Memanusiakan Matthew Le Tissier

Matt Le Tissier, diambil dari jotdown.es (Gary M Prior/Allsport)

Hari ini, legenda klub Southampton, Matthew Le Tissier berulang tahun ke-47. Le Tissier lahir dan besar di Guernsey, sebuah pulau kecil di selat Channel. Le Tissier kecil fasih memainkan cabang olahraga lain seperti atletik, softball dan kriket, namun dia memutuskan menjadi pesepak bola ketika melihat kedua kakaknya, Kevin dan Carl, mendapat tawaran dari akademi Middlesbrough dan Southampton.

Le Tissier kecil juga tumbuh sebagai fans Tottenham Hotspur, mengikuti sang ayah. Idolanya saat itu adalah seorang gelandang flamboyan yang memiliki teknik tinggi, Glenn Hoddle. Tidak heran jika publik Inggris banyak menyamakan kedua pemain beda generasi ini.

Le Tissier mulai bergabung dengan akademi Southampton pada tahun 1986. Sejak saat itu, sampai 16 tahun kemudian, Le Tissier tetap berbaju Southampton. Karena kesetiaannya tersebut, bagi penggemar Southampton, Le Tissier bukan sekadar legenda atau ikon klub saja, tetapi sudah dianggap sebagai tuhan (penulis lebih suka menggunakan huruf t kecil), sesuai dengan julukannya, Le God. Hal yang lumrah, mengingat Le Tissier tetap setia meski klub dari selatan Inggris tersebut tidak pernah meraih satu trofi pun dan bahkan hampir tiap musim berkutat di zona degradasi.

Lain halnya dengan one-club man lain, seperti Ryan Giggs, Paul Scholes, ataupun Paolo Maldini yang dengan cukup mudahnya bertahan lama di satu klub karena tiap musim klub yang mereka bela selalu menjadi unggulan utama sebuah liga atau kejuaraan.

Le Tissier bukannya tidak pernah mendapat tawaran untuk pindah klub. Tahun 1990, dirinya hampir pindah ke klub idola masa kecilnya, Spurs. Tetapi dirinya menolak pindah pada menit akhir karena tunangannya enggan pindah ke London. Pun ketika klub London lainnya, Chelsea, datang mengetuk pintu pada tahun 1995, Le Tissier tetap bergeming. Padahal seperti diakuinya pada buku biografinya, Taking Le Tiss, dirinya menerima gaji yang lebih rendah dari Hassan Kachloul. Uang dan trofi memang bukan tujuan utamanya bermain bola.

BACA JUGA:  Akhir Mount di Chelsea

My main reason was my personal happiness and contentment, something which I have always put first above other things. That and the fact that I felt a loyalty to pay back Southampton for giving me the chance to achieve my dreams” – “ Alasan utama saya adalah kebahagiaan dan kepuasan pribadi, sesuatu yang selalu saya utamakan di atas semuanya. Dan saya merasa harus membayar Southampton sebuah kesetiaan karena memberiku kesempatan untuk meraih mimpiku,” ujarnya saat menerima One-Club Man Award dari Athletic Club bulan April lalu.

Kumpulan Gol Terbaiknya

Bicara tentang Matthew Le Tissier, pasti tak lepas dari gol-gol spektakuler yang dia cetak. Lihat saja kompilasi gol-golnya di Youtube. Dari tendangan chip a la Cantona, tendangan voli a la Yeboah, tendangan bebas khas Matthew Le Tissier hingga meliuk-liuk melewati lawan tanpa berlari kencang, semua dilakukannya dengan sangat fasih. Ditambah dengan hiasan musik latar dari Darude-Sandstrom, hingga gubahan Mozart, menonton kumpulan gol Le Tissier bagai menyaksikan tuhan menggunakan hak prerogatifnya untuk mengarahkan bola masuk ke gawang lawan, kun fayakun! Bahkan fans lawan terlihat rela gawang klub kesayangannya dibobol oleh Le Tissier.

Dan bagai suratan takdir yang ditulisnya sendiri, salah satu gol yang dicetak Le Tissier ke gawang Arsenal pada bulan Mei tahun 2001 menjadi gol terakhir yang disaksikan di dinding-dinding The Dell, sebelum kandang keramat tersebut dirubuhkan dan Southampton pindah ke St. Mary’s pada musim berikutnya.

Tak dipedulikan pelatih timnas

Penggemar Southampton memang sedikit lebay, karena sehebat-hebatnya tuhan mereka, pasti ada “cacat” juga pada karirnya. Selain tanpa trofi pada level klub, Le Tissier juga “hanya” mendapat 8 caps untuk tim nasional. Bandingkan, seorang Emile Heskey saja bisa mencapai catatan 62 caps.

BACA JUGA:  Mengenai Rivalitas Sepak Bola Antara Jerman dengan Inggris

Kesempatan terbaiknya bermain untuk timnas Inggris di turnamen besar muncul pada Piala Eropa 1996. Saat itu, musim 1994-1995 adalah musim terbaiknya di Southampton. Dilatih manajer favoritnya, Alan Ball, saat itu Le Tissier berhasil mencetak 30 gol dari 49 penampilan di semua kompetisi. Namun, apa boleh buat, pelatih timnas Inggris saat itu , Terry Venables, tidak memilih Le Tissier untuk skuat Inggris pada turnamen tersebut.

Piala Dunia 1998 juga memiliki cerita buruk bagi Le Tissier. Mencetak hattrick saat Inggris B melumat Rusia B tidak juga membuatnya menjadi pilihan Glenn Hoddle untuk skuat Piala Dunia, bahkan namanya tidak masuk dalam skuat sementara berisi 30 orang. Hoddle, sang idola lebih memilih nama-nama seperti Darren Anderton, Paul Merson, hingga David Batty untuk dibawa ke Prancis. Ada yang lebih buruk daripada dikecewakan oleh idola sendiri?

Setelah Inggris tersingkir oleh Argentina lewat adu penalti. Publik Inggris pun ramai berandai-andai kalau saja Le Tissier yang menendang penalti terakhir saat itu, dan bukan David Batty, mungkin saja Inggris sudah lolos ke babak berikutnya, bahkan mencapai final. Toh, rekor tendangan penalti Le Tissier sangat mengesankan, mencetak 49 gol dari 50 kali percobaan sepanjang karirnya.

Ah sudahlah, toh Le Tissier tidak menyesali karirnya di timnas maupun di klub. Dia tidak silau akan trofi, uang, ataupun karir panjang di timnas sehingga harus berpindah klub. Dan sesuai kodratnya sebagai manusia, dia lebih peduli bagaimana caranya agar bisa menikmati bermain sepak bola dan menghibur penonton melalui aksi dan gol-golnya.

Selamat ulang tahun, Matt!

Komentar