Sepanjang musim 2016/2017, Jack Wilshere hanya satu kali menderita cedera. Tepatnya pada tanggal 13 Februari 2017, kala Bournemouth menjamu Manchester City. Wilshere harus ditarik keluar di pertengahan laga. Namun hebatnya, di pertandingan selanjutnya, gelandang berusia 25 tahun tersebut dinyatakan fit dan bisa bermain.
Mengapa catatan tersebut saya sebut hebat? Karena Jack Wilshere, semasa membela Arsenal, mempunyai catatan romansa tertentu dengan kamar kesehatan. Badai cedera seperti terus tersemai ketika ia masih berseragam The Gunners.
Musim lalu, Wilshere “hanya” bermain di tiga laga! Absennya Wilshere hampir sepanjang musim disebabkan oleh cedera yang pernah ia derita pada bulan Agustus tahun 2015. Musim 2013/2014, Wilshere bahkan menderita 10 cedera berbeda dengan tujuh di antaranya adalah cedera kaki, tepatnya ankle.
Oleh sebab itu, Wilshere, yang bisa bebas cedera (parah) ketika dipinjamkan ke Bournemouth merupakan suatu “keajaiban kecil” bagi saya. Padahal, jika ditelaah lebih jauh, cara Bournemouth menjaga Wilshere tetap sehat adalah langkah-langkah yang sederhana, bukan sulap atau ilmu hitam.
Dr. Craig Roberts dan acute-chronic training ratios
Dr. Craig adalah orang yang punya tanggung jawab dengan masalah kesehatan di Bournemouth. Ia menerapkan sebuah metode bernama “acute-chronic training ratios” yang dikembangkan oleh ilmuwan olahraga dari Australia bernama Tim Gabbett. Intinya, Dr. Craig ingin menjamin bahwa Wilshere tak meraskan ada “duri” di dalam sepatunya.
“Wilshere menderita banyak tipe cedera karena berlatih secara berlebihan. Ia juga punya cedera yang kambuhan, yang semua pemain bisa menderita hal yang sama. Ia tipe pemain yang dapat dengan mudah cedera jika intensitas latihan terlalu tinggi,” jelas Dr. Craig perihal cedera kambuhan Jack Wilshere.
“Lantaran ia tak banyak bermain sebelum bergabung, maka kami sangat tegas perihal intensitas latihan yang bisa ia lahap setiap minggu sebelum pertandingan,” tambahnya.
Pada awalnya, program yang Dr. Craig susun tidak disukai Wilshere. Gelandang asal Inggris tersebut ingin selalu bisa berlatih dan bermain bersama rekan-rekannya ketika terbebas dari cedera.
Namun, Dr. Craig bersikeras apabila sudah berkaitan dengan intensitas latihan yang bisa Wilshere lahap. Pelatih Bournemouth sendiri, Eddie Howe, sangat mendukung program latihan untuk Wilshere.
Howe akan dengan tegas menyuruh Wilshere untuk berhenti berlatih meskipun baru menjalani setengah sesi latihan. Latihan selanjutnya dilakukan bertahap, tidak langsung menjalani satu sesi secara penuh. Hingga akhirnya, pada satu titik tertentu, Wilshere bisa dan kondisinya mendukung, untuk menjalani satu sesi latihan secara penuh.
Namun, masih ada catatan penting. Meskipun boleh menjalani satu sesi latihan secara penuh, tim pelatih membatasi jumlah latihan satu sesi penuh yang bisa dilahap Wilshere. Maksudnya begini, jika Harry Arter, gelandang Bournemouth boleh menjalani lima sesi latihan penuh, maka Wilshere hanya boleh menjalani 3 sesi saja.
Catatan tersebut dibuat berdasarkan data yang dikumpulkan dalam acute-chronic training ratio. Acute training berkaitan dengan pengukuran tingkat kelelahan si pemain, sedangkan chronic training berhubungan dengan tingkat kebugaran.
Rasio yang diukur adalah perbandingan intensitas latihan antara satu minggu terakhir, dibandingkan dengan intensitas latihan selama empat minggu sebelumnya. Dari perbandingan tersebut dihasilkan sebuah ukuran intensitas yang bisa dilahap pemain tertentu. Setiap pemain mempunyai ukuran rasio tersendiri.
