dilakukan berdasar kualitas dan potensi sepak bola, tidak ada yang lain!”
Ortu : “Harusnya manajemen memprioritaskan siswa yang telah lama berlatih di sini, bukan memanfaatkan produk SSB lain?”
Manager : “Si Tomo memang pindah dari SSB lain, tapi dia mendaftar dan juga membawa surat pindah. Sebelum pindah berlatih di sini, anak Ibu juga berlatih di SSB lain kan?”
*Si Ibu pun ngeloyor
Moral: SSB tidak boleh diskriminatif berdasar masa berlatih atau asal siswa.
Gak kepilih untuk Liga Kompas
Seorang ortu protes keras dengan manajemen suatu SSB. Ia merasa sudah bayar mahal-mahal, tetapi diperlakukan tidak adil karena tidak diikutkan Liga Kompas yang kesohor itu.
Ortu : “Saat mendaftar katanya SSB ikut Liga Kompas. Tapi kenapa saya sudah bayar mahal-mahal kok tidak terpilih Liga Kompas!”
Manager : “Tim Liga Kompas dibatasi oleh kuota skuat. Pemain yang terbaik kemampuan sepak bolanya yang terpilih.”
Ortu : “Tidak adil dong, anak saya kan latihannya sama, bayarnya sama dengan yang lain, perlakuannya kenapa dibedakan?”
Manager : Anak ibu sekolah (formal)?
Ortu : Ya
Manager : “Ibu membayar SPP yang sama, sama-sama belajar Matematika. Tapi apakah anak ibu otomatis bisa ikut Tim Olimpiade Matematika?”
*Si Ibu pun ngeloyor
Moral: Sejak dini, orang tua harus mengenalkan kompetisi pada anaknya. Ajarkan besar hati saat kalah dan rendah hati saat menang.
Maju kena mundur kena
Selepas memenangkan pertandingan perdana suatu turnamen, seorang Ortu mendatangi Coach dan protes meminta anaknya bermain lebih lama. “Masak anak saya cuma main 5 menit!” hardiknya. Coach muda dan masih hijau ini berusaha mengakomodir protes Ortu tersebut. Ia berencana memberi kesempatan main lebih merata. Yakni 10 menit–10 menit dalam pertandingan 1×20 menit tersebut.
Di Game ke-2, Coach sukses membuat rotasi menit main berimbang. Sayangnya di game tersebut, tim kalah. Kali ini, Ortu lain menghampirinya dengan muka merah padam. “Kamu pelatih goblok, kenapa pemain intinya baru sebentar sudah kamu ganti. Jadi kalah kan kita!”. Coach muda ini pun lemas dan berpikir maju kena mundur kena nih!
Moral: Coach tidak bisa memuaskan semua orang. Coach hanya perlu memuaskan dirinya dengan terus mengedepankan perkembangan pemain di atas segalanya.
Nyumbang dipakai sendiri
Bapak : “Bos, kita orang tua kelahiran 2020 ingin nyumbang seragam pertandingan”
Manager : “Wah, terima kasih sekali atas perhatiannya. Lalu mekanismenya bagaimana pak? Klub kami kan sudah memiliki mitra apparrel”
Bapak : “Gini bos, biar keren desain biar dari mitra klub aja. Kita juga buat sama mereka, supaya senada dengan brand klub. Nanti disimpan di kantor jadi inventaris klub!”
Manager : “Sekali lagi saya terima kasih sekali! Saya yakin seragam pertandingan itu juga bermanfaat untuk banyak tim kelompok umur kita.”
Bapak : “Wah, gak bisa dipake kelompok umur lain bos. Di punggung seragamnya tercetak nama anak-anak kita!”
Manager – Uhuk (Keselek!)
Moral: “Jangan jadikan SSB/Klub sebagai binatu!”
Menjilat ludah sendiri
Jelang final suatu turnamen sehari, pelatih SSB mengumpulkan para orang tua. Intinya pelatih berterima kasih atas dukungan selama sehari penuh. Juga, pelatih meminta pengertian orang tua jika di partai final mungkin tidak bisa memainkan semua pemain. Satu ortu mengambil alih pembicaran. Dengan tegas ia meminta ortu lain untuk percaya pada pelatih. “Kita ortu nonton aja, gak boleh intervensi. Pelatih yang paling tahu!”
Dalam game final, tim telah unggul 1-0. Tersisa 5 menit, pelatih memutuskan untuk memberi kesempatan semua pemain menikmati atmosfer final. Lawan menyamakan kedudukan dan tim kalah adu penalti. Masih sibuk menghibur pemain yang sedih. Ortu yang tadi menolak intervensi mulai berulah. “Saya akan laporkan ini ke manajemen! Kenapa kita sudah unggul, kok pemain malah diganti semua?”
