“Apa senangnya main petasan? Petasan adalah perkara buang-buang uang, nak!”
Setidaknya doktrin macam itulah yang saya kenang pernah ibu saya katakan. Terutama jika saya sudah kepergok bermain petasan di daerah dekat masjid setelah sebelumnya dipergoki adegan kejar-kejaran antara saya, teman-teman, dan marbot masjid yang galak seperti di film-film.
Ibu saya bisa marah betul, meski ia bukanlah seorang pemarah. Ia seakan menyiapkan ruang khusus dalam kemarahannya guna membicarakan tentang bahaya petasan sebagai bukti cintanya – yang sungguh sangat menyebalkan didengar oleh anak kecil seperti saya pada masa itu.
Dan setelahnya, tentu saya akan ditarik pulang, dan saya sudah merinding sendiri harus melihat ibu saya mengamuk karena satu hal yang benar-benar tak ia suka ini.
Jika sudah kepergok, ia akan mewanti-wanti saja untuk berhenti dengan berbagai cara setibanya di rumah. Narasi bersifat satu arah, sehingga pilihan saya hanya membanting pintu kamar sekeras-kerasnya untuk menunjukkan ketidaksukaan saya. Dalam narasi itu, ibu saya akan bercerita banyak hal.
Mulai dari bercerita panjang lebar tentang Ramadan yang hanya setahun sekali sehingga harus saya manfaatkan sebaik-baiknya. Atau memikirkan citra baik kakek saya, yang saat itu, masih seorang bendahara masjid.
Dan selalu diakhiri dengan ultimatum yang membuat saya ngeri setelahnya: tak memperbolehkan saya tarawih lagi –yang notabene sesungguhnya hanya kedok untuk bermain pada malam hari– dan menutup segala kans untuk uang jajan apalagi tunjangan hari raya (THR). Sangat seram, bagi anak kecil seperti saya.
Petasan memang menyeramkan, harus saya akui setelah saya tumbuh dewasa. Berita mengenai rumah terbakar pernah saya dengar. Paha teman masa kecil saya pernah luka hingga menghitam akibat kami saling melempar petasan.
Bagi orang-orang yang di masjid apalagi, perusak kekhusyukan yang membuat siapa pun yang di dalam harus ngedumel. Maka dari itu, di kompleks saya, petasan dilarang diperjual-belikan.
Tapi, ya begitu, seru. Bagi mereka yang masih menghidupi jiwa kebebasan dalam diri mereka, menantang bahaya memang seringkali seru.
Aneh saja bagi saya, orang tua seperti ibu, memandang saya saat masih kecil, termasuk marbot masjid yang hubungannya benci-tapi-cinta jika urusannya dengan petasan. Dan lebih aneh lagi dari mana petasan bisa muncul secara ajaib dan diperjual-belikan secara rahasia.
Sengaja membiarkan anak kecil seperti saya akan tetap dalam ego untuk memandang orang tua tak seru, tak asyik, yang kerjanya hanya marah-marah. Kami ingin merayakan Ramadan dengan cara kami sendiri.
Maka, hubungan benci-tapi-cinta ini terus berlangsung tiap Ramadan tiba. Benci tapi cinta bagi anak kecil, tentu saja, namun sangat menyebalkan bagi orang tua.
Orang tua selalu berharap, setidaknya kami dapat duduk khidmat tanpa harus ribut-ribut dengan bunyi petasan di area masjid. Tadarus kalau bisa sehabis tarawih.
Sementara bagi kami? Kami ingin membakar petasan terus-terusan, tanpa peduli waktu, yang jelas selama Ramadan tiba demi kesenangan kami sendiri.
Hubungan benci tapi cinta ini setidaknya berlangsung hingga saat ini. Mau dibasmi bagaimanapun rantai petasan, pasti selalu bisa lolos. Mau sebanyak apa pun berita tentang sweeping petasan di bulan puasa, namun tetap saja bunyi-bunyi ledakan terdengar di setiap sudut perkampungan.
