Sepak Bola dan Kenikmatan Tentangnya

Sepak bola adalah panggung penyaji eksistensi, persepsi serentak sensasi. Di atas lapangan hijau, para pemain berkeliaran dalam suatu rangkaian irama ritmis.

Idealnya, mereka menyuguhkan kualitas permainan berkelas. Juga cerdas dan tangkas. Terlihat bahwa sebuah realitas inti serentak intim didapuk untuk pencapaian hasil terbaik. Namanya kemenangan.

Namun, sepak bola tak hanya itu. Di luar lapangan, di ruang-ruang publik, ia juga jadi bahan obrolan menarik. Sebagai topik yang tak henti-hentinya diumbar dengan pelbagai sudut pandang.

Analisis ataupun sinopsis tentangnya bukanlah sekadar sentilan belaka. Ataupun banyolan yang tak punya makna. Sepak bola telah menjadi garapan perbincangan serius. Setamsil dunia perpolitikan yang tak jarang bikin pening kepala. Ya, mungkin saja begitu.

Beberapa waktu terakhir, sepak bola menjadi diskursus mainstream dalam beranda kehidupan kita. Copa America Centenario 2016 di Amerika Serikat yang baru saja berakhir dan UEFA Euro 2016 di Prancis yang sedang berlangsung menjadi dua tajuk global yang begitu menggema dan mendunia.

Bujur-bujur pembicaraannya pun tak jarang menjadi trending topic di linimasa. Tentu saja bukan hanya soal hasil pertandingan terlakonkan di dalam lapangan, melainkan juga perkara-perkara yang terjadi di luar lapangan.

Misalnya, pada perhelatan Euro 2016, terlihat bagaimana semrawutnya perkelahian ultras Rusia dan hooligans Inggris di Marseille, Prancis. Banyak korban cedera, ruang publik pun rusak tak terkira.

Lain halnya lagi dengan atraksi miris Christiano Ronaldo yang melempar mikrofon wartawan CMTV ke dalam danau beberapa waktu lalu. Tentu, itu adalah hal konyol yang mengharu-biru.

Pada Copa America Centenario 2016, kisah sedih Brasil yang harus pulang duluan ataupun Lionel Messi yang memutuskan berhenti dari timnas Argentina pascakekalahan di laga final juga merupakan topik yang banyak dibicarakan.

Beranjak ke dalam negeri, parade tak kalah sengitnya tersaji dalam gelaran turnamen Indonesia Soccer Championship (ISC). Klub-klub lokal beradu taktik dan strategi untuk merengkuh gelar juara. Pertarungan terjadi, persaingan memanas.

Kerusuhan suporter pun menjadi kidung lama yang senantiasa berelegi. Orang-orang saling hajar. Seolah-olah sepak bola adalah dendam yang merindu untuk dibayar tuntas. Yang terakhir adalah rusuhnya pertandingan antara Persija dan Sriwijaya FC yang melibatkan suporter Persija dan aparat kepolisian.

BACA JUGA:  Semoga Musim Depan Tak Seburuk Ini, Persiba Bantul

Namun, itulah sepak bola. Barangkali benar bahwa dia adalah miniatur kehidupan. Yang mengumbar perasaan, cinta, kerinduan, dan optimisme. Juga ambisi dan imajinasi untuk lahirkan narasi.

Tentang ini, Nills Havemann, sebagaimana dikutip Wattimena, dalam kuliahnya die gesellschaftliche Bedeutung des Fußballs in Deutschland menyatakan bahwa sepak bola adalah sebuah kultur. Kultur yang menjadi suatu cara hidup yang telah menganak-pinak ke dalam kehidupan manusia abad 21 ini.

Namun secara lebih refleksif, Havemann mengelaborasi bahwa sepak bola pun menjadi cerminan sebuah masyarakat. Artinya, apabila kondisi sepak bola suatu bangsa atau masyarakat berantakan, bobrok pula realitas-realitas kehidupan lainnya, semisal ekonomi dan politik.

Saya tak hendak mengobral lebih jauh, sebab Indonesia adalah juaranya untuk perkara yang satu itu. Mulai dari level nasional sampai regional.

Pada ihwal lain, sepak bola adalah soal filosofi yang berujung pada kemaslahatan hidup. Kita ingat bagaimana revolusioner Che Guevara menjadikannya sebagai cara efektif untuk berkomunikasi dengan masyarakat.

