Kira-kira 150 tahun yang lalu, sekelompok pelukis aliran Impresionis di Prancis bergumul tentang bagaimana cara agar karya-karya mereka bisa diterima masyarakat luas. Pada masa itu, kunci bagi para pelukis untuk bisa menembus audiens yang lebih luas adalah dengan cara meloloskan karya mereka di the Salon.
The Salon merupakan pameran seni yang bergengsi di Eropa. Setiap tahun, para pelukis mengirimkan karya-karya terbaiknya untuk bisa dinilai oleh para juri.
Bagi yang tidak lolos langsung diberi tanda R – Rejected. Sedangkan bagi mereka yang dinilai layak mengikuti pameran, lukisannya akan dipamerkan selama enam minggu. Para pelukis yang karyanya dianggap paling bagus akan mendapatkan medali di akhir pameran.
Mengingat begitu prestisiusnya the Salon, banyak pelukis yang ingin karyanya dipamerkan di ajang tersebut. Namun karena seleksinya begitu ketat dan pesaing sangat banyak, tak sedikit pelukis yang gagal dari tahun ke tahun.
Tentu mereka kecewa bahkan ada yang sampai bunuh diri. Jules Holtzapffel gagal menembus the Salon pada tahun 1866 dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara menembak kepalanya sendiri. Dalam catatan yang dibuatnya sebelum bunuh diri, Jules menulis, “Para juri menolak karya saya. Itu tandanya saya tak berbakat. Saya lebih baik mati.”
Beruntung para pelukis Impresionis seperti Edouard Manet, Claude Monet, Camille Pissarro dan Paul Cezanne tak ada yang bunuh diri. Sadar bahwa karya-karya mereka tidak memenuhi kriteria umum the Salon yang saat itu terkesan sangat tradisional, para pelukis Impresionis ini memutuskan untuk membuat sendiri ajang pameran bagi karya-karya mereka.
Pada tahun 1873, mereka menginisiasi komunitas pelukis Impresionis dan setahun kemudian diadakan pameran lukisan khusus karya-karya dengan aliran Impresionis. Tidak ada kompetisi, tidak ada juri, tidak ada medali.
Sambutan publik ternyata sangat baik dan sejak saat itu hingga saat ini lukisan impresionis memiliki penggemar tersendiri. Keputusan untuk membuat pameran sendiri terbukti tepat. Mereka memilih menjadi ikan besar di kolam kecil ketimbang menjadi ikan kecil di kolam besar.
Dalam dunia jurnalisme sepak bola, media cetak bisa diibaratkan seperti kolam besar dalam penyebaran informasi sepak bola selama ratusan tahun.
Di Inggris, sejak awal mula kompetisi sepak bola digelar pada tahun 1888, sejumlah koran langsung menemani perjalanannya seperti The Athletic News dan The Sportsman. Sedangkan di Jerman, Kicker sudah ada mulai tahun 1920 didirikan oleh Walter Bensemann.
Namun dalam perjalanan waktu, media cetak mulai tergerus zaman. Kalau kata Om Bre Redana, media cetak sudah memasuki fase senjakala. Beberapa koran khusus sepak bola di Indonesia mengakhiri keberadaannya sedangkan yang lain mulai mengurangi frekuensi penayangan.
Harian BOLA berhenti beroperasi mulai 1 November 2015. Sedangkan Tabloid Soccer memutuskan untuk berhenti terbit pada 11 Oktober 2014.
Media cetak mulai kalah dengan media daring. Akses internet yang semakin cepat serta meluasnya jangkauan internet bahkan hingga ke pelosok sekalipun membuat media daring lebih mudah dan murah untuk dinikmati banyak orang. Sebagian media cetak pun berlomba-lomba membuat media daring masing-masing. Mereka tak ingin kalah bersaing di dalam kolam yang baru.
Namun pada saat yang bersamaan, muncul pula pemain-pemain baru di dunia penyebaran informasi sepak bola. Berbagai situsweb independen mulai bermunculan.
Mulai yang berupa blog gratisan hingga yang memanfaatkan layanan berbayar dari berbagai provider. Tema media-media independen itu pun beragam. Ada yang didedikasikan khusus untuk klub sepak bola tertentu, ada yang membahas taktik, ada yang berupaya menghadirkan konten berita namun ada pula yang menampilkan feature saja yang lebih bersifat timeless.
Fandom merupakan salah satu pemain yang turut meramaikan kolam media daring independen di Indonesia. Sejauh ini, fandom masih setia fokus pada tulisan-tulisan feature dan tidak tergoda untuk turut menurunkan artikel-artikel berbasis berita. Meskipun kalau dilihat dalam konteks menarik massa ke situsweb, konten berita sebenarnya masih menjadi daya tarik paling kuat.
Namun, sang pemimpin Fandom, Sirajudin Hasbi, yang juga salah satu kandidat pemimpin PSSI di masa depan masih tetap yakin bahwa fandom harus setia dengan keunggulan kompetitif yang sudah dibangun sejak awal. Dan untuk terus menjaga kualitas, Fandom juga masih membatasi jumlah artikel yang ditayangkan yaitu 1-2 artikel saja setiap hari.
Terbukti, perlahan tapi pasti, pada tanggal 1 April 2016 yang menandai setahun kelahiran kembali, Fandom terus menunjukkan perkembangan yang baik.
Ada beberapa tandanya dari sisi kuantitatif. Terdapat penambahan jumlah followers yang cukup signifikan selama beberapa bulan terakhir (saat ini lebih dari 13 ribu followers). Begitu juga dalam hal peningkatan rangking popularitas situsweb di Indonesia. Dalam waktu kurang dari enam bulan, Fandom melesat dari peringkat 35.000 menjadi 8.900. Hal ini menggambarkan apa yang biasa diserukan oleh band Efek Rumah Kaca: pasar bisa diciptakan.
Ya, dengan konsep berbeda yang ditawarkan Fandom, pembaca toh selalu tetap ada dan bahkan terus berkembang dari waktu ke waktu.
Selamat merayakan hari berbahagia ini Fandom. Selamat terus bergembira di kolam sendiri. Entah sebagai pengelola, penulis atau pembaca, mari bersenang-senang karena sepak bola tak selesai dalam 90 menit.