Arsenal dan Narasi Tentang Krisis Identitas

Skor 2-0 merangkum hasil akhir dari pertandingan Leicester City melawan Arsenal 10 November 2019 kemarin. Hasil tersebut semakin memperpanjang catatan The Gunners yang tidak pernah menang dalam 5 pertandingan terakhir.

Terlihat raut kekecewaan dari para pemain di atas lapangan, berganti gestur Unai Emery yang memandang lapangan dengan tatapan kosong dan penuh nanar. Sementara di tribun, tampak raut penuh kemarahan yang coba dipendam oleh para fans Meriam London kendati sudah bersabar sepanjang pertandingan berlangsung.

Laga tersebut seolah merangkum semua masalah Arsenal di dalam lapangan. Permainan yang monoton dan tidak menggairahkan untuk mengejar kemenangan. Tentu semua pihak mengarahkan telunjuknya kepada Emery karena sang pelatih dianggap sebagai kambing hitam dan  tidak becus dalam meracik strategi.

Performa angin-anginan sejauh ini seperti menambah kemuraman menahun pada wajah The Gunners. Situasi di tubuh klub yang berkandang di Stadion Emirates itu memang pelik sekali.

Inkonsistensi permainan, kapten yang dianggap tidak kompeten, relasi antar pemain dan pelatih yang tidak harmonis hingga sang owner yang memanfaatkan  klub London Utara tersebut hanya sebagai sapi perah buat mengeruk pundi-pundi uang. Masa depan yang cerah, seakan sulit digenggam.

Payahnya penampilan Arsenal membuat rumor pergantian pelatih mengemuka. Tanda pagar #EmeyOut pun begitu ramai di media sosial. Bukti jika fans Meriam London sudah gerah.

Dan dirumorkan manajemen memutuskan akan mendepak sang pelatih sebagai langkah untuk menyelamatkan klub. Nama Jose Mourinho sempat diisukan sebagai sosok yang patut diburu. Namun beberapa hari lalu, The Special One baru saja menerima pinangan Tottenham Hotspur, rival sewilayah Arsenal.

Kenyataan itu membuat rumor berbelok kepada Mauricio Pochettino, sosok yang Mourinho gantikan posisinya. Bekas pelatih Espanyol dan Southampton tersebut dinilai punya kemampuan taktis yang lebih baik daripada Emery sehingga potensi untuk melihat The Gunners yang lebih gahar pun mengemuka. Peduli setan bahwa dirinya adalah alumni Spurs. Andai Pochettino bisa mendapat gelar juara bareng Arsenal, mengejek The Lilywhites jadi terasa makin nikmat, bukan?

BACA JUGA:  Fantasia, Furbizia, dan Sepakbola yang Mencintai Italia

Di luar dari semua itu, permintaan fans Arsenal untuk mengganti pelatih, sekali lagi, membuktikan bahwa klub kesayangan mereka tengah mengalami krisis identitas. Sebuah hal yang sudah muncul semenjak pengujung era Arsene Wenger.

Banyak sekali klub olahraga yang pernah atau sedang terjerembab dalam fase ini. Klub-klub tersebut dulunya punya identitas sebagai tim bermental juara, rajin memeluk trofi, konsisten bertengger di papan atas klasemen serta bermain di ajang antarklub teratas benua biru, beramunisikan pemain dan pelatih papan atas, dan tentu saja memiliki gaya bermain yang memikat penonton.

Seperti arti kata identitas sendiri yang menurut Stella Ting Toomey berarti cerminan atau refleksi suatu pihak yang dipengaruhi berbagai latar belakang, ciri khas, dan sifat, identitas mereka direpresentasikan dengan raihan prestasi dan kekuatan klub tersebut sebagai raksasa sepakbola.

Akan tetapi, setelah melewati fase kejayaan, mereka perlahan jatuh ke dalam kubangan mediokritas. Krisis finansial, trofi yang semakin seret, mental juara yang perlahan terkikis, hingga para pemain atau pelatih andalan yang satu per satu hengkang, menjadi beberapa faktor kenapa mereka mulai kehilangan jati diri dan sulit mengulang kisah kejayaan mereka di masa lalu.

Ditambah juga karena klub mengambil jalan pintas untuk kembali meraih kejayaan yang sayangnya diambil tanpa keputusan matang sehingga malah merugikan klub itu sendiri. Padahal identitas yang mereka bangun menjadi pondasi atau petunjuk untuk mengarahkan klub tersebut di masa depan. Kehilangan identitas sama saja kehilangan masa depan dari klub itu sendiri.

Permainan menyerang nan menarik, filosofi yang modern dan revolusioner, fokus pada pengembangan pemain muda terutama dari akademi, hingga filosofi Victory Through Harmony yang termahsyur itu adalah wajah Arsenal. Identitas yang membawa mereka ke puncak dan meraih berbagai trofi serta membuat klub selangkah lebih maju pada zamannya.

BACA JUGA:  Jangan Main-main dengan Nama Elneny

Di tangan Wenger, Arsenal tidak hanya merevolusi taktik sepakbola, tapi juga faktor-faktor penunjang lain yang berpengaruh di seantero dunia dan yang terpenting adalah terbentuknya kebersamaan yang ditanam selama bertahun-tahun dan mengokohkan tim.

Kini, Arsenal bak seorang Anak Baru Gede (ABG) yang sedang mencari jati diri. Meraba kembali fondasi yang mulai hilang tersebut. Klub yang sempat dianggap sebagai pionir modernitas sepakbola, kini malah stagnan dan berjalan tak tentu arah.

Arsenal pun harus rela ketinggalan langkah dari klub-klub lain macam Chelsea, Liverpool dan Manchester City yang sering mereka anggap sebagai klub instan beramunisikan fulus dari sang pemilik tanpa mengerti arti sebuah proses.

Sudah memasuki musim kedua sejak tampuk kepelatihan dipegang oleh Emery. Namun mantan pembesut Sevilla dan Valencia yang diharapkan bisa membawa Arsenal keluar dari fase stagnansi justru belum menunjukkan tanda-tanda menggembirakan.

The Gunners malah didera berbagai masalah, baik di luar maupun di dalam lapangan. Manajemen Arsenal wajib mengambil tindakan agar preseden macam ini tak menggerogoti tim dari sektor internal. Walau mereka berusaha ‘menutup telinga’ selama mungkin, tentu hasil di lapangan maupun protes dari para suporter akan semakin terdengar.

Hanya ada dua pilihan bagi Meriam London, bangkit dari masa kelam atau bertahan dengan stagnansi yang melingkupi. Mengikuti jejak Juventus atau mengekori langkah Nottingham Forest.

 

Komentar
Seorang desainer grafis asal Yogyakarta yang menggemari sepakbola, buku, dan berkhayal. Suka berimajinasi dan menuangkannya melalui karya visual maupun karya tulis. Bisa dihubungi melalui Twitter di akun @pradipta_ale dan Instagram di akun @pradiptale untuk melihat karyanya.