Selaras dengan petasan, flare atau suar bagi fans sepak bola memang tampak seperti itu pula. Terutama jika mengacu pada kasus Kroasia, di mana suar berhasil lolos – dan menguak lemahnya keamanan Prancis setelah sebelumnya ada insiden perkelahian antarsuporter yang tak dapat dihindari.
Suar (flare) dan sepak bola menyajikan hubungan yang menarik dan menyenangkan untuk dibahas. Ia adalah wujud mencintai sepak bola yang sangat kontras, bagi mereka yang melakukannya.
Ia akan memberikan atmosfir magis, setelah teriakan-teriakan fans di lapangan, beserta kebersamaan fans yang jelas tak dapat dideskripsikan dengan kata-kata.
Setidaknya, itu yang saya pahami saat membakar suar ketika Liverpool tur ke Jakarta pada tahun 2013, atau saat fans klub bola menyimulasikan suasana nonton bola di lapangan di venue nonbar dengan suar-suar mereka, dan di televisi serta di internet perihal sensasi luar biasa membakar flare.
Biasanya, suar akan dinyalakan dalam berbagai situasi: saat suporter berusaha mengintimidasi lawan dengan saling mengintimkan satu sama lain, saat gol bagi tim telah datang, atau jika ada sebuah pesan resistensi terhadap suatu hal.
Dalam mengintimidasi lawan, Liverpool pernah melakukannya saat (jangan tertawa) hampir juara pada musim 2013/2014. Saat gol datang, ini cukup lumrah dalam derby days, meski tak melulu harus laga derby.
Ataupun yang ketiga, yang kini sedang dilakukan oleh fans Kroasia sebagai bentuk protes mereka kepak bola mereka yang dipimipin dengan oleh orang yang korupnya setara dengan Nurdin Halid di PSSI dulu.
Dan kesamaannya dengan anak kecil yang membakar petasan, ini dilakukan karena mau saja sebenarnya. Suar kemudian menjadi simbol kreativitas, kebebasan, dan kebersamaan antarsuporter.
Video mengenai ultras yang menyalakan suar, seperti ultrAslan – ultras Galatasaray – selalu menjadi viral dan menjadi kebanggaan bagi penggemar sepak bola. Dengan argumentasi bernada mengejek terhadap kultur Amerika, yang dianggap tak mengerti bagaimana mencintai sebuah olahraga tentu saja.
Jelas suar berbahaya. Dalam pengalaman pribadi menyaksikan di tempat nonbar atau membakar suar di lapangan langsung misalnya, tak jarang ada orang yang akan batuk-batuk hingga sesak nafas.
Ada pula yang tak sengaja terbakar api suar. Sehingga membutuhkan oxy-can karena kurangnya asupan oksigen ke paru-paru.
Dengan alasan keamanan dan kesehatan, Federasi pun melarang suar. Pula seringkali jika Anda menyaksikan laga sepak bola Indonesia bertanding dan suar menyala, komentator akan bergumam begini, “ini aib bagi sepak bola kita bung,” tentu dengan argumen ala kadarnya.
Kendati demikian, adakah kiranya budaya membakar suar ini hilang?
Sama seperti anak kecil yang akan selalu menemukan jalan membeli petasan, suar akan selalu hidup, setidaknya itu keyakinan saya.
Banyak kisah keamanan mudah saja dikibuli untuk membawa flare masuk ke stadion. Keamanan setara Euro saja bisa lolos, apalagi keamanan di kompetisi Indonesia?
Suporter tak akan begitu saja bersedia meletakkan flare dengan ancaman sanksi atau dengan rangkaian kata-kata bijak. Apalagi ketika kampanye #NoPyroNoParty ini telah dikampanyekan di mana-mana. Kurang bola kalau tak ada suar, bos.
Akan tetapi, meski saya senang dan tak keberatan menyaksikan budaya membakar suar dalam sepak bola, saya tetap saja kagum dengan fans yang rela tak membakar suar.
Ya, tentu saja jika suporter suatu tim berhasil menemukan cara lainnya untuk menghargai aturan pelarangan suar ini. Menghormati untuk tak menyalakan suar dan mencari jalur kreativitas lainnya, seperti dengan koreo atau bernyanyi. Sesuatu yang rasanya tetap bernuansa “sangat sepak bola”.