Sam Allardyce, Si Gendut yang Ajaib

Sam Allardyce, Si Gendut yang Ajaib
Sam Allardyce, Si Gendut yang Ajaib

Tanggal 9 Oktober 2015, pria tambun yang menghabiskan sebagian besar karier manajerialnya bersama Bolton Wanderers ini resmi menandatangani kontrak berdurasi dua tahun bersama Sunderland.

Mewarisi skuat Dick Advocaat yang meraih hanya tiga poin dari delapan pertandingan pertama mereka di Liga Inggris 2015/2016. Terjerembab di posisi 19. Dan sudah diprediksikan akan degradasi bersama Aston Villa untuk musim depan.

Pada 11 Mei 2016, pria 61 tahun asal Dudley ini secara ajaib menyelamatkan Sunderland, klub medioker yang empat tahun berturut-turut bertarung di zona degradasi hingga pekan terakhir, dengan kemenangan menyakinkan 3-0 atas Everton.

Kemenangan krusial yang mengamankan Sunderland untuk keempat kalinya pula secara beruntun selamat dari degradasi. Setelah 237 hari menghuni zona merah, Sunderland mengamankan tiga angka penting yang membuatnya unggul empat poin dari zona degradasi ketika Liga masih tersisa satu pertandingan.

Sekaligus memberi tiket Lebaran yang pahit ke Divisi Championship bagi Newcastle United dan Norwich City untuk menemani Aston Villa musim depan.

Narasi awal di atas memang terkesan biasa saja, kalau kita membandingkan dengan capaian surealis Leicester City musim ini. Juga terlihat tidak istimewa ketika menengok capaian Slaven Bilic pada musim perdananya bersama West Ham United yang sukses bertengger di zona Eropa dan masih berpeluang finis di atas Manchester United akhir musim nanti.

Tapi, selamat dari degradasi patut dirayakan dengan cara yang sama seperti Claudio Ranieri dan anak asuhnya merayakan gelar juara Liga Inggris. Selamat dari degradasi adalah keistimewaan yang tidak pernah dirasakan para manajer hebat di tim-tim besar.

Istimewanya menjadi pelatih di tim kecil adalah mampu merasakan euforia gelar juara di satu sisi ketika mereka mengalami musim penuh dongeng, sekaligus kenikmatan ketika selamat dari ancaman degradasi di sisi lain.

Ini yang akan sulit dirasakan manajer hebat di tim besar pada era sepak bola modern saat ini. Ketika Leicester memanggil Andrea Bocelli untuk menyanyikan Nessun Dorma dalam perayaan juara, saya rasa, di titik yang sama untuk merayakan selamat dari degradasi, Sunderland perlu mengundang Adele untuk menyanyikan single Hello di Stadium of Light.

Big Sam adalah keajaiban!

Ranieri hebat, karena ia memberi sesuatu yang akan terkenang sejarah sebagai anomali terhebat dan paling surealis di Premier League. Tapi jauh dari glamornya kehidupan di papan atas yang ditempati Jamie Vardy dkk, Big Sam—sapaan akrab Sam Allardyce—tengah merayakan sesuatu yang sama hebatnya dengan capaian Leicester City musim ini.

Ia salah satu pelatih dengan gaya British yang mencolok. Big Sam adalah manajer yang paham betul akar dan kultur utama sepak bola Inggris. Kick and rush.

Jose Mourinho, sang Machiavellian brengsek yang sukses itu, suatu kali, pada tahun 2014, pernah dibuat frustasi ketika Chelsea yang diasuhnya meladeni West Ham yang ditangani Allardyce. Usai laga, Jose menyebut sepak bola yang dimainkan Big Sam berasal dari abad 19. Lucu.

BACA JUGA:  Belajar Bangkit Ala Heurelho Gomes

Karena andai Jose memiliki wawasan yang baik, ia akan sadar bahwa sepak bola abad 19 jauh lebih menyerang dan terbuka dibanding apa yang ia mainkan di Chelsea, Internazionale Milano bahkan Real Madrid. Ini salah satu prestasi terbaik Big Sam yang luput dari radar. Membuat pria pengangguran dari Setubal itu tampak seperti pria bebal yang ahistoris.

Lahir di Dudley, 61 tahun lalu, wajar bahwa kemudian pria berperut besar ini memiliki etos kerja yang baik. Dudley adalah salah satu kota pekerja di Inggris yang ikut berkontribusi menjadi tonggak sejarah dalam menginisiasi Revolusi Industri di tanah Britania.

Suatu kali, dalam sebuah wawancara dari Lee Clark, salah satu bekas anak asuhnya di Newcastle, sepak bola ala Big Sam dideskripsikan dengan dua kata. Organisasi dan stabilitas.

