Di tanah Jerman empat belas tahun silam, tim nasional Italia yang ditukangi Marcello Lippi sukses merengkuh gelar Piala Dunia keempatnya sepanjang sejarah. Menariknya, ada dua nama dari skuat Gli Azzurri kala itu yang masih merumput sampai awal tahun 2020 yaitu Gianluigi Buffon dan Daniele De Rossi.
Buffon tercatat masih membela Juventus, sedangkan De Rossi merumput bagi Boca Juniors. Namun baru-baru ini, nama kedua mengumumkan keputusannya buat pensiun dari kancah sepakbola. Padahal De Rossi baru bergabung dengan raksasa Argentina tersebut bulan Juli 2019 kemarin serta menandatangani kontrak selama satu musim.
Dilansir dari Football Italia, De Rossi mengaku bahwa keputusannya tidak terkait dengan kondisi fisik atau masalah lainnya. Semuanya murni didasari oleh keinginannya untuk kembali dekat dengan keluarga.
“Aku ingin berkumpul lagi bersama keluargaku (di Italia), khususnya dengan putriku. Kurasa, ia juga sangat merindukanku. Keputusanku kali ini mutlak,” terang De Rossi.
Lahir di kota Roma dari sebuah keluarga yang amat menggilai AS Roma bikin De Rossi kecil menaruh atensi spesial terhadap klub yang berdiri tahun 1927 itu. Terlebih, sang ayah, Alberto, merupakan pelatih tim Primavera sejak Juli 2004 dan terikat kontrak sampai Juni 2020 mendatang.
‘Darah serigala’ itulah yang menuntun De Rossi bergabung dengan akademi I Giallorossi pada tahun 2000 silam usai menimba ilmu di tim junior Ostia Mare, sebuah kesebelasan kecil di wilayah Roma yang sekarang berpartisipasi di Serie D, kompetisi yang levelnya setara amatir. Bergabung dengan Roma adalah impian masa kecil De Rossi yang terwujud.
Saya tak perlu bercerita bagaimana kemudian De Rossi menembus tim utama Roma, jadi bagian integral tim selama belasan musim dan merumput di 616 laga pada seluruh ajang, mengemban ban kapten serta menggondol sejumlah trofi. Satu yang pasti, itu semua jadi gambaran sederhana eksepsionalnya figur De Rossi.
Tak hanya bareng I Giallorossi, kemampuan apik De Rossi juga dimaksimalkan oleh Italia. Ia rutin mengenakan baju Gli Azzurri dalam rentang 2004 sampai 2017. Turun di tiga Piala Dunia (2006, 2010 dan 2014), tiga gelaran Piala Eropa (2008, 2012 dan 2016) serta satu Piala Konfederasi (2009). Alhasil, ia mencatatkan 117 penampilan dan mengemas 21 gol.
Oleh banyak pengamat sepakbola, De Rossi dianggap sebagai salah satu gelandang terbaik yang eksis dalam rentang dua dekade terakhir. Penampilannya di lapangan selalu lugas, cerdas dan penuh determinasi.
Ditambah dengan kemampuannya untuk bermain di beberapa posisi berbeda, mulai dari gelandang bertahan, gelandang serang, bahkan bek tengah, membuat De Rossi memiliki sejuta nilai plus di mata para pelatih. Berbekal kemampuan luar biasanya itu, wajar apabila De Rossi selalu jadi andalan.
Segenap kelebihan De Rossi membuat banyak pihak terkesima. Ia ditahbiskan sebagai idola oleh banyak orang, baik yang mendaku diri sebagai Romanisti maupun tidak. Jujur saja, sulit bagi siapapun untuk memandang De Rossi dalam lingkaran subjektivitas belaka. Pasalnya, poin-poin subjektivitas itu akan runtuh oleh objektivitas yang muncul karena keistimewaan De Rossi sebagai manusia seutuhnya.
Sosok yang pernah menyandang status sebagai penggawa Roma dengan gaji tertinggi, 6,5 juta euro per musim, ini dikenal sebagai pesepakbola yang jujur dan rendah hati.
Medio 2006 silam, saat membela I Giallorossi dalam laga melawan Messina, De Rossi mencetak gol yang dapat memperbesar keunggulan Roma menjadi 2-0. Namun secara mengejutkan, De Rossi justru mendatangi wasit yang bertugas di laga tersebut, Mauro Bergonzi, dan meminta agar golnya dianulir. Alasan De Rossi melakukan itu karena ia telah menggunakan tangannya buat mendorong bola masuk ke gawang.
Bergonzi terkejut dengan sikap De Rossi, tapi sesuai dengan penuturan sang pemain, ia sepakat untuk menganulir gol tersebut. Mujur bagi Roma, mereka tetap menang di laga itu via skor akhir 2-1.
“De Rossi melakukan hal yang amat luar biasa. Gestur seperti ini bisa membantu sepakbola Italia untuk berkembang jadi lebih baik”, puji rekan setim De Rossi ketika itu, Simone Perrotta, seperti dilansir dari thestar.
Pada momen lain, De Rossi memamerkan kerendahan hatinya tatkala mengetahui kitman gaek timnas Italia, Pietro Lombardi, mangkat di tahun 2016 lalu. Relasi keduanya yang begitu dekat bikin De Rossi meminta izin khusus kepada pelatih Roma ketika itu, Luciano Spalletti, buat menyudahi latihan lebih cepat guna menyetir sendiri mobilnya dari Roma ke Firenze, kota kelahiran sang kitman, demi menghadiri pemakaman Lombardi.
Tak sekadar menghadiri prosesi pemakaman salah satu figur yang ia anggap berjasa besar dalam kariernya bareng Gli Azzurri, De Rossi juga menghadiahkan medali juara Piala Dunia 2006 kepada Lombardi dengan meletakkannya di dalam peti jenazah.
Dengan status ofisial, Lombardi memang tak mendapatkan medali juara layaknya para pemain maupun tim pelatih dan hal itulah yang menginisiasi De Rossi untuk memberikan salah satu item paling ikonik bagi para pesepakbola kepada Lombardi. Siapa tahu, sang kakek akan membawanya ke surga.
Sikap yang ditunjukkan De Rossi memang pantas membuatnya jadi panutan, khususnya oleh para pesepakbola belia. Sepopuler apapun kita sebagai bintang sepakbola, tetap menginjakkan kaki ke Bumi adalah keharusan. Mesti diingat bahwa durasi karier profesional seorang pesepakbola amat terbatas dan semuanya kerap berkaitan dengan perilakunya, baik di dalam maupun luar lapangan.
De Rossi telah memutuskan bahwa ia menepi dari lapangan hijau untuk selamanya. Layaknya Roma, tempat kelahirannya yang beroleh julukan Kota Abadi lantaran sanggup bertahan hingga detik ini. Seperti kamu itulah arti De Rossi bagi para penggila sepakbola di muka Bumi, tifosi Italia, suporter Boca Juniors dan tentu saja Romanisti. De Rossi akan abadi di dalam hati.