Di penghujung bulan penuh kasih sayang ini tersiar kabar yang menyayat hati banyak pencinta sepak bola. Tidak seperti dongeng masa kecil yang selalu berakhir bahagia, dongeng yang menceritakan Leicester harus berakhir tragis.
Romantisme antara Ranieri dan Leicester diakhiri dengan momen pemecatan. Kenangan indah menjadi juara di musim lalu benar-benar tak tersisa sama sekali.
Kabar pemecatan Ranieri ini memang kencang terdengar dari awal tahun 2017. Semakin dekatnya The Fox dengan jurang degradasi menjadi alasan utamanya. Akan tetapi beberapa pekan sebelum Ranieri dipecat, manajemen telah memberi pernyataan bahwa seluruh jajaran manajemen dan pemain terus mendukung Ranieri hingga akhir musim.
Janji tinggal janji. Ranieri tidak dibiarkan menyelesaikan perjuangannya untuk menyelamatkan Leicester dari kesempatan bermain di Championship. Segera setelah Leicester tumbang di kandang Sevilla, manajemen memutuskan untuk memecat Ranieri.
Ranieri, 65 tahun. Sejatinya sedang benar-benar menikmati senja karier kepelatihannya. Bisa menjadi juara liga dengan tim semenjana macam Leicester adalah sesuatu pencapaian yang mengagumkan, sesuatu yang bahkan ia tak dapat lakukan di Italia bersama Internazionale Milano dan Juventus serta di Prancis bersama AS Monaco.
Dan juga saat petualangan pertamanya di negeri Ratu Elizabeth saat menangani Chelsea. Raihan juara Liga Primer itu juga yang mengantarkan dirinya menjadi pelatih terbaik dunia versi FIFA.
Sayang di ujung kariernya dia harus rela kembali bertemu sahabat lamanya yaitu surat pemecatan.
Hilangnya harapan di King Power Stadium
Faktanya kisah dongeng Leicester City hanya tersedia satu episode. Jangankan untuk bertarung di papan atas, hingga awal Februari Leicester masih berjuang untuk menjauh dari jurang degradasi.
Perihal menurunnya kualitas permainan Leicester musim ini memang sudah diprediksi sebelumnya, tetapi memang ini terlalu buruk untuk dibayangkan sebelumnya.
Banyak hal yang membuat Leicester begitu sulit meraih kemenangan musim ini. Faktor utama memang kepergian N’Golo Kante ke Chelsea, tim asuhan Ranieri ini memang begitu mengandalkan Kante sebagai perebut second ball sebagai pondasi serangan balik mematikan.
Hanya kehilangan Kante bukanlah skenario transfer terburuk yang mungkin terjadi di Leicester. Di tim ini masih ada Riyad Mahrez, Jamie Vardy, Danny Drinkwater yang mencoba menjadi pemain setia dan tak berpaling ke klub lain.
Toh, Leicester pun cukup jor-joran pada bursa transfer musim ini. Mulai dari Slimani, Ahmed Musa, hingga Zieler didatangkan demi mewujudkan tim yang lebih kompetitif. Pada akhirnya memang bukanlah masalah teknis seperti kualitas pemain, taktik, dan kebugaran. Ini perihal hilangnya harapan di setiap sudut King Power Stadium.
Tengok kondisi Leicester musim lalu, sudah bermain baik dari awal musim membuat harapan untuk mengakhiri musim dengan tidak terdegradasi selalu ada pada diri seluruh pemain, pelatih, dan suporter.
Seluruh penghuni King Power Stadium selalu terisi dengan harapan. Ini pula menjadi modal Leicester untuk menjaga performanya sepanjang musim.
Harapan yang tak pernah hilang di King Power Stadium membuat mereka memiliki kepercayaan diri, tekad, dan memaksimalkan kemampuannya yang pada akhirnya menjadi juara Liga Inggris. Mentalitas itu juga yang akhirnya memberikan kemenangan demi kemenangan hingga gelar juara hadir untuk Leicester.
Sayangnya beban sebagai juara bertahan terlalu berat untuk Leicester. Performa di awal musim benar-benar tak mencerminkan kualitas tim terbaik musim lalu.
Terlalu banyak poin terbuang mengakibatkan mreka langsung terbuang di perebutan gelar juara Liga Inggris. Sesegera Leicester keluar dari jalur juara, sesegera itu juga hilang harapan di King Power Stadium.
Harapan yang begitu cepat hilang membuat Leicester tak memiliki hasrat untuk meraih kemengan selayaknya musim lalu. Hilangnya harapan berimbas terhadap kualitas permainan klub yang dimiliki oleh orang Thailand ini.
Ya, namanya juga hidup. Musim lalu begitu perkasa menjungkalkan para raksasa, tetapi hari ini untuk menang melawan 10 pemain Milwall pun Leicester tak mampu.
Musim lalu menerima penghargaan sebagai juru taktik terbaik di muka bumi, hari ini harus berpisah dengan cara tidak hormat.
Bagi Leicester dan juru taktik terbarunya haruslah segera mencari momentum kebangkitan jika memang tidak ingin berlaga melawan tim-tim seperti Nottingham Forest, Wolverhampton, dan juga QPR di musim depan.
Tetapi teruntuk Opa Ranieri, pensiun menjadi pilihan yang paling masuk akal saat ini. Trofi Premier League sudah cukup baik untuk menutup karier kepelatihannya. Beristirahat dan menghabiskan waktu bersama keluarga terlihat sangat menyenangkan untuk dilakukan di masa tuanya saat ini.
Dan juga semoga Anda menerima kenyataan bahwa Anda telah dipecat seraya berkata, Ya namanya juga hidup…