Darah Pekanbaru dalam Nadi Herman Dzumafo

Dibanding daerah lainnya, kultur sepakbola di Pekanbaru bisa dikatakan belum kuat. Jangankan di level nasional, di region Sumatra saja nama Pekanbaru masih tertinggal dari Medan, Padang, dan juga Palembang. Padahal kota yang diresmikan pada 23 Juni 1784 ini mempunyai kesebelasan yang cukup terpandang yakni PSPS.

Pada era 2000-an silam, PSPS mencuri atensi khalayak dengan merekrut banyak pemain kelas atas berlabel anggota tim nasional Indonesia. Aples Tecuari, Bima Sakti, Erol Iba, Hendro Kartiko, Kurniawan Dwi Yulianto, Sugiantoro, dan Uston Nawawi didatangkan ke Stadion Rumbai.

Harapannya jelas, kubu Askar Bertuah ingin tampil memukau dan bersaing di jalur juara. Sempat menjanjikan di awal musim, upaya PSPS kandas lantaran inkonsistensi performa yang muncul sejak pertengahan musim. Alhasil, mereka kudu puas menghuni papan tengah usai menempati posisi sembilan.

Seiring berjalannya waktu, PSPS kembali ke kodratnya sebagai tim kecil. Kalaupun berita tentang mereka dimuat media nasional, biasanya terkait masalah keterlambatan pembayaran gaji pemain. Walau demikian, saya tetap menggemari PSPS.

Mungkin bagi sebagian orang, saya adalah sosok yang aneh. Pasalnya tak ada hal istimewa yang ada pada diri Askar Bertuah. Namun mereka punya pahlawan masa kecil saya yang sampai hari ini masih dicintai oleh masyarakat Pekanbaru dan sering dibicarakan, entah di kedai kopi maupun dunia maya. Dialah Herman Dzumafo Epandi, striker bongsor asal Kamerun yang kini sudah mengantongi kewarganegaraan Indonesia.

Lahir di Douala, 40 tahun lalu, Dzumafo sudah menekuni sepakbola sejak belia. Setidaknya, ada empat kesebelasan di negeri asalnya yang pernah ia bela. Antara lain Caiman Douala, Cintra Yaounde, Sable, dan Cotonsport Garoua. Uniknya, ketika memutuskan buat merantau, bukan negara-negara Eropa yang jadi tujuan Dzumafo, melainkan Indonesia.

Kesebelasan pertama yang ia perkuat di tanah air adalah PSPS. Saya sendiri sempat mengira bahwa Dzumafo adalah keluarga dari Wali Kota Pekanbaru tahun 2001 sampai 2011, Herman Abdullah. Gara-garanya, dua orang ini memiliki nama depan yang sama.

BACA JUGA:  Manyala Pato, Manyala Borneo!

Sempat diragukan pada awal kedatangannya, pelan tapi pasti Dzumafo berhasil membuktikan kapasitasnya sebagai penyerang ganas dan bikin pendukung fanatik Askar Bertuah jatuh hati. Bagi saya sendiri, perekrutan Dzumafo merupakan salah satu transfer terbaik PSPS sepanjang masa.

Bila sebelumnya Pekanbaru tidak begitu gegap gempita dengan sepakbola, presensi Dzumafo malah memunculkan kondisi sebaliknya. Kawasan Rumbai yang terletak di sisi utara Sungai Siak pun kian ramai dikunjungi oleh mereka yang ingin menyaksikan laga Askar Bertuah.

Badan yang kekar dan tak tergoyahkan, kekuatan tendangan kaki kanan maupun kiri yang luar biasa, kelihaian meliuk-liuk di antara jepitan para bek lawan akhirnya bikin para suporter, termasuk saya, setia menyaksikan laga PSPS kendati stadion itu tak beratap dan dipeluk suhu udara menyengat khas Pekanbaru yang kapan saja bisa membakar ubun-ubun.

Keberadaan Dzumafo mengatrol performa PSPS. Akhir 2009, mereka naik kasta ke Indonesia Super League (ISL) 2009/2010 usai menempati peringkat tiga Divisi Utama 2008/2009. Dalam partai penentuan, mereka menggulung Persebaya dengan skor 5-1.

Musim-musim berikutnya, Askar Bertuah yang beraksi di level tertinggi memperlihatkan performa cukup baik. Salah satu yang paling kondang dari mereka adalah ketangguhan saat bermain di kandang. Dzumafo sendiri terus menjadi andalan pendulang gol. Kepala dan kakinya begitu produktif sehingga menelurkan 60 gol dalam rentang empat musim berbaju PSPS.

Bila Kamerun di era 1990-an mengenang Roger Milla dengan tarian khas di ujung bendera sepak pojok tiap kali mencetak gol, maka warga Pekanbaru tak pernah lupa selebrasi khas Dzumafo yang membuat lambang Z (mengacu pada tokoh Zorro) dengan jari telunjuk.

Sayangnya, PSPS kudu mengikhlaskan kepergian Dzumafo pada tahun 2011. Godaan dari Arema Indonesia tak sanggup dibendungnya.

BACA JUGA:  Mengagumi Ezequiel Gonzales

Cerita itu pun memulai petualangan pria setinggi 186 sentimeter tersebut di tanah air. Pasalnya, ada begitu banyak klub yang ia bela setelahnya. Mulai dari Persib, Sriwijaya FC, Mitra Kutai Kartanegara, Gresik United, Borneo FC, Persela, hingga balik kucing ke PSPS.

Di tengah-tengah petualangannya itu, Dzumafo pun resmi mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Tepatnya pada tahun 2017 silam. Keputusan ini didasari oleh rasa nyaman yang didapatnya selama berkarier di tanah air. Apalagi istrinya juga orang Indonesia.

Sekarang, Dzumafo membela Bhayangkara Solo FC. Meski gaek, ia mengaku siap bersaing dengan nama-nama yang lebih muda buat mengisi lini depan The Guardian. Termasuk penggawa asing asal Chad, Ezechiel N’Douassel.

Di sisi lain, ketiadaan Dzumafo bikin PSPS kehilangan sosok panutan dan pemimpin. Tak heran kalau Askar Bertuah begitu lama berkubang di Liga 2 dan selalu kesulitan naik kasta. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan PSPS untuk bisa kembali mencicipi atmosfer panas di kasta tertinggi sepakbola Indonesia.

Pekanbaru United

Walau lama meninggalkan Pekanbaru, tetapi Dzumafo tak pernah lupa pada kota yang membesarkan namanya di belantara sepakbola nasional. Bekerja sama dengan bos Borneo FC, Nabil Husein, Dzumafo mendirikan sebuah akademi sekaligus klub sepakbola di Kota Bertuah yang diberi nama Pekanbaru United serta siap berlaga di Liga 3.

Dengan ini, Pekanbaru memiliki satu lagi akademi dan klub sepakbola. Harapan besar pun mengemuka yakni semakin banyak talenta-talenta lokal yang beroleh tempat untuk mengembangkan diri dan menjadi pesepakbola profesional di masa datang.

Apa yang dilakukan Dzumafo memang cukup visioner. Sebuah bukti jika ia memiliki kepedulian tentang sepakbola Indonesia, khususnya di Pekanbaru. Bercermin dari itu semua, wajar bila masyarakat menganggap Dzumafo sebagai putra daerah yang merepresentasikan Pekanbaru di ranah global. Ya, Dzumafo adalah Pekanbaru itu sendiri.

Komentar
Pendukung setia PSPS dan Manchester United.