Lho katanya nonton aja? Katanya gak boleh intervensi?
Moral: “Kalau tidak percaya dengan pelatih, lebih baik jadi pelatih aja!”
Buang-buang! Jauh-jauh!
Suara menggelegar dari ortu yang menjadi suporter selalu menghiasi setiap kompetisi antar-SSB. Dua kata yang paling populer adalah “Buang-buang” dan “Jauh-jauh”.
Kosakata “Buang-buang” marak dipekikkan Ortu saat tim sedang tidak menguasai bola. Meminta pemain cepat halau serangan dengan membuang bola. Sedangkan kata “Jauh-jauh” diteriakkan saat tim sedang menguasai bola. Meminta pemain untuk tendang cepat jauh ke depan.
Tak jarang pekik orang tua bertolak belakang dengan pelatih. Pada saat pemain diminta intersep dan kuasai bola, ortu meminta untuk membuang bola. Saat pemain diminta untuk membangun serangan dari bawah, ortu justru memerintahkan anaknya untuk tendang jauh ke depan. Anehnya, makin gesit pemain buang bola dan makin jauh pemain menendang, suara ortu makin riuh rendah.
Gilanya, banyak pelatih muda yang ingin mengajarkan konsep bermain dari bawah (build up from the back) mendapat protes keras dari ortu. Kalimat “gara-gara main dari bawah, jadi kebobolan”. Atau “udah tahu kita ketinggalan skor, kenapa gak cepat tendang ke depan?”.
Padahal ortu tidak tahu, bahwa permainan dari bawah akan memperbanyak sentuhan pemain pada bola. Ini berarti lebih banyak momen belajar!
Moral: “Jelaskan konsep bermain dan sebaiknya mereka tutup mulut saja!”
Anak saya gak dilatih!
Dalam suatu latihan jelang pertandingan, tim U-15 berlatih taktik penyerangan. Fokusnya adalah bagaimana membangun serangan dari bawah dan lakukan progresi ke depan. Untuk menunjang permainan tersebut, peran kiper sangat krusial. Dibutuhkan suatu komunikasi apik antara kiper dan semua pemain lainnya.
Pelatih memutuskan untuk mengintegrasikan kiper dengan tim sejak awal. Latihan diawali dengan passing exercise, di mana kiper terlibat serius melakukan passing kontrol dalam berbagai situasi.
Lalu dilanjutkan dengan position game 4v4+3N. Di mana kiper bermain sebagai orang netral di kedalaman. Latihan terus berlanjut dengan phase of play dan diakhiri game. Di mana kiper terus terlibat dan beberapa kali dikoreksi oleh pelatih kepala.
Model latihan semacam ini sering dilakukan. Utamanya saat tim berlatih membangun serangan dari bawah. Konon model latihan seperti ini mengundang protes dari ortu kiper. Isu terbesar yang diprotes adalah anak saya tidak dilatih khusus kiper. Lalu anak saya tidak dilatih pelatih kiper. Terakhir, anak saya hanya disuruh passing-passing dan game, jarang disuruh menangkap bola.
Moral:
1) Kiper adalah bagian dari tim, jadi kiper harus berlatih bersama tim;
2) Saat bermain, kiper alami situasi bertahan-menyerang-transisi. Untuk itu kiper harus berlatih semua situasi tersebut;
3) Di pertandingan, kiper gunakan tangan dan kaki sama banyaknya, karena itu kaki dan tangan harus dilatih sama banyaknya.”
Seribu bendera!
Ortu Si Budi berambisi menjadikan anaknya pesepak bola profesional. Ia mendaftarkan Budi di SSB A yang berlatih hari Senin-Rabu. Kurang puas, ia daftarkan juga Budi di SSB B yang berlatih hari Selasa-Jumat. Agar perkembangan cepat, ia tambah lagi latihan dengan SSB C pada hari Kamis dan Sabtu.
Hari Minggu adalah hari pertandingan. Terkadang pagi hari Budi main di SSB A, dilanjutkan latih tanding bersama SSB B sore harinya. Bila ada turnamen, bila SSB A ikut, maka ia bermain di sana, karena SSB A dianggap paling kuat timnya. Bila SSB A absen, ia main di SSB B atau C. Bila absen juga, si Budi bisa main di SSB D atau E bahkan F.
Moral: “Di sepak bola, lebih banyak tidak selalu lebih baik. Kualitas lebih menentukan ketimbang kuantitas!”
Wasit anji**
Laga rivalitas antara SSB A vs B berlangsung sengit dan panas. Tingginya tensi pertandingan membuat wasit gugup dan sering mengambil keputusan keliru. Puncaknya, wasit memberi penalti ke SSB A akibat handsball. Padahal wasit tidak melihat bahwa pemain tersebut sebenarnya mengkontrol bola dengan dadanya.
