Dalam hidup, yang namanya masalah akan selalu datang. Dan yang namanya masalah, hampir selalu menunjukkan rupa yang tak elok. Meski begitu, percayalah, Tuhan Yang Maha Esa, melalui waktu dan segenap proses kehidupan, selalu punya solusi atas setumpuk masalah yang Anda hadapi.
Hal ini juga yang kini sedang menimpa Mauro Icardi, kapten Internazionale Milano. Entah karena kepongahan khas remaja menuju dewasa, atau memang sikap tersebut sudah paten berada dalam dirinya.
Masalah tersebut bermula dari otobiografi Icardi sendiri, yang berjudul Sempre Avanti, La Mia Storia Regreta. Tak tanggung-tanggung, masalah tersebut membuat suami Wanda Nara ini berseteru dengan Curva Nord 69 Inter, basis suporter fanatik kesebelasan yang dibelanya.
Pangkal persoalan antara Icardi dan CN 69 adalah satu insiden setelah Internazionale kalah dari Sassuolo dengan skor 3-1 pada tahun 2015 yang lalu.
Selepas laga, Icardi bersama Fredy Guarin mendatangi tribun. Keduanya berusaha menenangkan tifosi yang marah akibat kekalahan. Icardi lantas memberikan seragam yang dikenakannya kepada seorang bocah yang berdiri di tribun. Namun, pemimpin CN 69 justru merebut dan melemparkan kembali jersey itu kepada Icardi.
Konflik itulah yang kemudian dituangkan Icardi dalam otobiografinya yang baru saja dirilis beberapa hari yang lalu. Icardi bahkan menyebut jika dirinya siap berkelahi dengan pemimpin CN 69, satu lawan satu, karena sikap yang ditunjukkan sang leader (kala itu) sungguh tak beradab.
Lebih lanjut, pemain yang akrab disapa Maurito ini menyatakan jika dirinya juga siap membawa 100 orang preman dari Argentina guna adu jotos dengan anggota CN 69 yang lain, berapa pun jumlah mereka.
Api kemarahan pun menyeruak di kalangan CN 69. Mereka merasa jika apa yang diceritakan Icardi pada bukunya tersebut hanya kebohongan belaka. CN 69 pun kemudian memasang banyak banner ejekan kepada sang pemain kala Internazionale menjamu Cagliari di Stadion Giuseppe Meazza (16/10).
CN 69 sampai menuntut pihak klub untuk mencopot jabatan kapten yang disandang Icardi meski sang pemain telah mengirimkan permohonan maaf melalui akun Instagram pribadinya.
Di laga itu sendiri, I Nerazzurri secara memalukan dan mengenaskan dihempaskan sang tamu dengan skor tipis 1-2. Naasnya, Icardi juga gagal mengonversi penalti menjadi gol. Sungguh, atmosfer pertandingan yang begitu suram bagi tim tuan rumah.
Sehari setelah kekalahan tersebut, pihak klub mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh Icardi, Frank de Boer (pelatih), Piero Ausilio (direktur teknik), dan Javier Zanetti (wakil presiden).
Kontroversi yang melibatkan sang kapten dan tifosinya jadi bahasan utama. Hasil pertemuan itu sendiri memastikan jika Icardi bakal diberi sanksi, wajib meminta maaf kepada tifosi, mencetak ulang biografinya, serta menghilangkan bagian yang menimbulkan masalah. Namun, ban kapten yang melingkar di lengannya tak bakal dicopot.
Keputusan tersebut membuat kubu CN 69 meradang dan menyatakan bahwa “Icardi Sudah Mati” bagi mereka.
Tak peduli berapa banyak gol yang bisa dicetak pemain bernomor punggung 9 itu nantinya, tak peduli seberapa sering Icardi mendatangi Curva Nord guna merayakan gol yang dibuatnya, CN69 takkan pernah berterima kasih kepadanya. Rasa terima kasih CN 69 hanya akan ditujukan kepada I Nerazzurri.
Manajemen Internazionale mungkin juga bakal merutuki diri sendiri lantaran tak ambil bagian dalam proses pembuatan hingga peluncuran biografi Icardi. Khususnya dalam mengontrol yang sepatutnya ada dan tidak di dalam buku tersebut sehingga tak lahir kontroversi tolol macam ini.
Insiden Icardi dan CN 69 ini seolah menambah daftar panjang masalah internal I Nerazzurri. Beberapa pekan lalu, nama Marcelo Brozovic dan Geoffrey Kondogbia yang masuk “buku catatan” masalah.
Brozovic dianggap indisipliner dan menunjukkan sikap yang kurang baik oleh Frank de Boer (FdB). Semuanya bermula dari penampilan Brozo, panggilan akrab si pemain, yang dirasa sang meneer kurang oke saat I Nerazzurri berjumpa Hapoel Beer Sheva di ajang Liga Europa (16/9).