Tim Gabbett, pengembang acute-chronic training ratio, menyebutkan bahwa pemain mempunyai tingkat intensitas latihan sebagai “sweetspot” dan “danger zone” masing-masing. Gambarannya begini:
Sebuah perhitungan dihasilkan angka lima sebagai “danger zone” seorang pemain. Sementara itu, pemain tersebut mempunyai angka tiga sebagai rasio “sweetspot”. Dengan tingkat rasio seperti itu, si pemain bisa dengan nyaman menjalani latihan, tidak mudah mencapai level kelelahan tertinggi, dan cedera lama tidak mudah kambuh selama empat minggu berlatih.
Nah, pelatih mungkin bisa menambah latihan sehingga meningkatkan rasio si pemain menjadi empat. Artinya, ada peningkatan satu poin di atas “zona aman” si pemain. Perhitungan tersebut menunjukkan bahwa dalam satu minggu, rasio latihan si pemain akan berada di angka empat.
Jadi artinya satu poin di atas rasio latihan aman selama empat minggu yang sudah dijalani si pemain sebelumnya.
Jika dalam satu minggu menjalani latihan dengan rasio angka empat si pemain tetap aman namun tingkat kelelahan naik, maka latihan masih bisa dilanjutkan. Perlu menjadi perhatian, patokan ini mungkin tidak akan membuat si pemain mudah cedera. Namun, risiko cedera tetap akan naik karena semakin dekat dengan “danger zone”.
Nah, jika si pemain berlatih di bawah rasio angka tiga, risiko cedera juga akan naik. Terlalu sedikit berlatih sama tidak menguntungkan dengan terlalu banyak berlatih.
Jika si pelatih dengan gegabah menambah intensitas dan membuat rasio latihan si pemain, misalnya, menjadi 4,5, maka bisa jadi, ketika si pemain diterjang lawan di sebuah pertandingan, cedera lama akan dengan mudah kambuh. Tingkat kelelahan naik dengan cepat dan kebugaran tidak ideal. Proses penyembuhan akan semakin lama dan berisiko.
Proses pengukuran seperti itulah yang dilakukan tim pelatih Bournemouth. Latihan bertahap yang dilakukan Wilshere begitu penting untuk membangun kebugarannya.
Dalam dua pertandingan terakhir Bournemouth, Wilshere tidak dimainkan oleh Howe. Banyak dugaan yang berkembang, salah satunya Wilshere kehilangan tempat di tim utama. Hal inilah yang tidak dipahami banyak orang bahwa kebugaran Wilshere tengah dibangun untuk pertandingan selanjutnya.
Ada masanya ia harus “istirahat”. Seperti motor, yang harus menepi ke POM bensin untuk mengisi bahan bakar supaya bisa melahap ratusan kilometer seperti sebelumnya.
Nah, meskipun Wilshere tidak berlatih di lapangan, tim pelatih akan menyusun menu berlatih baru untuk membangun dan menjaga kebugaran. Misalnya bisa dengan bersepeda statis. Jadi, Wilshere bukan tidak berlatih. Namun ia melakukannya dengan cara yang berbeda.
Untuk menangani Wilshere, Dr. Craig selalu mengomunikasikan semuanya dengan Gary O’Driscoll, dokter tim Arsenal. Semua menu latihan dan sesi yang Wilshere lahap selalu didiskusikan. Perkembangannya juga diketahui secara terbuka.
Meski cukup merepotkan, langkah-langkah detail ini tetap harus dilakukan demi si pemain. Dr. Craig menegaskan bahwa setiap pemain adalah individu yang berbeda, punya bangunan genetik yang berbeda, cara berlari yang berbeda, dan mempunyai gaya bermain yang berbeda. Penanganan dan pencegahan cedera harus spesifik.
Lalu, pertanyaan yang hingga saat ini masih bersemayam di kepala saya adalah, mengapa metode ini tak dilakukan sejak dulu, sejak ketika Wilshere masih berada di Arsenal?
Seperti kata kawan saya, Syaamrizal, hanya Arsene Wenger dan Tuhan yang tahu.
#COYG