Cerita Natal dan Perayaan Sepak Bola

Dulu ketika kanak-kanak, jumlah anak laki-laki di kampung saya paling banyak hanya lima orang. Itu pun untuk yang jarak umurnya dengan saya tidak terpaut jauh, kalaupun ada yang lebih tua, itu pun hanya dua tahun di atas saya.

Sisanya berisi anak-anak gadis kinyis-kinyis dan beberapa anak kecil yang belum tumbuh besar dan saya yakin kakinya tentu tak cukup kuat untuk menendang bola, apalagi berlari dengan bola.

Maka dari itu, tiap kali selepas Ashar kami ingin bermain sepak bola, kegiatan awal yang kami lakukan adalah berkumpul berdiam diri di tanah lapang dekat rumah untuk menunggu siapa saja orang yang sudi bergabung bersama kami.

Kebetulan, beberapa pengikut tetap di gerombolan pemain-pemain bola di kampung saya adalah beberapa preman pasar dan preman kampung yang leher dan tangannya berhias tato dan tampangnya garang laiknya Diego Costa.

Tapi Diego Costa yang versi lebih ganas. Diego Costa yang berani kena kartu merah dan tidak menyukai provokasi. Jangankan provokasi, preman-preman ini tahunya hanya pukul, hajar, tendang, banting. Sudah. Provokasi hanya milik pecundang. Begitu kiranya.

Jadilah sepak bola yang seharusnya menyenangkan dengan berisi anak-anak kecil, harus dipenuhi pula oleh pria-pria ganas bertampang sangar ini. Tentunya, sebagai bocah ingusan berusia antara 8-10 tahun, keadaan ini jelas membuat nyali ciut.

Apalagi saya yakin, kebiasaan main pukul di pasar bisa saja mereka terapkan kala bermain sepak bola. Tapi nyatanya, sepak bola jauh lebih damai dari yang saya bayangkan. Preman-preman berbadan tegap dan bermuka singa ini ternyata menyukai sepak bola layaknya anak kecil menyukai permen gula-gula.

Memang permainan mereka keras, bayangkan anak kecil belasan tahun melawan pria 18-20 tahun yang sekali menabrak kami, kami bisa terlempar sampai ke London. Tapi bukankah sepak bola memang keras? Benturan itu wajar, apalagi patah kaki, karena yang tidak wajar hanya posisi Chelsea di Liga Inggris musim ini.

Selama beberapa tahun, khususnya hingga saya menemukan klub sepak bola pertama saya di SMP, bermain bola bersama mas-mas preman ini menjadi rutinitas tetap saya selepas pulang sekolah, makan siang dan main Playstation.

Seiring waktu, jumlah pengikut pasukan bola kami mulai bertambah banyak, beberapa di antaranya diisi pria-pria juru parkir dan pemuda penggangguran yang gemar minum arak daripada es teh manis.

BACA JUGA:  Berita Sepak Bola Lokal yang Kian Ditinggalkan

Karena skuat yang semakin kuat dan padu, tak jarang beberapa di antara kami mulai menginisiasi pertandingan antarkampung yang ajakannya hanya dari mulut ke mulut, tidak melalui turnamen resmi atau Liga Tarkam.

Karena pada dasarnya kami sudah terbiasa main bersama dan memang sudah menyatu, mudah saja bagi kami menghajar lawan-lawan dari kampung sebelah. Dan brengseknya kami, beberapa pemain bintang dari kampung sebelah tentunya kami rekrut untuk ikut bermain bersama tim kami. Tidak perlu dana transfer 100 juta euro, karena dengan sebungkus rokok dan segelas es teh manis sudah cukup membujuk mereka untuk main bersama kami.

Kami tak ubahnya seperti Real Madrid. Tapi tentunya bukan Los Galacticos. Karena kami bukan bintang, kami preman (saya heran kenapa saya menulis “kami” di kalimat ini). Beberapa di antara teman-teman saya malah cocoknya menjadi ketua kartel narkoba di Amerika Latin daripada hanya menjadi seorang tukang pukul atau preman pasar.

