“Ini kenalin adik abang, dia akan main untuk Persija,” kata Noh Alamshah pada suatu sore di tahun 2013 ketika mengenalkan saya pada sosok Johan Ahmad Alfarizi. Kami lalu berjabat tangan sembari mengenalkan diri. Lantas terlibat obrolan hangat yang juga melibatkan Usep Munandar.
Meski tak kenalan pun saya sudah tahu dia Alfarizi, salah satu pemain muda Malang yang punya prospek baik untuk melejit jadi salah satu bintang di sepak bola Indonesia. Saya sendiri yakin Alfarizi tak lagi mengenal, bahkan ingat pernah berkenalan dan bercengkerama dengan saya.
Ketika itu mungkin jadi salah satu periode berat bagi karier pemuda kelahiran Malang, 25 Mei 1990, karena saat itu untuk pertama kalinya dia akan berkarier di luar Arema. Klub idola yang dia puja sejak kecil dan telah memfasilitasinya menjadi salah satu pemain bertahan potensial Indonesia.
Pemain bernomor punggung 87 ini memang memulai semuanya di Malang. Dia mulai berlatih sepak bola bersama SSB Kitaro di Jatigui, Sumberpucung, Malang. Ketika mulai beranjak remaja (Sekolah Menengah Pertama) dia bergabung dengan Argo Manunggal Sawunggaling (AMS) Kepanjen, tempat yang juga melahirkan bek kiri legendaris Indonesia, Aji Santoso.
Alm. Setyo Budiarto pada suatu ketika merekrutnya untuk bergabung dengan Akademi Arema setelah Alfarizi tampil memikat dalam sebuah pertandingan persahabatan antara AMS Kepanjen dengan Akademi Arema. Selanjutnya adalah tentang mimpi-mimpi yang menjadi kenyataan.
Bersama Arema U-18, Alfarizi menjuarai Piala Soeratin 2007. Bisa dikatakan bahwa skuat ini adalah generasi emas sepak bola Malang. Di tim ini bercokol nama Sunarto dan Dendi Santoso yang hingga kini menjadi tulang punggung tim senior Arema. Juga ada nama lain yang sempat promosi ke tim senior seperti Firmansyah Aprilianto dan Faris Bagus Dinata.
Karier Alfarizi kemudian juga bisa dikatakan lancar. Seiring berjalannya waktu, dia bergabung dengan Arema U-21 dan tim senior Singo Edan. Dia menjadi bagian dari tim yang menjuarai Indonesia Super League (ISL) 2010 di bawah asuhan Robert Rene Albert, meski pada musim itu, dia juga masih bertanding pula di ajang ISL U-21.
Tapi, seperti halnya roda kehidupan, karier sepak bola Alfarizi pun mengalami perputaran. Setelah terus diberi kepercayaan saat era Miroslav Janu, Alfarizi kehilangan kepercayaan diri untuk bertahan di Arema.
Pada pertengahan tahun 2013 itu, Alfarizi menerima tawaran Macan Kemayoran untuk paruh kedua ISL. Kondisi Arema saat itu berat bagi dirinya. Setelah konflik dualisme di tubuh klub, dia kesulitan memperoleh kesempatan bertanding bersama Singo Edan yang saat itu dilatih Rahmad Darmawan.
Setelah meminta manajemen untuk meminjamkannya dan ada tawaran dari Fery Paulus, Ketua Umum Persija, kesepakatan untuk berbaju dengan lambang Monas di dada pun disepakati. Keputusan yang jelas tak akan pernah disesalinya. Bermain di Jakarta menempa dirinya menjadi sosok yang lebih dewasa baik secara teknik maupun mental.
Alasan Alfarizi untuk singgah di Sleman sebelum mengikuti latihan perdananya di Jakarta tak lain adalah keinginan untuk bertemu dengan Noh Alamshah. Pemain berkebangsaan Singapura yang dikenal bengal itu adalah seorang kakak sekaligus mentor bagi Alfarizi.
“Noh Alamshah adalah pemain yang paling sering memberi motivasi. Ketika pelatih memarahi karena kami bermain jelek, dia adalah orang yang akan membela kami (pemain muda),” ujar Alfarizi mengenai peran Alamshah bagi karier sepak bolanya.
Di bawah gemblengan Benny Dollo, salah satu pelatih paling dihormati di Indonesia, Alfarizi memperoleh kepercayaan menjadi pemain inti. Pos bek kiri adalah tempat terbaik untuk mengeluarkan kemampuannya. Datang ketika Persija sedang dalam ancaman degradasi, Alfarizi berkontribusi besar untuk mengangkat performa tim hingga akhirnya bisa selamat dari ancaman turun kasta.
Walaupun Persija kemudian menyodorinya kontrak untuk musim berikutnya, dia memilih untuk kembali ke Arema. Baginya, hanya Arema yang membuatnya jatuh cinta.
Kanjuruhan pun menyambutnya dengan tangan terbuka. Pengalamannya bersama Persija telah mengembangkannya menjadi pemain yang jauh lebih baik. Seorang bek yang bisa main di kedua sisi dengan sama baiknya, kuat dalam bertahan juga rajin membantu serangan, serta selalu memberikan yang terbaik jika diberi kepercayaan turun bertanding.
Alfarizi pun menjadi pilihan utama di sisi kiri Arema. Jika tim sedang krisis bek kanan, dia akan bergeser ke kanan.
Di ajang Piala Bhayangkara 2016 lalu bisa dikatakan dia berada dalam performa terbaiknya. Oleh Labbola dia dipilih sebagai pemain terbaik untuk pertandingan melawan Persija di mana dia memberi asis untuk satu-satunya gol kemenangan yang dicetak oleh Sunarto.
Saat semifinal melawan Sriwijaya FC, dia menjadi pahlawan dengan mencetak gol tunggal kemenangan setelah memanfaatkan sepak pojok Srdan Lopicic melalui sundulan kepala yang akurat dan mampu memperdayai Dian Agus Prasetyo.
Tidak hanya satu gol dan satu asis, dia juga menciptakan 10 peluang bagi timnya, serta memberi 7 umpan silang sukses dalam 5 pertandingan sepanjang Piala Bhayangkara (data Labbola hingga semifinal) bagi timnya. Untuk ukuran seorang fullback Indonesia, angka-angka itu sudah sangat memuaskan.
Jadi, tidak mengherankan jika kemudian dia terpilih menjadi pemain terbaik turnamen. Dia mengalahkan 9 pemain lain yang masuk nominasi, Cristian Gonzales dan Hendro Siswanto (Arema), Kim Kurniawan, Samsul Arif, dan Tony Sucipto (Persib), Ichsan Kurniawan dan Syaiful Indra Cahya (Sriwijaya FC), serta Fadil Sausu dan I Gede Sukadana (Bali United FC).
Dengan usia yang sedang berada dalam rentang usia emas bagi pesepak bola, Alfarizi masih bisa terus berkembang. Jika dia tak tinggi hati dengan pencapaiannya selama ini dan terus mempertahankan etos kerja kerasnya, tidak hanya satu tempat di tim Arema, satu posisi di tim nasional Indonesia akan jadi miliknya.
Terus membumi dan teruslah menempa diri Alfarizi!