Liga 1 Putri 2019 resmi bergulir, pertandingan pertama sekaligus pembuka antara PSS Sleman melawan PS Tira-Persikabo (5/10) menjadi sejarah yang akan dicatat hingga masa-masa yang akan datang. Kembalinya sepakbola perempuan di Indonesia dinilai positif bagi perkembangan olahraga sebelas lawan sebelas tersebut.
Sejarah mencatat, sepakbola perempuan Indonesia pernah menjadi Macan Asia pada era 1970 sampai 1980-an. Muthia Datau, legenda sepakbola perempuan Indonesia, dan kawan-kawan pernah membawa Indonesia meraih posisi keempat pada AFF Women’s Championship 1977 di Taiwan.
Nahasnya, ingar-bingar sepakbola perempuan dari Indonesia tidak pernah terdengar lagi kiprahnya di kancah internasional (Historia–Sepakbola Tanpa Batas Gender) setelah itu.
Sepakbola perempuan masih menjadi sesuatu yang tabu bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Tomboi adalah sebutan yang paling sering ditujukan kepada para perempuan yang bermain sepakbola. Selain itu, sebagai olahraga yang menuntut kekuatan fisik dan cenderung keras, sepakbola dianggap tidak sesuai dengan fisik perempuan yang oleh banyak orang dianggap lemah.
Sebagai olahraga yang didominasi kaum laki-laki, bagaimana masyarakat Indonesia melihat keterlibatan perempuan di dalamnya? Adakah kaitannya dengan kesetaraan gender? Apakah ini upaya dari gerakan feminisme di Indonesia?
Dalam “Konstruksi Sosial Sepakbola Perempuan (Studi Deskriptif Pemain Sepakbola Perempuan di Surabaya (2016)”, Aditya Wicaksana W.P memaparkan hasil wawancaranya yaitu pemain sepakbola perempuan mengkonstruksi sepakbola sebagai olahraga yang menyenangkan dan memiliki tantangan. Mayoritas dari mereka tidak setuju jika sepakbola diidentikkan dengan olahraga kaum laki-laki saja. Mereka berkeyakinan bahwa olahraga tidak membatasai jenis kelamin dan perempuan juga memiliki hak untuk bermain sepakbola.
Untuk menjelaskan gambaran umum feminisme, saya mengutip buku “Fiqh Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender” karya KH. Husein Muhammad.
Menurutnya, kebudayaan patriarki memapankan peran laki-laki untuk melakukan dan menentukan apa saja, yang disadari atau tidak, mendapatkan pembenaran atas apa yang dilakukannya.
Sebaliknya, kaum perempuan berada dalam posisi subordinat bagi kaum laki-laki sehingga membatasi ruang gerak kaum perempuan. Keadaan ini seringkali terbukti melahirkan sebuah proses marginalisasi, bahkan eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Secara umum, orang melihat perempuan sebagai makhluk yang lemah, sedangkan laki-laki kuat. Perempuan adalah makhluk yang emosional sementara laki-laki makhluk rasional. Perempuan halus sedangkan laki-laki kasar dan seterusnya. Masyarakat umum meyakini hal tersebut sebagai ketentuan kodrat, sedangkan kaum feminis melihat itu sebagai konstruksi sosial.
Pemikiran-pemikiran patriarki tersebut membatasi ruang gerak perempuan. Begitu juga saat perempuan terlibat langsung dalam sepakbola. Stereotip yang muncul adalah sepakbola akan membuat perempuan menjadi laki-laki, membahayakan kesehatan dan tidak memiliki kemampuan.
Salah seorang responden yang diwawancarai Aditya Wicaksana adalah EU, mahasiswa Universitas Airlangga, Surabaya. Menurutnya, EU mendapat pengaruh karena saudara laki-lakinya menyukai olahraga. Akan tetapi, EU mendapat larangan dari orang tuanya dengan alasan perempuan tidak cocok untuk bermain sepakbola karena tidak sesuai dengan budaya masyarakat Jawa, nyeleneh, tidak elok, melawan kodrat dan sebagainya.
Contoh kasus di atas, mungkin saja tidak dialami oleh EU. Namun perlakuan tersebut hampir dialami oleh pemain sepakbola perempuan Indonesia pada umumnya. Hal ini disebabkan kentalnya kultur patriarki dalam kebudayaan Indonesia.
Feminisme secara umum adalah sebuah gerakan yang menuntut emansipasi atau kesetaraan dan keadilan hak kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Perlu dicatat, gender dan jenis kelamin adalah dua hal yang berbeda. Menurut Wardhani (2005) gender adalah hasil konstruksi sosial yang bersifat sosiologis. Di sisi lain, jenis kelamin merupakan sesuatu yang diberikan sejak lahir oleh Tuhan.
Asumsi utamanya adalah konstruksi sosial menyebabkan perempuan dibatasi ruang geraknya oleh sistem patriarki. Sebagai sebuah teori sosial, gerakan feminisme tentu saja mengalami kritik dan pertentangan.
Di Indonesia, gerakan feminis diidentikkan sebagai gerakan kebencian terhadap laki-laki, anti laki-laki, lesbian dan sebagainya. Bahkan muncul gerakan Indonesia Tanpa Feminis. Padahal dalam sejarah kita, Raden Ajeng Kartini dinilai sebagai tokoh feminisme. Apakah gerakan melawan stigma sepakbola hanya untuk laki-laki itu telah ‘menang’ di Indonesia?
Terlepas dari itu semua, geliat sepakbola perempuan yang kembali muncul di Indonesia merupakan hal yang, sejatinya, cukup menggembirakan. Apalagi secara global, olahraga ini sudah mendapat tempat di hati publik. Induk organisasi sepakbola dunia (FIFA) bahkan sudah punya gelaran Piala Dunia Wanita yang amat prestisius bagi para pesepakbola perempuan.
Para pesepakbola perempuan Indonesia tentu boleh bermimpi untuk berlaga di sana, bukan?
Melihat bagaimana respons masyarakat Indonesia secara keseluruhan atas hadirnya Liga 1 Putri adalah suatu hal yang menarik. Akankah kompetisi ini dipandang sebagai sesuatu yang apik dan bisa diterima atau nantinya malah dianggap sebagai pemicu kontroversi?
Di sisi lain, kita pun wajib memperhatikan bagaimana federasi sepakbola Indonesia (PSSI) menyelenggarakan Liga 1 Putri. Akankah berkelanjutan atau kemudian mati di tengah jalan tanpa kepastian?