Mimpi itu tisu toilet. Putih. Bersih. Lalu dilumuri tai. Kemudian berujung di kubangan.
Jadi mimpi adalah suatu rentetan geostasioner dari apa-apa yang dipikirkan manusia dalam merangkai subatomic dalam pikiran lalu berakselerasi melalui proses-proses metaanatomis dan metafisiologis yang sangat efisien kemudian terdekolarisasi sedemikian sehingga seluruh pikiran manusia menjadi setimbang dan berlumuran tai.
Atau mari kita sederhanakan saja menjadi: mimpi adalah sesuatu angan yang berlumuran tai (dan kerap berujung di kubangan) namun masih saja kalian perjuangkan untuk mengiyakan pernyataan motivator yang sering menganjurkan kita untuk tidak boleh takut bermimpi.
Lantas, apa namanya sesuatu yang selalu kita idamkan namun tak pernah berlumuran tai? Entahlah. Kurang tahu juga aku. Tapi yang jelas, itu bukan mimpi.
Aku pernah bermimpi untuk pergi ke Paris. Betapa indahnya kota itu. Kota seni, katanya. Kota yang romantis, katanya. Pusatnya ilmu pengetahuan. Pusatnya mode dan pusat-pusat yang lainnya.
Ah… sudah barang tentu kalian semua tahu tentang semua yang indah-indah soal Paris, kan?
Pernah juga aku bermimpi untuk pergi ke Liverpool. Menonton kesebelasan kesayanganku secara langsung di Anfield.
Untuk mimpi yang satu ini, aku mulai merangkainya jauh sebelum aku merangkai mimpi-mimpiku untuk pergi ke Paris dan duduk di samping sungai-sungai yang ada di sana sambil menikmati roti lapis bersama pasanganku.
Lewat poster yang aku dapat dari sebuah majalah olahraga tersebut, aku mulai merangkai mimpiku. Setiap malam, sebelum aku tidur, selalu kupandangi gambar stadion itu.
Awalnya aku mulai membayangkan bagaimana rasanya bisa menyaksikan pertandingan secara langsung di sana. Pasti rasanya tak seperti menyaksikan Mataram Indocement di Mandala Krida, di mana tak akan ada orang menonton pertandingan sambil menenteng radio dan mendengarkan siaran pertandingan. Tak akan ada juga orang-orang yang membuka rantang berisi bekal makanan saat pertandingan berlangsung.
Aku juga mulai menerka-nerka, apa saja yang dijual pedagang asongan di Anfield. Pasti tak ada yang menjual tahu dan air mineral. Rasa-rasanya tak ada juga yang menjual bakpao keliling di Inggris sana.
Begitu pikirku.
Bagiku, Mandala Krida dan Mataram Indocement adalah kawah candradimuka sepakbola. Kali pertama aku pergi ke stadion, ya, ke Mandala Krida. Menyaksikan pertandingan Mataram Indocement bersama ayahku.
Sebenarnya, aku lupa-lupa juga dengan pertandingan pertamaku itu. Yang jelas aku ingat, hanyalah kegigihan ayahku yang menggenjot sepedanya sambil memboncengkanku dari Sleman menuju Mandala Krida sembari bercerita tentang hebatnya Mataram Indocement kala itu.
Betapa indahnya waktu itu.
Aku juga masih ingat betul tentang trik menghalau hujan saat menonton pertandingan bola yang diajarkan ayahku.
“Sini ikut Bapak, ke belakang. Hujan mulai turun,” begitu kata ayahku.
Lalu aku mengikutinya menuju tribun paling atas.
“Jadi ingat, Le. Kalau hujan sudah mulai turun, kau harus menempelkan tubuhmu ke dinding stadion. Agar tak terlalu basah-basah amat,” pesannya.
Trik itu masih aku pegang teguh. Aku selalu melaksanakan pesan ayahku tersebut sampai hari ini. Sebuah pesan sederhana namun mengena. Indah dan tak berlumuran tai.
Tahu kenapa hal semacam itu terasa begitu indah dan sangat mengena sampai-sampai masih saja aku ingat sampai hari ini? Semata karena aku tak pernah memimpikan hal-hal yang demikian sebelumnya. Semua berjalan spontan. Mengalir begitu saja dan tak perlu melewati proses pengandaian.
Dan, ya, karena mimpi itu selalu berjalan beriringan dengan bau busuk, sedikit-banyak aku selalu menjaga jarak dengan mimpi-mimpiku sendiri. Itu sebabnya, meski aku pernah tinggal di Eropa, dan begitu dekat dengan Paris dan Liverpool, aku belum berani untuk merealisasikan mimpi-mimpi itu.
Aku biarkan saja mimpi-mimpi itu mengambang dan (tampaknya) tak akan kugapai dalam waktu dekat. Lagi pula, ketika mimpi-mimpiku itu kuraih dengan begitu cepat, aku akan menjadi takut untuk bermimpi lalu berujung tak punya motivasi dalam menjalani hidup.
Sebenarnya, sih, bisa juga aku gapai mimpi-mimpi itu beberapa waktu lalu. Dan kemudian aku mulai merangkai mimpi-mimpi baru lagi. Namun, sampai detik ini, aku tak mampu menambah tai-tai baru dalam hidupku. Karenanya, aku lebih memilih menggantung mimpi-mimpiku yang lalu-lalu. Hidup dengan terlalu banyak angan itu berat, Kawan!
