Menyoal Penghentian Ligue 1 2019/2020

Pandemi Corona yang terjadi di seluruh dunia membuat banyak aktivitas, khususnya di luar ruangan, lumpuh seketika. Tak terkecuali kompetisi sepakbola profesional di Prancis, mulai dari Ligue 1 hingga ajang-ajang di bawahnya. Alhasil, para pemain dipaksa berlatih di rumah saja untuk tetap menjaga kebugaran fisiknya walau kelanjutan kompetisi belum diketahui.

Apa yang terjadi saat ini memang di luar ekspektasi. Fokus pihak otoritas liga pun bergeser ke kesehatan para pemain, pelatih serta suporter sepakbola yang keberadaannya di stadion, andai liga tetap digulirkan, memperbesar peluang sebaran Corona yang begitu masif.

Berdasarkan data worldometers per 23 Mei 2020, Prancis merupakan salah satu negara dengan kasus Corona tertinggi di Eropa. Ada 182 ribu kasus yang terjadi dengan jumlah pasien sembuh mencapai 64 ribu orang dan pasien wafat menembus angka 28 ribu orang.

Usai menimbang berbagai hal, sebuah keputusan penting akhirnya dibuat. Tertanggal 30 April 2020, Perdana Menteri Prancis, Eduoard Philippe, lewat sebuah pidato di Majelis Nasional mengetuk palu dan memutuskan bahwa kompetisi olahraga di Prancis, termasuk sepakbola, harus dihentikan guna menekan adanya kerumunan massa dalam jumlah besar.

Federasi sepakbola Prancis (FFF) dan otoritas liga (LFP) pun tunduk dengan keputusan tersebut sehingga menghentikan kompetisi Ligue 1 dan di bawahnya. Menariknya, keputusan ini tak menyenangkan semua pihak. Faktanya, ada yang merasa gembira, tapi ada juga yang merasa kecewa dengan FFF serta LFP karena dianggap terburu-buru dalam membuat keputusan.

Paris Saint-Germain (PSG) adalah kubu yang teramat gembira karena FFF dan LFP mendapuk mereka sebagai kampiun Ligue 1 musim 2019/2020. Berbeda dengan sejumlah kompetisi lain yang menimbang apakah tim pemuncak klasemen sebelum kompetisi dihentikan berhak atas gelar juara atau tidak, FFF melalui presidennya, Noel Le Graet, menekan LFP untuk membuat keputusan bahwa Ligue 1 musim ini wajib memiliki juara.

BACA JUGA:  Mengagumi Ezequiel Gonzales

Nathalie Boy de la Tour, pimpinan LFP, seperti yang dilansir Les Echos mengatakan bahwa keputusan untuk menghentikan Ligue 1 secara hukum telah solid dan tidak ambigu. Hal ini menjawab permintaan beberapa figur sepakbola Prancis yang mendesak bahwa sebelum liga dihentikan, perlu diadakan voting di Majelis Umum LFP.

Dari 27 pertandingan yang sudah dijalani, PSG memang duduk manis di puncak klasemen via koleksi 68 poin. Mereka unggul jauh dari sang rival bebuyutan, Olympique Marseille, yang membayangi di peringkat dua berbekal 56 poin dari 28 laga.

Mempertimbangkan selisih angka yang jauh inilah serta rerata poin yang didapatkan dari seluruh pertandingan yang telah dijalani, pihak FFF dan LFP memilih untuk menghadiahkan titel juara kepada Neymar dan kawan-kawan.

Praktis, keberhasilan tersebut memastikan Les Parisiens sebagai raja di Prancis tujuh kali dalam satu windu terakhir. Lebih jauh, koleksi gelar Ligue 1 mereka pun kini menyamai kepunyaan Marseille yakni sembilan gelar dan hanya kalah dari torehan milik Saint-Etienne (10 gelar).

Marseille sendiri, kendati gagal bersaing memperebutkan titel juara, tetap merasa gembira karena mereka berhasil mengantongi tiket lolos ke Liga Champions musim depan bersama Stade Rennes. Sementara OSC Lille dipastikan berangkat ke ajang Liga Europa. Dua tim lain yang akan menemani Les Dogues akan ditentukan kemudian, apakah berdasarkan klasemen atau kelanjutan ajang cup competitions (Piala Prancis dan Piala Liga).

Dua tim yang menempati posisi satu dan dua Ligue 2, Lorient serta Lens juga kecipratan bahagia. Pasalnya, mereka dipastikan naik kasta ke Ligue 1 per musim depan karena FFF dan LFP tetap memberlakukan sistem promosi-degradasi untuk musim ini kendati liga disetop gara-gara Corona.

BACA JUGA:  Jika Liga di Eropa adalah Makanan

Di sisi lain, nama-nama semisal Amiens, Toulouse dan Olympique Lyon merupakan klub yang kecewa bukan kepalang. Berbeda dengan Toulouse yang kans lolos dari jerat relegasi begitu tipis, Amiens yang berjuluk Les Licornes sebetulnya masih menyimpan kesempatan buat mengamankan dirinya di Ligue 1 musim mendatang karena jarak poin mereka tidak terlalu jauh dari Nimes.

Sementara Lyon merasa kecewa dengan dihentikannya liga akibat lenyapnya peluang mereka buat mentas di kompetisi Eropa musim depan via posisi akhir di Ligue 1 2019/2020. Sialnya, partisipasi mereka di Piala Prancis sudah berakhir usai diremukkan PSG di babak semifinal.

Kans meraih trofi dan tiket ke Eropa sejatinya bisa saja Les Gones dapatkan dari Piala Liga sebab mereka telah menjejak final. Namun lagi-lagi, PSG berdiri sebagai penghalang yang wajib ditaklukkan di laga puncak dan menaklukkan Les Parisiens bukanlah perkara sepele.

Melalui presidennya, Jean-Michel Aulas, kubu Lyon menyampaikan protes terkait keputusan FFF dan LFP. Aulas sendiri berulangkali meminta agar kompetisi kali ini dianggap sebagai une saison blanche atau musim putih. Artinya, pihak FFF dan LFP melakukan pembersihan kompetisi tanpa harus menghadiahkan gelar juara kepada klub tertentu serta menghapus sistem promosi-degradasi. Sayangnya, ide Aulas ditanggapi dingin oleh Le Graet.

Silang pendapat yang terjadi di antara Aulas dan Le Graet memang sulit dihindari lantaran masing-masing membawa ide yang dianggap baik untuk semua. Namun segala keputusan yang sudah dibuat tentu telah mempertimbangkan banyak aspek, khususnya perihal kesehatan semua elemen yang berperan dalam dunia sepakbola Prancis. Bagaimanapun juga, keputusan itu pasti sulit menyenangkan semua pihak.

Selamat untuk PSG atas gelar juaranya musim ini. Ici c’est Paris.

Komentar