Bonek, TV One, dan Model Pengembangan Literasi Media bagi Suporter Sepak Bola

Pada tanggal 19 Februari 2016, Fandom Indonesia merilis sebuah buku berjudul Sepak bola 2.0 di Dongeng Kopi, sebuah kafe kopi yang cukup populer di Yogyakarta. Rilis buku diisi dengan diskusi yang cukup menarik.

Kursi di dalam ruang Dongeng Kopi dijejali audiens, yang bukan hanya berasal dari Yogyakarta, namun juga Solo, Jakarta dan beberapa kota lain. Umumnya yang datang adalah para suporter sepak bola klub lokal Indonesia, walaupun demikian juga ada peserta diskusi yang lebih mengidentifikasi diri mereka sebagai penggemar klub asing. Rasa haus terhadap literasi sepak bola agaknya telah mendorong minat audiens untuk datang.

Salah satu artikel di buku Sepakbola 2.0 berjudul Media, Sepak Bola, dan Kekerasan Suporter, yang ditulis oleh Wisnu Prasetya Utomo. Di halaman 205, Wisnu Prasetya Utomo menulis demikian; “Tabloidisasi yang berujung stigmatisasi kekerasan membuat akar kekerasan suporter sendiri tidak pernah dibahas secara tuntas. Yang dikedepankan hanya sensasi dan hal-hal yang justru memicu efek lanjutan. Ujungnya tentu pada diagnosis dan kebijakan penanganan kekerasan yang bermasalah.”

Diskusi berlangsung dari jam 19.00 sampai dengan jam 21.00. Setelah mengobrol dengan beberapa kawan, jam 21.45 saya berpamitan. Sesampai di rumah, linimasa di twitter diwarnai keriuhan tentang program Telusur yang ditayangkan di TV One.

Sudah beberapa tahun ini saya sebenarnya jarang menonton televisi dalam negeri, terutama karena alasan isinya yang tidak sehat. Bukan hanya TV One, namun juga stasiun televisi swasta lainnya yang memanfaatkan frekuensi publik secara tidak amanah. Keriuhan di linimasa mendorong saya untuk menonton stasiun televisi yang mengklaim dirinya “memang beda” ini.

Apa yang saya baca dari artikel Wisnu Prasetya Utomo di buku Sepak bola 2.0 terbukti dalam program Telusur TV One malam itu. Berusaha melakukan “jurnalisme investigasi” mengenai meninggalnya suporter klub Arema Cronus di Sragen, Jawa Tengah, program Telusur TV One justru terjebak pada tabloidisasi.

Konflik suporter, dalam konteks tayangan tersebut adalah Bonek vs Aremania, justru dijadikan komoditas oleh TV One. Di akhir program, alih-alih menerapkan praktek jurnalisme damai, TV One justru menyiram api konflik dengan chants yang dinyanyikan salah satu kubu yang berisi provokasi dengan rekaman suara suporter di tribun yang bernyanyi dengan kalimat “dibunuh saja”.

BACA JUGA:  Memaklumi Performa Liverpool Musim 2015/2016

Tidak hanya sekali, TV One bahkan tiga kali mengudarakan kalimat provokasi tersebut. Kembali frekuensi publik dikotori oleh banalitas praktek siaran televisi.

Senin tanggal 21 Februari 2016, kantor biro TV One di Surabaya didatangi oleh ribuan Bonek, suporter Persebaya. Kedatangan mereka bertujuan untuk memprotes isi program Telusur TV One.

Bersendikan pada hak jawab yang diatur dengan Undang-Undang No. 40 tahun 1999, aksi Bonek ini bisa dilihat sebagai apa yang disebut sebagai negotiated reading dalam studi audiens. Protes Bonek juga didasari pada pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

Pasal 52 Undang-Undang Penyiaran mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak berperan serta dalam mengembangkan penyelenggaraan penyiaran, serta mengajukan keberatan jika ada program siaran yang merugikan.

