Sufisme dalam Sepak Bola

Ghana fans cheer their team during their African Nations Cup Group B soccer match against Mali at the Nelson Mandela Bay Stadium in Port Elizabeth January 24, 2013. REUTERS/Siphiwe Sibeko (SOUTH AFRICA - Tags: SPORT SOCCER)

Seorang kawan, suatu waktu, bertanya seperti ini, sampai kapan seseorang bisa tidak lagi dikatakan sebagai suporter karbitan? Satu pertanyaan sederhana yang muncul tiba-tiba dan mengusik pemikiran. Sungguh. Sejatinya sepak bola sebagai permainan dan olahraga adalah salah satu yang paling populer dan digilai jutaan orang di kolong langit ini. Dan anda perlu berhenti sejenak dari kenikmatan menonton sepak bola untuk keluar dari zona nyaman dan memahami pertanyaan tersebut.

Dewasa ini, di beberapa tulisan dalam kolom-kolom media tentang sepak bola sudah banyak pendekatan dan kajian yang digunakan untuk menelaah pemahaman dan penjabaran mengenai hipster dalam sepak bola, istilah plastic fans atau yang paling fenomenal di Indonesia yaitu asal muasal penyebutan suporter karbitan.

Hanya di Indonesia, istilah karbitan ini beredar dan tumbuh subur. Apa sebenarnya karbitan pun masih ambigu dan tidak jelas. Beberapa pundit sepak bola mengatakan bahwa karbitan hanya sekadar olok-olok untuk mereka yang hanya mendukung sebuah tim sepak bola saat menang saja. Apakah benar? Bisa jadi. Lalu, apakah itu salah? Tidak juga. Ambigu, bukan? Jadi, apa sebenarnya karbitan itu memang masih masalah penyematan label untuk sebuah aliran dalam mendukung sepak bola.

Selama masih ada orang yang menyakini beberapa individu hanya mendukung sebuah tim sepak bola dalam posisi menang saja, lalu mereka kemudian dilabeli sebagai karbitan, label itu akan ada seiring dengan konsistensi anda menjadi tipe suporter yang seperti itu. Ini bukan masalah benar atau salah. Ini masalah selera. Sama seperti misalnya, penulis lebih prefer menyukai Chelsea Islan daripada Sophia Latjuba. Ini kan masalah selera. Kalau anda beda selera dengan penulis, ya silakan menyukai sosok lain, bukan begitu?

Mendukung suatu kesebelasan sepak bola tidak perlu terlalu ngotot dan berurat-urat. Santai saja. Sesekali memang boleh saling melempar banter, toh tidak ada salahnya menghujat dalam sepak bola, penulis pernah menulis tentang itu juga sebelumnya. Karena sepak bola adalah esensi awalnya sebuah permainan yang merangkap olahraga, jadi seharusnya membahas sepak bola itu harus menyenangkan dan mudah dimengerti. Tidak perlu berlebihan. Tapi tentu saja, anda tentunya berhak sebal dan kesal tiap kali ada jenis suporter yang hanya suka mengolok-olok tim lain saat kesebelasan pujaannya menang, dan seketika berkamuflase menjadi sosok Tyrannosaurus yang punah ditelan zaman saat tim kesebelasannya kalah.

BACA JUGA:  Berbeda-Beda Tetapi Tetap Satu Klaten

Di kolom tulisan sebelumnya, penulis pernah pula membahas perihal chauvinisme dalam sepak bola. Bagaimana kecintaan mendalam terhadap sebuah klub sepak bola adalah cinta yang salah dan buta. Anda tidak berhak mencintai sebuah klub sepak bola tanpa mencintai sepak bola itu sendiri di atas segalanya. Tulisan itu cukup untuk menjadi awal dalam mengkaji mengenai kultur dalam mendukung sebuah klub sepak bola. Dengan berangkat dari tulisan tersebut, penulis menawarkan istilah baru perihal soal dukung-mendukung klub sepak bola ini, yaitu melihat budaya menjadi suporter sepak bola dengan pendekatn sufisme.

Sufisme adalah aliran yang mengajarkan mengenai tingkatan tertinggi pengalaman mistik manusia dalam mencapai Tuhannya. Ada tingkatannya dari syariat, tarekat, hakekat hingga level tertinggi yaitu, makrifat. Menurut hemat penulis, ketika anda mencapai titik makrifat dalam sepak bola, di titik itulah pelabelan suporter karbitan, plastic fans hingga hipster sepak bola akan lenyap dengan sendirinya.

Penulis membayangkan semua fans mencapai level makrifat dalam sepak bola, tentunya semua akan indah. Fans akan ber-manunggaling dalam proses menyatukan dirinya dengan sebuah entitas tunggal bernama sepak bola. Anda sebagai fans dan sepak bola sebagai entitas tunggal yang anda tuju. Dan ketika anda menyatu dengan sepak bola, anda tidak akan lagi rela “berngotot” ria dalam membela kehormatan tim-tim sepak bola tertentu saat mereka kalah, atau bersombong ria saat mereka menang. Dalam level tertingginya, makrifat dalam sepak bola membuat anda paham sepenuhnya teorema “Dalam sepak bola ada menang dan kalah”. Dan itu yang akan membantu anda menjadi santai dan kalem.

Level makrifat seorang pendukung pun berbeda-beda. Ada yang memuja pragmatisme dalam sepak bola, ada yang memuja sepak bola atraktif. Itu semua, sekali lagi, tidak salah. Anda bebas menentukan gaya apa yang anda sukai dalam menikmati sepak bola, dan sekali lagi, anda akan terbiasa melihat Chelsea yang parkir bus, atau Barcelona dan Bayern Muenchen yang atraktif tanpa perlu menghujat satu sama lain. Kalau Jose Mourinho sampai pensiun mau melanggengkan strategi parkir bus ya silakan. Atau Arsene Wenger yang sampai nanti juga akan melanggengkan Wengerball-nya yang konon, kini mulai usang itu, juga bebas. Semuanya masih dalam koridor yang sama, dengan catatan, anda bisa mencapai makrifat perihal sepak bola. Pertanyaannya, bisa atau tidak anda mencapai level itu? Seorang sufi saja bisa bertahun-tahun untuk bisa mencapai level tertinggi dalam ber-manunggaling itu. Dan butuh upaya dan kesadaran yang tidak sedikit untuk bisa ikhlas dan tawadhu’ dalam mendukung, menikmati dan mempelajari sepak bola.

BACA JUGA:  Mimpi Sedekade Persiraja dan Masyarakat Aceh

Jadi, dalam menjawab pertanyaan sampai kapan seorang fans bisa berhenti dikatakan sebagai karbitan?adalah saat anda dengan sadar mencapai makrifat tertinggi perihal sufisme terhadap sepak bola. Yakin sanggup? Kalau pun tak sanggup, tenang saja, anda tinggal belajar mengakrabkan mata dan telinga untuk melihat, membaca dan mendengar penulisan dan penyebutan “karbitan” dalam hidup bersepak bola anda sampai nanti, entah sampai kapan. Sampai Arsenal menjuarai Liga Champion untuk pertama kalinya, mungkin?

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.