Memiliki rumah di depan lahan kosong merupakan salah satu faktor terbesar mengapa saya begitu menggilai sepakbola. Tanah tak terurus itu awalnya berupa sawah yang cukup produktif, tapi entah mengapa sang pemilik tak lagi berminat menanam padi di lahannya tersebut.
Enam belas tahun silam, saya bersama teman-teman berinisiatif untuk menggarap lahan kosong itu menjadi sebuah lapangan sepakbola. Bermodalkan arit untuk membersihkan sisa-sisa akar padi yang masih tertinggal serta gergaji untuk memotong bambu yang telah dipersiapkan sebagai tiang dan mistar gawang, akhirnya terbentuk sebuah lapangan yang memiliki nilai sejarah bagi kami.
Setiap sore selepas pukul 15.00 hingga menjelang matahari terbenam, lapangan tersebut selalu ramai dengan anak-anak maupun remaja yang ingin menggembirakan dirinya dengan bermain sepakbola.
Rekomendasi Jersey Fantasy dan Jaket Bertema Garuda yang Keren
Beberapa tahun kemudian, muncul perubahan orientasi dalam diri kami. Jika sebelumnya sepakbola hanya kami gunakan sebagai sarana mencari hiburan, maka kini hadir keinginan untuk menjadi pesepakbola profesional. Secara kolektif, kami mendaftarkan diri di salah satu Sekolah Sepakbola (SSB) yang berada di Yogyakarta.
Bagi saya sendiri, berlatih di sebuah SSB memiliki keistimewaan. Bisa bermain di lapangan yang lebih layak dengan rumput hijau serta tiang gawang yang terbuat dari besi benar-benar melambungkan perasaan saya.
Saya bahkan merasa seperti Alessandro Nesta yang dapat melancarkan sliding tackle tanpa khawatir paha atau lutut saya hilang kemulusannya. Selain berlomba-lomba menampilkan aksi individu yang dirasa paling apik, anak-anak SSB juga memiliki misi untuk menjadi anak gawang bagi kesebelasan PSIM Yogyakarta.
Pada saat itu bahkan sampai saat ini, SSB yang telah melahirkan banyak pemain sepakbola profesional tersebut memang punya afiliasi kuat dengan persepakbolaan di kota kota Yogyakarta.
Saya tak ingin memakai istilah sudah jatuh tertimpa tangga, tapi mungkin terlibat sepakbola langsung dalam lapangan bukan pemberian terbaik Tuhan terhadap diri saya sendiri. Selain tak pernah terpilih untuk menjadi anggota skuat utama di SSB itu, saya pun tak pernah merasakan kebahagiaan karena dipilih oleh pengurus untuk menjadi anak gawang di Stadion Mandala Krida.
Padahal, ada perasaan bahagia tersendiri kala menjadi ballboy. Hal itu dimulai ketika mereka berada di lorong yang menghubungkan antara bagian privat stadion dengan lapangan. Para ballboy tersebut akan mendampingi para pemain yang dipercaya oleh para pelatih sebagai starter.
Di situ mereka dapat berbincang langsung dengan para bintang lapangan yang mungkin selama ini hanya dapat dilihat dari tribun penonton yang jaraknya tak sedekat itu.
Kemudian yang tak kalah menyenangkan saat menjadi anak gawang adalah dapat melihat betapa aksi-aksi para pemain mengolah bola di atas lapangan tampak seperti tarian magis yang luar biasa indahnya. Namun tetap saja ada risiko yang mengintai seperti terkena hantaman bola akibat sapuan pemain-pemain yang berada di lapangan.
Umumnya peran seorang ballboy mungkin hanya sekedar membawa bendera fairplay sebelum laga dimulai dan mengambil bola yang keluar lapangan selama pertandingan berlangsung. Kalau ada yang lain, barangkali seperti yang terjadi di Amerika Latin yakni memungut roll paper yang dilemparkan oleh suporter dari tribun ke arah lapangan.
Akan tetapi, dinamika yang terjadi di dalam permainan sepakbola juga memungkinkan ballboy memegang peranan cukup penting. Ballboy bisa berperan langsung terhadap hasil pertandingan dimana ia bertugas. Teranyar adalah kisah kecerdikan seorang bocah berumur 15 tahun yang juga ballboy Tottenham Hotspur, Callum Haynes.
Dirinya jadi salah satu ballboy yang bertugas pada laga Spurs kontra Olympiakos di Liga Champions tengah pekan lalu (27/11). Didasari atas kecintaannya kepada The Lilywhites, Haynes bereaksi cepat dengan menyerahkan bola kepada Serge Aurier yang lantas memberi lemparan ke dalam secara terukur pada Lucas Moura.
Pemain berkebangsaan Brasil itu kemudian mengirim umpan yang berhasil diselesaikan Harry Kane secara paripurna. Spurs pun sukses menyamakan kedudukan menjadi 2-2 sebelum akhirnya menang via skor 4-2.
Tindakan Haynes tersebut membuat dirinya mendapat kebahagiaan ganda. Selain berkontribusi atas kemenangan The Lilywhites, sang ballboy juga turut diundang oleh pelatih Spurs, Jose Mourinho, untuk makan malam bersama skuatnya sebagai bentuk terima kasih.
Walau begitu, cerita tentang ballboy di lapangan sepakbola tak melulu indah. Penggemar Chelsea tentu masih ingat dengan insiden yang melibatkan eks pemain mereka, Eden Hazard, beberapa musim lalu.
Dalam laga kontra Swansea City, Hazard menendang seorang ballboy karena kesal. Sumber kemarahan pemain asal Belgia yang sekarang merumput bareng Real Madrid itu disebabkan sang anak gawang yang bernama Morgan tersebut memeluk bola terlalu lama dan tak kunjung menyerahkannya kepada penggawa The Blues. Saat itu, Chelsea memang tengah tertinggal sehingga ingin mencetak gol sesegera mungkin.
Bahkan megabintang sepakbola asal Portugal, Cristiano Ronaldo, juga pernah menjadi korban keisengan seorang ballboy. Di tahun 2015 silam, tatkala masih berseragam Real Madrid dan tengah bersua Atletico Madrid, seorang ballboy terlihat ingin memberi bola kepada Ronaldo, tapi kenyataannya sang anak gawang tak kunjung menyerahkan bola tersebut.
Beruntung, pemain yang saat ini membela Juventus itu hanya mengeluarkan reaksi tersenyum dan tidak melakukan perbuatan buruk seperti Hazard meski dalam hatinya, mungkin ada rasa kesal yang memuncak.
Pengaruh langsung ballboy terhadap hasil laga memang sangat kecil, tapi keberadaan mereka pada kenyataannya bisa memberi dampak tertentu. Tak perlu kaget andai kisah seperti Haynes akan muncul lagi di masa yang akan datang kendati tak sering.
Menarik juga untuk ditunggu apakah para anak gawang nyeleneh di atas bisa tumbuh dan berkembang jadi pesepakbola profesional dan hebat seperti Trent Alexander-Arnold dan Carlos Tevez. Sebab dari status ballboy, rajutan mimpi jadi pesepakbola profesional itu kerap bermula.