Ada lagi mimpiku yang lain. Ini yang paling baru: aku ingin menyaksikan Liverpool untuk menjuarai Liga Champions setelah 13 tahun puasa gelar.
Jelas aku terlalu memaksakan untuk merealisasikan mimpiku yang satu ini, aku harus mempersiapkan uang yang tak sedikit, ini dan itu yang tak sedikit pula. Tapi, apa hasilnya?
Sedikit-banyak menyesal juga aku, karena telah memaksakan mimpi tersebut. Pasalnya, walaupun sebenarnya aku tahu kalau akan berujung di kubangan, kupaksakan juga mimpi itu beberapa waktu lalu.
Hasilnya? Seperti yang sudah aku perkirakan: mimpiku berujung di kubangan setelah sebelumnya berlumuran tai. Liverpool kalah. Dan aku menyaksikannya secara langsung, di kota antah berantah, di tanah yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Nah, kini, saat Piala Dunia tiba, tentu kita semua selalu bermimpi: kapan kiranya Indonesia bisa ikut serta dalam pesta termegah di jagad sepakbola?
Dari tahun ke tahun, kita selalu menjaga mimpi itu. Seakan kita punya asa yang tak pernah habis untuk memimpikan hal yang seperti itu. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Soalnya, memang tak ada habisnya asa itu.
Mimpi yang satu ini cukup mengherankan, mengingat sepakbolamu, sepakbolaku, dan sepakbola kita semua itu sudah berlumur tai sejak masih dalam realita! Lantas, apa bentuknya mimpi untuk menyaksikan timnas Indonesia bermain di pentas Piala Dunia. Uhh… pasti sangat berlumuran tai. Menjijikan!
Suka tak suka, memang begitulah sepakbola Indonesia. Berlumuran tai.Jadi kendaraan politisi. Jual-beli pertandingan di sana-sini. Liga yang diatur dengan seenaknya sendiri. Ganti logo saban tahun. Ganti nama dengan mudahnya. Juaranya bisa dimanipulasi. Dan banyak tai-tai lainnya, yang tak akan habis kita bicarakan dalam waktu 32 tahun 15 hari 38 jam 14 detik.
Intinya, sepakbola kita sudah rumit sejak belum dimainkan. Lebih rumit dan tak bisa disederhanakan. Bahkan, rasa-rasanya akan lebih mudah untuk menyederhanakan teori relativitas Einstein ketimbang menyederhanakan kehidupan persepakbolaan Indonesia.
Lantas, mengapa masih saja terus bermimpi untuk melihat Indonesia tampil di Piala Dunia?
Jadi, ya sudah, ada baiknya, dalam setiap edisi Piala Dunia, mari kita duduk manis saja dulu di depan teve. Menyaksikan mimpi-mimpi negara lain, menyaksikan mimpi-mimpi masyarakat dari 32 negara peserta Piala Dunia. Mimpi-mimpi yang banyak tainya itu.
Di depan teve –sambil menyaksikan pertandingan Piala Dunia—kita akan mendapatkan hiburan yang benar-benar hakiki. Bisa menertawai mimpi 31 negara peserta Piala Dunia yang berlumuran tai. Mimpi 31 negara yang berujung ke kubangan, karena harus rela melihat satu negara peserta keluar sebagai juara.
Sungguh menyenangkan, kita bisa menertawai mimpi-mimpi orang tanpa ada yang melarang. Kita semua akan terhibur, dan sedikit-banyak bisa melupakan tai-tainya sepakbola Indonesia.
Bukankah, menertawakan kesialan orang-orang memang menjadi pekerjaan yang paling menyenangkan di dunia. Pekerjaan yang menyenangkan tanpa harus mendaftar di Jobstreet.
Lantas, kalau saja Piala Dunia tetap menyenangkan tanpa ada nama Indonesia di dalamnya, kenapa mesti kita paksakan? Toh, ada atau tidak ada nama Indonesia, Piala Dunia tak akanada bedanya.
Oh, sungguh menyenangkan!
Oke.. baiklah. Tapi menyaksikan Indonesia di pentas Piala Dunia juga mengasyikkan.
jika kalian masih memaksakan mimpi dan asa untuk menyaksikan Indonesia berlaga di pentas dunia, aku tak akan melarangnya. Itu hak kalian. Akan tetapi, sebelum mimpi-mimpi itu kian berlumur tai, ada baiknya kalian bersihkan dulu tai-tai yang menempel pada sepakbola kita, agar mimpi untuk melihat Indonesia bermain di pentas Piala Dunia tak terlalu berlumur tai di kemudian hari.
Pekerjaan membereskan tai di sepakbola Indonesia ini tak bisa kita pindah-tangankan. Ini adalah pekerjaan rumah kita semua. Menjijikkan dan membuat kita malas, memang. Tapi mau bagaimana lagi, Cuma itu yang bisa kita lakukan agar sepakbola kita bebas dari kotoran.
Dan ketika, kalian sedang berjuang keras dalam membersihkan tai-tai yang menempel pada realita sepakbola Indonesia, yakinlah bahwasanya aku juga sedang berjuang bersama kalian untuk membersihkan tai kering yang terus menempel pada sepakbola kita.