Tak terima wasit salah memutuskan, pelatih SSB B awalnya sedikit protes. Tetapi ia kemudian menenangkan timnya agar tidak usah memikirkan hal tersebut dan terus bermain.
Petaka datang, saat sekelompok ortu SSB B masuk ke lapangan memukuli wasit sambil mengumpat “Wasit Anji**”. Pelatih SSB B yang ingin menenangkan justru dihardik keras. Pertandingan pun ternoda. Pemukulan terhadap wasit menjadi luka dan trauma mendalam bagi pemain belia di lapangan.
Moral: “Kompetisi adalah wadah belajar untuk pelatih, pemain dan juga wasit. Sama seperti pelatih salah taktik, pemain salah passing, wasit juga bisa salah tiup. Kalau memang wasit sengaja, urusan dia sama yang Di Atas!”
SIM
Dalam suatu turnamen bergengsi U-15 terjadi prahara besar-besaran. SSB X yang mendominasi turnamen dituding curi umur oleh seluruh SSB lain. Pemain SSB X tampak lebih dewasa, tinggi besar, kokoh dan menunjukkan tanda-tanda kedewasaan seperti kumis, janggut dan jakun.
Suasana kompetisi memanas saat seorang ibu, salah satu ortu SSB Z melakukan protes agresif ke panitia dan menghina Ortu SSB X. “Anak lo tua!” pekik mereka. Tak tahan diledek, ortu SSB X menjawab kasar, “Gua yang Ngent** kok, urusan apa lo?”. Tak ada bukti legal dan medis apa pun, SSB X tetap berkompetisi hingga jadi juara. SSB Z diperingatkan keras oleh panitia karena protes dengan cara tidak sopan.
Malu melakukan protes berlebihan, manager SSB Z memanggil si ibu ortu yang “menyerang” panitia dan menasehatinya. Pada saat ortu hendak pulang, sang manajer menemukan kejanggalan. Ia melihat si Ibu ortu dibonceng motor oleh anaknya, pemain tim U-15. Merasa diperhatikan, si Ibu berseloroh, “Anak saya sudah punya SIM kok pak!”. Nah lho…
Moral: “Di Eropa, akademi top seperti Ajax terbiasa bermain lawan tim berusia lebih tua dan terkadang tetap menang. Kalau kita protes soal curi umur, mungkin kita harus introspeksi kenapa kita belum seperti Ajax? Kalau soal lawan curi umur, serahkan saja sama yang Di Atas!”
Tidak ada lawan abadi
Kisah ortu Budi dari SSB A berseteru dengan ortu Tono dari SSB B. Dalam laga sengit Liga Askot (Asosiasi Kota, red.), kedua SSB berjibaku keras. Pertempuran juga terjadi di luar lapangan antar-ortu.
Suporter SSB A dikomandoi ortu Budi, SSB B digalang oleh ortu Tono. Cekcok adu umpatan yang makin lama menjurus ke kontak fisik pun tak terhindarkan. Beruntung petugas keamanan berhasil meredakan.
Pasca-Liga Askot, si Tono dan Budi sama-sama terpilih ke tim Haornas. Saat bersua di latihan perdana, kedua ortu yang mengantar saling membuang muka dan tak tegur sapa. Kebencian itu mencair seiring makin kompaknya hubungan Tono dan Budi. Kedua ortu pun mulai berbincang dan makin dekat satu sama lain.
Dalam persiapan, tim Haornas melakukan latih tanding melawan SSB X. Termotivasi bisa imbangi tim Haornas, SSB X bermain cenderung kasar. Ortu Budi dan Tono pun tersulut. Orkes umpatan yang dikomandoi keduanya bergema, “Patahin aja dek, lawannya Anji**!”.
Umpatan ortu tim Haornas menyulut amarah ortu tim SSB X. Setelah lama bertukar umpat, sekali komando ortu Budi dan Tono pun sukses membuat tawuran antar-ortu pecah. Kedua ortu awalnya musuhan, bersatu, kemudian mencari musuh baru!
Moral: “Sulit berkomentar!”
Pulsa dulu, baru iuran
Jelang pemanasan suatu pertandingan, si Joni menghampiri pelatihnya. “Coach, ada titipan dari mama,” ujarnya berbisik. Joni kemudian menyelipkan secarik amplop ke tangan pelatihnya. coach mulai merasa janggal, dari penampakkannya amplop tipis itu memantulkan warna merah. Benar saja, ternyata ada uang seratus ribu yang dititipkan Mama Joni.
Si Coach idealis agak tersinggung dengan titipan Mama Joni. Hanya saja di keramaian, ia tak mau mempermalukan Joni. Ia menyimpan dan menunggu waktu yang tepat untuk mengembalikannya. Ide sang coach adalah mengembalikan secara resmi via kantor, layaknya seorang wartawan yang menolak amplop.