Dalam tur keliling Amerika Latin bersama sahabatnya Alberto Granada, ia selalu menyempatkan diri untuk bermain bola. Bahkan, ia pernah melatih sebuah kesebelasan kuli jalananan di Cile untuk sebuah turnamen, dan membeli tiket murah untuk menonton pertandingan Real Madrid vs Milianorios di Bogota, Kolombia.

Sepak bola juga menjadi senjata keberpihakan untuk pesepak bola semacam Socrates (1954-2011) di Brasil dalam melawan rezim fasis.

Ada beragam hal yang bisa dibicarakan, dipergunjingkan, dan disangkutpautkan dengan sepak bola ini. Akan tetapi, kita tak boleh lupa. Bahwa esensi sepak bola merujuk pada 22 orang pemain yang berlari, mengejar, dan berjuang menceploskan bola ke dalam gawang. Sebuah tim melawan tim lainnya. Sebelas algojo bentrok dengan sebelas algojo lainnya.

Bola yang bulat, rumput hijau, juga kaki-kaki yang gatal adalah saksi tak terpermanai di dalamnya. Dan sebenarnya, mereka adalah pantikan bagi risalah-risalah lanjutan. Yang mungkin penting ataupun tak penting.

BACA JUGA:  Tiga Alasan Kegagalan Belanda Lolos ke Euro 2016

Hal yang membikin fatal adalah ketika sepak bola tidak lagi dilihat sebagai urusan kejar-mengejar si kulit bulat itu sendiri. Sebuah olahraga dan permainan yang telah membiusi anak pedalaman hingga bocah perkotaan. Sepak bola disulap jadi objek industri belaka atau hiburan saja atau tendensi kepentingan semata.

Maka, selebritas sepak bola pun bermunculan. Juga figur ataupun institusi “tukang atur-atur”, mulai dari skor sampai jadwal tayang televisi, menjadi payung penting di atas semuanya.

Monopoli dan komersialisasi bisa jadi. Politisasi juga tak tersangkalkan. Namun, begitulah realitas menyajikan wajahnya. Bahwasanya sepak bola adalah industri yang renyah dan empuk untuk meraup keuntungan.

Barangkali kritikan ataupun hasutan terhadapnya hanya akan laku pada tataran wacana. Toh, setiap hal selalu punya kepentingan. Termasuk hal yang mungkin kita anggap baik sekalipun.

Makanya di sini, saya sangka ada poin lain yang lebih patut direfleksikan. Ini tentang kembali menelisik hakikat sepak bola itu sendiri dalam wajahnya yang paling alamiah.

Bagaimana menyaksikan para pemain berjuang, beradu teknik dan taktik, juga fisik dan mental untuk meraih kemenangan. Bagaimana kaki-kaki lincah mengolah bola, melumati setiap helaian rumput untuk menjebol jala lawan. Ini juga tentang semangat dan optimisme yang membuncah. Melampaui harapan dan prediksi yang tersaji dalam kemenangan ataupun kekalahan.

Di atas semuanya itu, rasa tidak puas atau bangga, kecewa atau bahagia, sedih atau tertawa menjadi hal-hal yang tak bisa dimungkiri.

Mungkin sampai pada titik ini, ada yang merasa tidak puas, nyinyir, ataupun bersikeras bahwa sepak bola tak sesederhana itu. Namun, bukankah kadar makna sebuah hal yang kita agungkan itu dirajut mulai dari tataran paling sederhana.

Tentang menjadi penikmat sepak bola yang menikmati sepak bola. Sebagai olahraga dan permainan. Sebagai penyejuk batin yang memuaskan. Dan, tentu saja sebagai awal yang bernas untuk mengobrak-abrik perkara-perkara lebih besar yang menyelimutinya.

Sebab, seringkali kita ingin menceploskan bola ke dalam gawang tapi tidak tahu, atau lupa, atau sengaja lupa cara menendang bola yang baik dan benar.

 

Komentar
Anggota Komunitas KAHE (Sastra Nian Tana) Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Sekarang sedang menyelesaikan kuliahnya di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere. Penulis bisa dihubungi melalui Twitter.com/elvanporres dan fb.com/elvanbackbonerz