Liga Inggris pekan ke-14 mempertemukan dua peringkat teratas klasemen. Leicester City yang jadi pemuncak klasemen menjamu Manchester United (MU), yang berada di peringkat kedua, di King Power Stadium (29/11). Pertandingan ini berakhir dengan kedudukan 1-1 setelah gol Jamie Vardy dibalas oleh Bastian Schweinsteiger.
Pressing Leicester City
Leicester lebih banyak memulai pressing di sepertiga tengah Manchester United. Jamie Vardy dan Shinji Okazaki menjadi lapis terdepan dari formasi pressing. Keduanya menjadikan Bastian Schweinsteiger serta Michael Carrick sebagai orientasi awal pressing.
Dua gelandang sayap mengawasi dua bek sayap Setan Merah, yaitu Ashley Young di kiri dan Matteo Darmian di kanan. Untuk memastikan mereka mampu mengatasi potensi kekurangan kehadiran pemain, terutama di tengah, karena bermain dengan pola dasar empat gelandang dan dua penyerang. Claudio Ranieri memainkan pergeseran formasi berdasarkan posisi bola berada (ball-oriented shifting-formation) dengan fokus besar di area tengah.
Secara umum, Leicester mampu menjaga kompaksi–pressing mereka melalui skema seperti ini. Vardy, Okazaki, Riyadh Majrez, dan Marc Albrighton merapat ke tengah membentuk blok struktural dengan jarak antarpemain yang saling berdekatan, menghalangi segala niat MU untuk berprogresi melalui area tengah maupun half-space.
Struktur pressing ini menyulitkan MU membangun serangan dari belakang (deep build-up), ditambah lagi MU sendiri mempersulit diri mereka dalam fase ini.
Bagaimana bisa terjadi?
Pertama, dalam banyak situasi deep build-up, ketiga bek tengah MU bermain rapat, sedikit terlalu dalam, dan berdiri pada satu garis lurus. Penempatan posisi ketiga bek yang rapat membuat pengambilan posisi kedua bek sayap MU kurang jauh ke depan. Pada akhirnya, Vardy, Mahrez, Okazaki, dan Albrighton mendapatkan akses pressing yang baik untuk menghambat progresi “bersih” MU.
Ketika Michael Carrick ikut turun ke bawah, untuk menjemput bola, Bastian Schweinsteiger yang berada di pos gelandang tengah akan makin kesulitan karena ia dijepit oleh tiga pemain Leicester; salah satu no. 9 serta kedua no. 6, yaitu Daniel Drinkwater dan N’Kolo Kante.
Lini depan Setan Merah sendiri sudah memposisikan diri dengan ideal dalam fase ini. Wayne Rooney, Anthony Martial, dan Juan Mata sering terlihat masuk ke area antarlini dalam blok struktural Leicester. Tetapi, beberapa kali posisi mereka pun terlalu dekat satu dengan yang lain plus struktur posisional lini kedua dan belakang MU membuat ketiganya terisolasi dan melemahkan konektivitas serangan.
Di sisi lain, walaupun Leicester terlihat mampu mempertahankan kompaksi bentuk, ada saatnya pergeseran formasi mereka sendiri serta pergerakan kombinasi Carrick dan Basti, yang sering membentuk staggering (tidak berdiri dalam satu garis lurus horizontal) mampu membuka celah di antara lini serang dan gelandang The Fox –julukan Leicester.
Dalam momen-momen seperti inilah MU mampu menemukan jalur umpan kepada bek sayap mereka yang berposisi di sayap jauh yang sekaligus membuat anak asuh Louis Van Gaal memiliki akses yang lebih baik untuk berpenetrasi ke sepertiga awal dan kotak penalti Leicester.
Pressing Manchester United
Karena memainkan pola dasar 3-5-2, Louis van Gaal memiliki tiga pemain tengah. Dari tiga pemain tengah ini, Juan Mata merupakan hibrida no. 10 dan no. 9 yang membuat dirinya banyak berdiri di depan dua gelandang tengah lainnya.
Dengan MU yang melakukan pressing blok tinggi, tentu saja riskan bila meminta dua gelandang tengah atau dua bek sayap mereka untuk melakukan penjagaan terhadap bek-bek sayap Leicester, terutama ketika Leicester dalam fase deep build-up.