Saat hendak memproses di kantor, orang keuangan terkejut. Ternyata Mama Joni yang hendak memberi uang pulsa ke pelatih masih nunggak iuran beberapa bulan. “Lha gila aja ngasih uang pulsa, iuran aja nunggak,” seru staf keuangan. Si coach pun garuk-garuk kepala keheranan!
Moral: “Minta ortu bayar Iuran tepat waktu! Itu saja, Cukup!”
Doyan turnamen, anti liga
Di pembinaan usia muda, dikenal dua jenis format kompetisi. Yakni turnamen dan liga. Orang sehat pasti mengerti bahwa liga lebih bermanfaat daripada turnamen. Di liga, pemain bisa belajar dari pertandingan, memperbaiki di latihan dan kembali mencobanya di pertandingan. Proses itu berlangsung berbulan-bulan. Ideal untuk perkembangan.
Sedangkan turnamen, jadwalnya selalu menimbulkan kelelahan berlebih pada pemain. Lebih parah, di turnamen tidak ada waktu untuk berlatih antarpertandingan. Sayangnya akal sehat semakin langka ditemukan. Turnamen jauh lebih diminati para ortu. Apalagi kalau turnamennya di luar kota, bahkan luar negeri. Biarpun mahal, lawannya tim Indonesia juga, tapi asal luar negeri.
Kasus 1:
Manajer : “Pak/Bu, kami berencana untuk mengikuti Turnamen Akhir Pekan di Yogyakarta. Biayanya per orang 2,5 juta untuk transport, penginapan dan makan?”
Ortu : “Berangkat! Kalau perlu cari hotel yang lebih mahal, biar pemain fit pas pertandingan. Tidak masalah kita bayar lebih!”
Kasus 2:
Manajer : “Pak/Bu, kami berencana mengikuti liga. Setiap pekan anak bapak/ibu akan bermain. Biayanya 500 ribu per orang untuk 15 pertandingan selama 4 bulan.”
Ortu : “Kami keberatan. Biayanya terlalu mahal. Kami bukan orang berada!
Kasus 3:
Manajer : “Pak/Bu, kami berencana mengikuti Turnamen Beruang Cup di Singapura. Biayanya 5 juta rupiah untuk transport, penginapan dan makan!”
Ortu : “Kesempatan bagus. Saya akan jual motor, supaya anak saya bisa tanding bola di luar negeri!”
Moral: Untuk SSB “berhentilah menipu!”, untuk Ortu “berhentilah tertipu!”
Jangan jadi kiper
Selepas latihan, Si Ucup mendekati pelatihnya sembari berbisik, “Coach, ini hari terakhir saya jadi kiper ya. Papa gak kasih saya jadi kiper!” ujarnya perih. Coach keheranan, tapi wajah sendu Ucup sendu menundanya untuk berdiskusi lebih lanjut.
Diskusi pada kesempatan selanjutnya menyibak rahasia bahwa Si Ucup sebenarnya senang menjadi kiper, tetapi orang tuanya melarang. Coach berusaha bertukar pikiran dengan ayah Ucup untuk mengetahui kebenaran informasi tersebut. Ternyata benar. “Saya memang larang Ucup jadi kiper, karena kiper itu posisi untuk orang yang tidak bisa bermain sepak bola!” pungkas Ayah Ucup.
Moral: “Turut berduka cita”
Tidak juara lagi
SSB X memiliki generasi talenta yang luar biasa di tim U-11 mereka. Setiap mereka mengikuti turnamen U-11, mereka selalu meraih juara dengan mudah. Nyaris tanpa perlawanan berarti.
Jika tim U-11 diadu dengan tim U-12, pertandingan begitu berimbang dan saling mengalahkan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, tim U-11 diputuskan hanya akan diikutkan pada turnamen U-12. Prestasi mereka di U-12 lumayan, tetapi tak lagi meraih juara.
Kebijakan manajemen menuai protes. Meski telah dijelaskan maksud tujuannya untuk jangka panjang, ortu tetap tak terima. “Manajemen harus memikirkan tingkat kepercayaan diri pemain dengan tidak pernah juara lagi,” ujar salah satu ortu.
Manajer berusaha menjelaskan, “hakekat pembinaan usia muda bukan mencari juara, tetapi mencetak pemain untuk masa mendatang,” jelasnya. Penjelasan ini langsung dibantah, “Kalau masa depan kan tidak ada yang tahu. Tapi kalau juara sekarang, minimal saat anak kita dewasa bisa punya cerita sama anak cucunya,” seru ortu lain ketus.
Moral: “Setelah era mie instant, kini giliran era ortu instant!”