Sang pelatih lantas mengganti gelandang Kroasia tersebut dengan Ever Banega. Kecewa dengan keputusan tersebut, Brozo ingin pergi dari stadion lebih cepat. Sikap ini tak disukai FdB. Alhasil, dirinya “diasingkan” dari skuat dan sama sekali tidak turun di beberapa laga berikutnya.
Saat statusnya tengah dalam posisi tak enak, Brozo justru kembali berulah dengan mengunggah foto bersama pasangannya via Instagram. Gurat kebahagiaan dalam foto tersebut nyatanya berbanding terbalik dengan kondisi Internzionale yang baru saja ditekuk wakil Republik Ceska, Sparta Praha, pada laga di kompetisi Liga Europa (30/9).
Sikap ini memantik reaksi keras dari FdB, sehingga menghukum Brozovic sekali lagi karena dianggap tidak profesional.
Sementara itu, Kondogbia membuat tensi darah FdB makin meninggi karena tak menuruti instruksi sang pelatih kala tampil menghadapi Bologna (25/9).
Dalam game plan yang disusunnya, FdB meminta Kondogbia untuk bermain lebih sederhana. Namun, di atas lapangan, Kondogbia tetap bermain dengan gaya yang biasa ditunjukkannya. Hasilnya, itu justru melahirkan blunder yang menyebabkan I Rossoblu bisa mencuri angka terlebih dahulu via sepakan Mattia Destro di awal pertandingan.
FdB pun bertindak tegas dengan langsung menarik keluar Kondogbia di menit ke-28 dan menggantinya dengan gelandang muda asal Pantai Gading, Assane Gnoukouri.
Upaya Inter mengejar ketertinggalan pada akhirnya sukses tatkala Ivan Perisic menjebol gawang tim tamu. Sayangnya, gol Perisic tersebut jadi satu-satunya gol yang bisa dibuat Internazionale sehingga skor akhir jadi sama kuat, 1-1.
Selayaknya Brozo, Kondogbia mendapat “hukuman” dengan tak pernah masuk starting eleven lagi setelah pertandingan tersebut.
Pasca diakuisisi Suning Group, chaos demi chaos datang silih berganti dan seakan enggan untuk menjauh dari I Nerazzurri. Tentu Anda juga belum lupa jika awal musim ini beberapa pemain Internazionale, lewat agen mereka, menghadirkan riak dengan meminta kenaikan gaji usai dicaplok konsorsium asal Cina tersebut.
Belum lagi keputusan mengganti pelatih hanya dua pekan sebelum Serie A 2016/2017 berlangsung. Segala permasalahan internal yang muncul tersebut pada akhirnya hanya merugikan satu pihak, yakni Internazionale sendiri.
Harus diakui, saat ini Antonio Candreva dkk. sedang dalam kondisi krisis. Posisi mereka di klasemen sementara semakin tercecer lantaran tak pernah lagi memenangi laga sejak bersua Empoli (21/9) silam.
Performa I Nerazzurri di Liga Europa juga terbilang buruk karena duduk di posisi buncit klasemen sementara Grup K sehingga butuh usaha ekstra untuk dapat lolos ke fase selanjutnya.
Ketika mengarungi kompetisi, salah satu kunci yang mesti dimiliki sebuah tim adalah stabilitas. Ibarat kapal yang tengah melintasi samudera luas, stabilitas merupakan syarat utama yang mesti dimiliki agar kapal tak langsung tenggelam begitu diterjang ombak besar dan tak buru-buru karam saat diterpa angin kencang.
Di ranah sepak bola, elemen yang punya andil perihal stabilitas tersebut bukan beberapa saja, melainkan semua pihak. Dalam hal ini adalah manajemen klub, staf kepelatihan, para pemain, dan tentu saja suporter.
Sinergi dari keempat elemen tersebut dibutuhkan agar klub tak keluar dari jalur yang seharusnya ditempuh. Supaya target-target yang disasar juga bisa diraih dan masalah-masalah internal bisa dihindari. Bila ada satu elemen saja yang bermasalah, maka jangan kaget bila stabilitas klub akan terganggu dan performa di atas lapangan menukik drastis.
Kini, sudah sepantasnya beberapa elemen yang membuat Internazionale goyah tersebut kembali bersatu, entah bagaimana caranya. Menepikan ego masing-masing dan mendahulukan kepentingan klub merupakan harga mati yang tak bisa ditawar lagi.
Bila tak sanggup, jangankan untuk menyamai level Juventus yang untouchable itu, sekadar keinginan untuk bersaing dengan AC Milan, AS Roma, Napoli, dan bahkan Torino (yang kini nyaman nangkring di peringkat empat klasemen sementara) guna memperebutkan tiket Liga Champions saja mesti segera dibuang jauh-jauh.
#SolaNonLaLascioMai