Ia mengedepankan catatan statistik, wajar ketika ia kemudian menjadikan Jermain Defoe sebagai ujung tombak utama di Sunderland ketimbang Dame N’Doye. Sederhana saja, Defoe memiliki rasio tendangan ke gawang yang baik. Dan rataan mencetak gol per menit yang lumayan.

Efek dari itu, Fabio Borini dan Ola Toivonen acapkali ia sulap sebagai pemain sayap dan gelandang tengah. Hanya Big Sam yang punya imajinasi seliar ini. Sama liarnya dengan imajinasi Louis van Gaal yang rutin memainkan pohon beringin dari Belgia berharga 25 juta poundsterling dibanding Morgan Schneiderlin.

Slaven Bilic, dalam komentarnya seperti dikutip dari Skysports, juga berterima kasih pada Big Sam karena mewarisi skuat yang kompeten ketika meninggalkan West Ham United.

Bilic menekankan kata well-organized atas warisan skuat dari Big Sam untuk West Ham. Ia yang mendatangkan Cheikhou Kouyate, Andy Carroll, Diafra Sakho, Enner Valencia hingga Aaron Cresswell yang musim ini beberapa di antaranya menjadi tulang punggung Bilic.

Dan inilah kekuatan lain dari Big Sam, ia memiliki kemampuan man-management yang baik dalam timnya. Satu hal yang diapresiasi pula oleh Kevin Davies, bekas anak asuhnya semasa di Bolton.

Saya mengingat Si Gendut dari Dudley dengan cara yang sedikit menyebalkan. Ia, bersama Tony Pulis dan Alan Pardew, saya kategorikan sebagai pelatih yang kerap meninggalkan duri bagi Arsene Wenger. Sepak bola ala Inggris yang mereka bertiga mainkan, kerapkali membuat Arsenal kepayahan dan keteteran.

BACA JUGA:  Marko Pjaca: Berlian Balkan yang Perlahan Kusam

Imajinasi perpindahan bola yang apik antar-ruang, penguasaan bola yang baik dan efisien, skema Wengerball yang cantik, seketika porak-poranda dan kacau balau ketika bertemu tim yang bermain dengan sangat British. Pendekatan fisik yang spartan, mengejar bola ke sana ke mari, dan semangat revivalis ala kick and rush benar-benar mereka pertahankan di filosofi timnya.

Big Sam utamanya, sering membuat sakit kepala berlebih ketika semasa di Bolton, ia kerapkali menyulitkan Arsene Wenger. Ia juga yang berperan besar membuat Bolton mampu mendatangkan nama-nama besar di sepak bola dunia, semisal Jay-Jay Okocha hingga legenda hidup Real Madrid, Fernando Hierro.

Kesuksesan Sam Allardyce musim ini mengamankan Sunderland dari ancaman degradasi adalah kisah kepahlawanan yang patut diapresiasi. Tim ini mencetak tiga gol lebih banyak dari Manchester United sejak Januari 2016 sampai saat ini.

Ia juga membuat pembelian yang bagus di bursa Januari dengan mendatangkan Lamina Kone, Jan Kirchoff, dan Wahbi Khazri yang ketiganya berperan krusial dalam eskapisme terbaik Sunderland dalam empat musim terakhir.

Big Sam pula yang membuat Jermain Defoe kembali tajam dan mencetak 15 gol musim ini di Liga. Jumlah gol yang jauh lebih banyak dari Olivier Giroud dan Alexis Sanchez. Hebat? Jelas. Ajaib? Iya.

Karena Defoe sudah dicap habis ketika meninggalkan Tottenham Hotspurs, namun bersama Big Sam dan performa surealisnya musim ini, ia diisukan akan berangkat Euro tahun ini mengisi posisi yang ditinggalkan Danny Welbeck yang cedera sampai awal tahun depan.

Atas capaian heroik Big Sam, kita layak paham satu hal. Di sepak bola, perayaan tidak hanya untuk sebuah gelar juara.

Di satu sisi, berjuang selamat dari degradasi adalah setara dengan memperebutkan sebuah trofi. Ada gengsi yang dipertaruhkan. Ada nilai hak siar dan segala kebutuhan komersil yang terancam hilang ketika degradasi ke divisi bawah.

Di satu titik, selamatnya Sunderland dari degradasi adalah keajaiban yang sama dengan juaranya Leicester City musim ini. Dua keajaiban yang terjadi di dua sisi berbeda, di puncak dan sisi paling bawah klasemen.

Satu lagi contoh keindahan sepak bola, yang tidak melulu dinilai perihal bermain umpan pendek dari kaki ke kaki hingga penguasaan bola yang dominan.

Dengan narasi yang sama yang dialami Leicester musim lalu dan sekarang, bukankah luar biasa ketika musim depan Sunderland dan Big Sam bersaing memperebutkan gelar juara bersama tim papan atas lainnya? Que sera sera…

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.