Dengan pergaulan yang sedemikian bebas di lapangan bola itu, saya sempat berpikiran untuk memiliki tato. Ketika usia saya 11 atau 12 tahun. Tapi saya urungkan karena kata teman saya, proses memiliki tato itu sakit. Sebagai pria maskulin yang tidak memuja rasa sakit, saya merasa hal ini menakutkan. Apalagi, saya tidak terbiasa tersakiti dan menangis.

Semakin beranjaknya waktu dan mulai bertumbuh-kembangnya saya, rutinitas bermain bersama teman-teman di kampung ini begitu minim dan sangat jarang sekali. Bahkan, saya lupa kapan terakhir kali saya memainkan sepak bola bersama mereka. Jadwal latihan di SMP dan di klub luar sekolah membuat saya abai terhadap sepak bola tarkam di kampung.

Satu yang saya ingat betul, ada satu teman yang begitu saya kagumi. Namanya Mas Sugik. Kecil, pendek, gempal. Mungkin seperti Xherdan Shaqiri kalau dikomparasikan dengan pesepak bola saat ini.

Mas Sugik ini salah satu preman kampung dengan kemampuan olah bola yang lumayan. Mungkin, kalau dia mengurangi afeksi berlebihnya terhadap rokok dan arak jowo, saya cukup yakin Mas Sugik ini bisa sehebat Ponaryo Astaman atau Firman Utina. Gocekannya yahud. Kaki kanan dan kirinya sama-sama hidup. Dan yang terpenting, fisiknya tangguh.

BACA JUGA:  Cerita Tentang Klub Proletariat Terakhir, IFK Gothenburg

Kelemahannya hanya beberapa, salah satunya adalah ketika ajakan bermain bola datang ketika ia selesai mabuk malam sebelumnya. Bisa dipastikan si Shaqiri kampung kami ini akan sempoyongan dan menggiring bola dengan gaya balerina.

Ingatan tentang sepak bola bersama kawan-kawan ini begitu membekas karena memang dialami ketika saya berada di fase tumbuh kembang yang signifikan. Kerapkali ketika pulang ke kampung, saya menemukan teman-teman saya ini berada di fase hidup yang berbeda.

Ada beberapa yang ditangkap polisi dan dipenjara, ada beberapa sudah menikah dan punya anak, tak jarang pula, beberapa di antara mereka sudah meninggal.

Meleburnya kami dengan berbagai latar belakang, membuat cerita pertemanan dan guyub rukunnya kami di lapangan bola menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dari banyak hal. Bahkan, jauh lebih besar dari sepak bola itu sendiri. Dan mungkin juga, jauh lebih besar dari agama dan keimanan.

Saya tak ingat sebelum bermain kami pernah menanyakan agamamu apa. Atau Tuhanmu siapa. Entah kamu merayakan Natal, Waisak atau Nyepi. Saya tidak ingat betul pernah menanyakan hal-hal konyol itu di lapangan.

Bermain bola, mungkin, adalah meleburnya Tuhan dan keimanan dalam sebuah bola sepak bulat yang ditendang ke sana kemari dan nantinya akan diceploskan ke gawang lawan. Di lapangan itu, kami tidak ada di urusan yang sama dengan apa yang dipikirkan orang kebanyakan.

Di lapangan itu, Tuhan kami mungkin hanya kedua kaki dan bola itu sendiri. Mungkin kami laiknya kaum kafir dan tak ber-Tuhan, tapi yang jelas kami manusia. Karena saya tak ingat kami pernah membunuh di lapangan. Di lapangan itu, kami memanusiakan manusia dengan cara yang paripurna.

Dan sudah seharusnya, Natal serta semua hari besar keagamaan apa pun tiap tahunnya dirayakan dengan semangat ini ya?

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.