Untuk tetap memainkan pressing blok tinggi sekaligus menghambat progresi Leicester, van Gaal meminta kedua penyerangnya, Rooney dan Martial bergerak melebar guna menjaga dua bek sayap lawan. Area tengah diisi oleh Mata. Dalam situasi tertentu, salah satu dari Carrick atau Schwensteiger ikut maju, masuk ke lini depan dan menciptakan pola pressing yang berbentuk 3-3-1-3/3-4-3.
Rooney dan Martial memblok jalur umpan Leicester City ke sisi sayap sementara intensitas pressing Carrick atau Basti bergantung pada pergerakan dua no. 6 Leicester yang sering mencoba membantu deep build-up. Contoh, saat Drinkwater turun ke bawah, Basti akan mengikutinya dan mengganggu segala usaha Drinkwater.
Pada gilirannya, sistem pressing kedua tim sama-sama saling menyulitkan lawan. Leicester sendiri, setelah berkali-kali merasa kesulitan untuk keluar dari pressing blok tinggi MU, lebih memilih memainkan bola-bola panjang.
MU juga terlihat sulit mengembangkan deep build-up. Salah satu cara van Gall untuk membuat timnya tetap mampu memainkan deep build-up dan berprogresi dengan umpan-umpan berisiko rendah (umpan pendek), Juan Mata atau Wayne Rooney merupakan dua pemain depan yang ditugaskan masuk ke lini kedua dalam formasi pressing Leicester. Pergerakan keduanya sudah jelas dimaksudkan agar MU mendapatkan akses untuk berprogresi di sekitar area tengah.
Terutama Mata, posisinya sebagai hibrida no. 9 dan 10 sering membantu MU menciptakan ruang. Contoh, seperti yang disebutkan di atas, ketika Basti dan Carrick sukses merusak kompaksi vertikal Leicester dan mengumpan ke sisi jauh ke area sayap kiri Leicester, adalah Mata yang berada di pos 10 dan mengikat lini tengah Leicester.
Penempatan posisi Mata ini yang sedikit menghambat laju pergeseran formasi lawan. Sedikit tapi berharga sebagai bagian dari proses taktikal.
Sulitnya melakukan deep-build up dan menjalankan skema serang “terencana” membuat kedua tim hanya dapat menciptakan gol melalui transisi menyerang cepat dan bola mati.
Tak ada perubahan berarti di babak kedua
Tidak banyak perubahan terlihat pada babak kedua. Dalam beberapa skema penetrasi ke sepertiga awal MU, struktur posisional Leicester memudahkan MU memenangkan perebutan bola dengan menciptakan superioritas jumlah.
Contoh, sebuah momen di menit ke-55. Mahrez masuk dari sisi kiri sementara Young terlanjur berada di depan. Schweinsteiger berlari diagonal untuk melakukan covering yang cepat terhadap pos kosong yang ditinggalkan Young. Ia menjadi presser utama terhadap Mahrez dibantu oleh half-back kiri MU, Daley Blind. Ketika Young sudah kembali ke sayap kiri, MU menjadi unggul dalam hal jumlah 3v1 terhadap Mahrez.
Pemain Leicester lainnya yang tedekat dari Mahrez adalah Okazaki yang dijaga oleh Chris Smalling dan Carrick. Para gelandang tengah Leicester lebih banyak bertugas menjaga kehadiran pemain di area tengah demi berjaga dari transisi serang MU. Tanpa banyak bantuan, Mahrez harus melakukan umpan kembali ke belakang.
Kesimpulan
Nilai skuat antara kedua tim jelas tidak sebanding. Dinilai dari sisi popularitas dan prestasi individu, MU masih jauh lebih unggul. Merupakan sebuah keputusan taktikal yang wajar bila Ranieri memutuskan memainkan sepak bola yang lebih “menunggu”.
Christian Fuchs dan Riyad Mahrez menjadi penampil terbaik. Fuchs mampu secara konstan memberikan sokongan bagus terhadap sisi kiri Leicester. Sementara Mahrez mampu bergerak jauh dari pos awalnya di sisi kanan. Baik untuk menciptakan ruang maupun bergerak masuk ke kotak penalti lawan dan bertindak sebagai eksekutor peluang.
Dari MU, Bastian Schweinsteiger bermain baik. Bertindak sebagai no. 6 dan 8, Schweinsteiger mampu menjaga konektivitas serangan MU dari sayap ke sayap sekaligus menjadi penyokong yang konsisten terhadap sisi sayap MU saat bertahan.
Juan Mata sendiri sering menjadi katalis bagi lini tengah dan depan MU. Pergerakan tanpa bola maupun bolanya membantu tim dalam mempercepat aliran serangan dari belakang ke depan.