Depresi yang Menghantui Pesepakbola

Penggemar sepakbola era 2000-an tentu tidak asing dengan nama-nama seperti Adriano Leite, Robert Enke, dan Gary Speed. Kebetulan, tiga sosok ini punya kesamaan.

Di balik karier yang cukup prima sebagai pesepakbola, ketiganya justru dilanda depresi, sebuah gangguan mental yang dapat menyerang siapa saja.

Bedanya, nasib Adriano masih lebih baik dibanding dua kompatriotnya itu. Ketika depresi berat, pemain asal Brasil ini mengalami degradasi performa sampai akhirnya pensiun dini. Sementara Enke dan Speed memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.

Enke, penjaga gawang asal Jerman, menyudahi hidupnya pada 10 November 2009 lalu. Sementara Speed, gelandang asal Wales, menyusul dua tahun kemudian, tepatnya pada 27 November 2011. Keduanya diduga sudah lama mengidap depresi.

Masalah kesehatan mental memang menjadi perhatian bagi dunia sepakbola sejak masa lampau. Asosiasi Pesepakbola Profesional (FIFPro) melansir angka gejala depresi pesepakbola profesional yang meningkat dari tahun ke tahun.

Pada Desember 2019 sampai Januari 2020 saja terjadi peningkatan sebanyak 11 persen! Angka yang mengejutkan bukan? Hal tersebut diperburuk dengan mewabahnya Covid-19 di seluruh dunia.

Depresi adalah gangguan mental berupa defisit mood maupun afek. Depresi memiliki tiga gejala utama yaitu afek depresif, kehilangan minat serta hobi, dan kehilangan semangat untuk memulai sesuatu plus mudah lelah saat beraktifitas.

Gejala lain yang sering muncul adalah kehilangan konsentrasi, kepercayaan diri berkurang, perasaan bersalah, pesimis menghadapi sesuatu, gagasan melukai diri sendiri, jam tidur terganggu, serta nafsu makan yang berkurang.

Depresi dikategorikan menjadi empat kategori. Depresi yang pertama adalah depresi ringan (dua gejala utama + dua gejala penyerta), depresi sedang (dua gejala utama + tiga gejala penyerta), depresi berat non-psikotik (tiga gejala utama + empat gejala penyerta), dan yang terakhir adalah depresi berat psikotik (tiga gejala utama + empat gejala penyerta + halusinasi).

BACA JUGA:  Membayangkan Penerus Bambang Pamungkas

Seseorang dinyatakan depresi apabila gejala yang muncul sekurang-kurangnya terjadi selama kurang lebih dua minggu. Dalam dunia sepakbola, banyak faktor yang dapat menjadi penyebab munculnya gejala depresi.

Kehilangan kesempatan bermain, tuntutan untuk selalu menang, persaingan antarpemain yang tidak sehat, ketidakjelasan masa depan, cedera berkepanjangan, kegagalan merengkuh trofi, tekanan dari manajemen, suporter, dan media, hingga masalah di luar sepakbola, bisa menjadi pemantik depresi.

Sebagai contoh, simpang siur kelanjutan penyelenggaraan Liga 1 musim 2020 yang terhenti akibat pandemi Covid-19 dan Pemilihan Umum Kepala Daerah beberapa waktu lalu jelas mempengaruhi psikis para pemain yang merumput di Indonesia dan dapat memicu gangguan mental. Terlebih dalam kekosongan kompetisi, banyak ketidakjelasan mengenai gaji mereka.

Selain itu, kesadaran pemain akan pentingnya kesehatan mental dan akses untuk berkonsultasi kepada pihak berkompeten juga masih minim. Depresi bukanlah suatu kepastian yang akan menimpa para pesepakbola. Pencegahannya pun dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak dan tingkatan.

Federasi sepakbola, misalnya, dapat membuat kebijakan agar setiap klub memiliki psikiater atau psikolog. Pihak klub wajib menciptakan suasana kerja yang kondusif dan memperhatikan kesehatan pemain baik secara fisik maupun psikis. Para staf dapat pula berkontribusi dengan saling memberi perhatian kepada pemain secara optimal.

Bagaimanapun juga, pihak yang terpenting dalam situasi ini adalah para pemain. Persaingan yang sehat serta kondisi ruang ganti yang nyaman tentu dapat menekan potensi lahirnya depresi di antara pemain.

Pihak lain yang juga turut berpartisipasi adalah suporter dan media. Dukungan serta kritik yang diberikan jangan sampai menjadi buah simalakama, diintrepretasikan oleh pemain menjadi sebuah tekanan.

Pemberitaan yang terlalu “sadis” oleh media massa sering menjadi tekanan bagi pesepakbola. Pun dengan ambisi suporter yang ingin melihat timnya begini dan begitu tanpa mau melihat proses yang ada. Dengan kata lain, pencegahan depresi atau gangguan kesehatan mental pesepakbola dapat dilakukan oleh seluruh elemen yang terlibat dalam sepakbola.

BACA JUGA:  Persela dan Cita-Cita Panjang Menuju Kejayaan

Pertolongan pertama dapat dilakukan oleh siapa saja dengan memperhatikan gejala-gejala yang muncul. Seseorang yang sudah mulai menampakkan gejala seperti ini dapat diajak berdiskusi dan bercerita tentang masalah yang dideritanya.

Apabila dengan cara mengobrol belum membantu, pesepakbola dapat diarahkan untuk segera menemui psikiater maupun psikolog terdekat guna berkonsultasi. Dengan begitu, takkan ada kasus seperti Adriano, bahkan Enke atau Speed lagi di dunia sepakbola. Semoga.

Komentar
Lutfi Afifudin, seorang pemuda yang lebih sering membeli buku daripada menabung. Menghabiskan malam dengan gim simulasi bernama Football Manager dan buku-buku. Mencintai sepakbola, buku, politik, dan segala hal tentang pujaan hatinya. Aktif menuangkan keresahan di twitter @koasnonmedis dan laman blog aksaraimu.blogspot.com.