Menariknya, selain melakukan hak jawab langsung ke TV One, mereka juga mengajukan gugatan legal kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers. Gugatan yang dilayangkan secara langsung maupun melalui pesan pendek dan surat elektronik kepada kedua lembaga tersebut. Aksi secara terstruktur akhirnya menyebabkan TV One meminta maaf atas isi program Telusur episode penayangan 19 Februari 2016.

Dalam konteks literasi media, sebagaimana juga diamanatkan dalam pasal 52 Undang-Undang Penyiaran, protes Bonek terhadap TV One bisa menjadi model pengembangan literasi di Indonesia.

Literasi media (media literacy), menurut The National Leadership Conference on Media Literacy, bertujuan untuk otonomi kritikal dalam berhubungan dengan semua media yang meliputi tanggung jawab sosial, apresiasi dan ekspresi estetika, advokasi sosial, harga diri dan kompetensi pengguna. Literasi media dengan demikian berkaitan dengan nilai sosial masyarakat setempat, salah satunya adalah kearifan lokal.

Dalam rangka pengembangan literasi media dalam berspektif kearifan lokal, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga pernah menerbitkan buku berjudul Literasi Media dan Kearifan Lokal: Konsep dan Aplikasi (2012).

BACA JUGA:  Hijau-Kuning: Warna Bersejarah Manchester United yang Menjadi Simbol Perlawanan

Salah satu penulis buku tersebut adalah Dr. Turnomo Rahardjo dari Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang. Mas Hardjo, demikian saya biasa memanggilnya, menuliskan bahwa dalam konteks pemikiran Timur, ada kearifan lokal dalam budaya Jawa yang kemungkinan dapat disepadankan dengan pemikiran Barat tentang salah satu tujuan media literasi, yaitu terciptanya kemampuan berkomunikasi secara kompeten, lebih proaktif (mindfull) daripada reaktif. Kearifan lokal tersebut tercermin dalam ajaran moral “Aja tumindak grusa-grusu, nanging tumindak kanthi landesan pikiran kang wening.”

Ajaran ini bermakna ketika sedang menghadapi masalah, jangan bertindak reaktif dan emosional, namun seharusnya bertindak proaktif dengan pikiran jernih.

Apa yang ditulis oleh Dr. Turnomo Rahardjo menemukan artikulasinya dalam protes Bonek kepada TV One. Alih-alih secara emosional menyerang kantor biro TVOne, Bonek mengambil langkah dengan “pikiran wening” (pikiran yang jernih).

Mereka membaca regulasi pers, terutama pers penyiaran. Membaca pasal demi pasal dan menemukan pasal yang dilanggar TV One. Temuan yang selanjutnya ditulis secara teliti dalam surat sepanjang dua halaman, sebagai bentuk hak jawab.

Saat aksi, kekerasan pada jurnalis TV One juga tidak terjadi. Satu model pembelajaran yang menarik karena dalam beberapa kasus perseteruan audiens dengan media pers berujung pada kekerasan pada jurnalis.

Mereka tidak “grusa-grusu” dengan langsung memprotes TV One pada hari Sabtu. Mereka melakukan aksi di hari Senin, tiga hari setelah program Telusur ditayangkan. Jangka waktu yang efektif digunakan untuk membangun jejaring dan publikas mengenai aksi hak jawab pada TV One.

Tentang bagaimana Bonek menggunakan hak jawabnya pada TV One adalah pelajaran berharga bagi suporter sepak bola di Indonesia dalam berhadapan media massa, terutama media massa yang memprovokasi konflik antarsuporter sepak bola demi kepentingan oplah, rating maupun klik. Yang kini menjadi tantangan bersama adalah memasyarakatkan literasi media bagi suporter sepak bola melalui sebuah model literasi media yang berbasis pada pengalaman lapangan suporter sepak bola.

 

Komentar
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.