Sebagai permainan yang lahir sejak berabad-abad silam, sepak bola menyajikan begitu banyak cerita. Mulai dari kegembiraan merengkuh kemenangan sampai kekalahan yang menelurkan perasaan patah hati. Hal-hal beraroma heroik nan gagah, bersatu padu dengan mozaik-mozaik berbalut kostum pecundang.
Dalam novelnya yang berjudul Sebelas Patriot, Andrea Hirata menyebutkan jika sepak bola adalah surga kecil 2×45 menit, bagi pemain maupun penonton. Sebab dalam durasi tersebut, kalian bisa pangling kalau punya hutang kepada tetangga atau lupa jika baru saja putus cinta. Kalau sudah begini, nikmat Tuhan manalagi yang mau kalian dustakan?
Dan salah satu bumbu penyedap yang ada di sepak bola dan tak bisa dihilangkan adalah rivalitas. Apa pun latar belakangnya, bagaimanapun bentuknya, rivalitas akan selalu eksis selama umur panjang masih menyetia pada sepak bola. Jujur saja, melalui hal ini juga kalian bisa lebih menikmati sepak bola, bukan?
Bicara rivalitas, ada dua negara kelas berat di Benua Biru yang dalam beberapa tahun belakangan ini terlibat rivalitas cukup sengit. Terhitung sejak Agustus 2011 hingga Juni 2016 kemarin, mereka telah beradu fisik sebanyak tujuh kali, baik di tempat netral maupun tidak.
Dari ketujuh laga tersebut, masing-masing kubu menggondol dua kemenangan sementara sisanya berakhir seri. Dua negara yang saya maksud adalah Italia dan Spanyol.
Walau agak sulit dimasukkan dalam kategori rival tradisional layaknya perjumpaan Argentina-Brasil, Belanda-Jerman, atau bahkan Indonesia-Malaysia, namun tensi laga yang melibatkan kedua tim ini selalu berhasil membuat publik deg-degan dan ingin menyaksikan laga sampai peluit akhir berbunyi.
Terlebih kedua tim ini dianggap sebagai representasi dua kutub sepak bola yang berbeda. Italia ngetop sebagai penganut ajaran defensif sementara Spanyol populer sebagai pemuja dogma ofensif.
Sentimen sepak bola negatif versus sepak bola indah pun menyeruak, sehingga publik meyakini jika benturan yang melibatkan keduanya selalu menyuguhkan sesuatu yang menarik.
Belum lagi soal perbandingan siapa gelandang yang lebih jenius, Andrea Pirlo atau Xavi Hernandez, maupun kiper mana yang lebih berkelas, Gianluigi Buffon atau Iker Casillas, yang kerap dijadikan tajuk pertempuran dua tim nasional dalam satu dekade ke belakang.
Meski hal ini terbilang wajar mengingat kuartet tersebut memiliki kemampuan luar biasa bagi dua negara yang secara keseluruhan punya lima titel Piala Dunia dan tiga kali keluar sebagai kampiun Piala Eropa ini.
Jika dirunut lebih jauh, tensi panas yang melibatkan Italia dan Spanyol sudah terjadi saat keduanya berjumpa di Piala Dunia 1934. Ketika itu, mereka berjumpa di babak perempat final yang dilangsungkan di Stadion Giovanni Berta (kini Stadion Artemio Franchi), Firenze.
Laga yang dipadati kurang lebih 35.000 pasang mata tersebut berakhir dengan kedudukan 1-1 hingga waktu normal usai. Gol kedua tim masing-masing dicetak Giovanni Ferrari dan Luis Regueiro. Saat dua babak tambahan dilaksanakan, baik Italia dan Spanyol tak ada yang mampu menjebol jala lawan.
Alih-alih mengadakan adu penalti guna menentukan siapa pemenangnya, kedua tim justru sepakat untuk mengulang laga keesokan harinya di tempat yang sama. Uniknya, jumlah penonton yang hadir di stadion malah meningkat menjadi sekitar 43.000 orang.
Di partai ini, Italia dan Spanyol mengganti masing-masing lima dan tujuh pemain dari starting eleven mereka. Hal ini wajar mengingat saat itu belum dikenal sistem pergantian pemain di tengah laga (sejarah pergantian pemain bisa Anda baca di Fandomagz edisi sembilan yang bisa diunduh di sini).
Pada partai ulangan ini, Italia berhasil mencuri kemenangan via gol semata wayang penyerang legendarisnya, Giuseppe Meazza, saat laga baru memasuki menit ke-12. Kedudukan 1-0 tersebut membuat Italia sukses melaju ke babak semifinal. Walau sejatinya, di laga ini, La Furia Roja sempat mencetak satu gol namun dianulir wasit.
Peristiwa tersebut membuat kubu Spanyol merasa dicurangi. Karena pada pertandingan pertama, satu gol yang mereka buat juga tidak disahkan wasit.
Tim matador merasa jika hasil (dua) laga melawan tuan rumah memang sudah diatur sedemikian rupa guna meloloskan Gli Azzurri ke babak selanjutnya. Terlebih, di masa itu Italia sedang dipimpin oleh tokoh fasisnya yang legendaris, Benito Mussolini.
Dan seperti yang sama-sama kita ketahui, pada akhirnya, Gli Azzurri sukses menyabet trofi Jules Rimet dan menahbiskan diri sebagai yang terbaik di dunia pada gelaran tersebut.
Walau sempat berjumpa di beberapa ajang kompetitif semisal Piala Eropa 1988 dan Piala Dunia 1994, luka itu sendiri baru bisa dibalas tuntas oleh Spanyol pada final Piala Eropa 2012.
Pada laga yang dihelat di tempat normal, Stadion Olimpiyskiy Kiev, La Furia Roja lewat permainan elok berhasil membungkam Italia.
Tak tanggung-tanggung, kala itu gawang Buffon diberondong empat gol sekaligus yang masing-masing dicetak Jordi Alba, Juan Mata, David Silva, dan Fernando Torres. Gli Azzurri luluh lantak dan mesti menerima kekalahan telak 0-4.
Bicara kekinian, suka tidak suka, baik pendukung Italia dan Spanyol mesti mengakui jika tim yang mereka dukung sama-sama sedang merasakan kemerosotan prestasi dan penampilan. Khusus di zona Eropa sendiri, kualitas yang mereka miliki tampak semakin tertinggal dari negara-negara lain seperti Jerman, Prancis, dan bahkan Portugal.
Paceklik gelar Italia selepas menjuarai Piala Dunia 2006 silam semakin panjang. Meski dalam rentang 2008 hingga 2016 mereka ikut serta di tujuh ajang mayor (Piala Dunia, Piala Eropa, dan Piala Konfederasi). Rontok di fase penyisihan grup Piala Dunia 2010 dan Piala Dunia 2014 bahkan jadi aib yang sangat memalukan bagi Gli Azzurri.
Di sisi lain, Spanyol, yang begitu digdaya karena berhasil merengkuh tiga trofi selama periode 2008 hingga 2012 (satu Piala Dunia dan dua Piala Eropa) juga mulai menukik penampilannya di sepasang turnamen akbar terakhir.
Tentu belum lekang di dalam ingatan ketika La Furia Roja remuk redam di Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016 walau memegang status sebagai juara bertahan.
Biang keladi atas nestapa yang diperoleh kedua kubu pun mulai banyak dikemukakan publik. Baik Italia dan Spanyol dianggap masih memiliki ketergantungan kelewat besar terhadap figur-figur penggawa tertentu.
Sementara itu, dinamika taktik yang semakin ekstrem kerap membuat pendekatan bermain yang mereka lakukan semakin mudah dipatahkan. Terakhir, siklus kejayaan masing-masing tim dirasa sudah mencapai batasnya.
Hal-hal itu juga yang membuat kedua tim mau tak mau harus melakukan pembenahan sesegera mungkin. Kebetulan, Gli Azzurri dan La Furia Roja baru saja memiliki nakhoda anyar dalam diri Giampiero Ventura dan Julen Lopetegui.
Dua pelatih berbeda generasi ini masuk menggantikan Antonio Conte dan Vicente Del Bosque yang cabut usai gelaran Piala Eropa 2016 lalu.
Ventura dan Lopetegui dirasa cakap untuk melancarkan proses regenerasi skuat guna memberi kesempatan bagi bakat-bakat muda sebagai andalan di masa yang akan datang. Keduanya juga mempunyai kecerdasan taktikal yang mumpuni sehingga Italia dan Spanyol bisa sesegera mungkin dibawa kembali ke jalan yang benar.
Dan pertemuan kedua kubu, 7 Oktober 2016 dan 2 September 2017, dalam lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2018, bisa jadi penanda era baru rivalitas antara Gli Azzurri dan La Furia Roja.
Siapa yang lebih baik?