Umat Kristen dan Katolik mengenal tiga jenis diakonia, di mana ketiga terukir dengan jelas di setiap peluh tangis yang Alexis Sanchez korbankan untuk Chile dan Arsenal.
Diakonia berasal dari Bahasa Yunani, yaitu diakonein yang berarti ‘melayani’. Dalam ajaran Kristen, semua umat Tuhan dianjurkan, bahkan dianjurkan untuk menjadi “diaken”. Maksudnya, umat Tuhan harus mempunyai kekuatan dan keiklasan untuk saling melayani.
Pelayanan yang dimaksud bukan dilakukan dalam konteks ibadah (kebaktian), melainkan kemanusiaan. Membantu sesama, pada hakikatnya adalah melupakan semua batasan, baik kepercayaan, agama, suku, ras, dan semua gagasan yang melahirkan dikotomi “jenis manusia”.
Nah, diakonia sendiri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu diakonia karitatif, reformatif, dan transformatif.
Diakonia karitatif mengarah pada tindakan-tindakan karitatif (amal). Pelayanan diakonia ini dilakukan dalam jangka pendek dengan memberikan bantuan secara langsung. Pelayanan ini cepat dirasakan manfaatnya, dan sangat tepat dalam situasi darurat yang amat mendesak dan sangat membutuhkan pertolongan yang bersifat segera, misalnya bencana alam.
Diakonia kedua adalah diakonia reformatif, yang mengarah pada aspek pembangunan, misalnya pembangunan pusat kesehatan. Sehingga, masyarakat kecil dapat dengan mudah mendapat pelayanan kesehatan yang layak dan murah.
Dan, diakonia ketiga adalah diakonia transformatif. Diakonia yang dipelopori oleh Paulo Freire ini merupakan pengembangan dari diakonia karitatif. Jadi, tak hanya berhenti di kegiatan amal yang sifatnya satu arah, melainkan sebuah “pelayanan” untuk memperbaiki kehidupan.
Diakonia ini lahir dari usaha mengikis kemiskinan yang begitu menyayat hati di Amerika Selatan. Jadi, “para diaken” yang terlibat bukan hanya menyalurkan bantuan makan dan kebutuhan kehidupan sehari-hari, melainkan membantu masyarakat kecil memperjuangkan hak-haknya untuk memenuhi kebutuhan.
Biasanya, masyarakat kecil ini kehilangan hak-hak untuk hidup secara layak karena sumber kehidupan mereka dirampas oleh penindas. Kita butuh makan, namun harus mendapatkannya dengan kebebasan. Kita butuh minum, namun kita ingin memperolehnya dengan martabat dan pengharapa. Hak hidup yang lebih manusiawi dan beradab inilah yang menjadi orientasi diakonia transformatif.
Alexis Sanchez dan bentuk pelayanan paling hakiki
Sebagai fans Arsenal, melihat Alexis Sanchez berjuang mati-matian untuk kemenangan tim ibarat sebuah pengingat bahwa hidupmu belumlah sebegitu berat. Mengapa? Coba Anda buka mesin pencari, lalu ketik “profil Alexis Sanchez”. Sebuah kepiluan dan gambaran kerja keras akan Anda dapati.
Seperti kebanyakan pesepak bola dari Amerika Latin, Alexis berasal dari keluarga miskin, di daerah miskin, Tocopilla, sebuah kota miskin, di Chile bagian utara. Ibunya bekerja sebagai tukang bersih-bersih di sebuah sekolah. Hidup serba kekurangan, sang ibu bahkan tak mampu membelikan sepasang sepatu sepak bola untuk Alexis.
Untuk menyambung hidup dan membantu meringankan ekonomi keluarga, Alexis bekerja sebagai tukang cuci mobil. Pemain bernomor punggung tujuh tersebut juga sempat bekerja di sebuah lokasi tambang lokal.
Ketika menginjak usia 16 tahun, sempat terbersit di pikiran Alexis, bahwa ia akan seterusnya bekerja sebagai pekerja tambang. Namun, takdir berbicara lain, ketika bakat sepak bola dalam dirinya tak bisa dibendung oleh kehidupan yang serba kekurangan.
Berkat sepak bola pula Alexis mentas dari kemiskinan. Dari jejak-jejak kerja banting tulang semasa kecil hingga remaja, Alexis mematri kata “pengorbanan dan totalitas” sebagai identitasnya hingga saat ini.
Alexis begitu memaknai dua kata tersebut dalam kesehariannya. Bukan hanya yang berkaitan langsung dengan dinamika pertandingan. Alexis menunjukkannya dalam sikap dan kebersihan hati yang ia tunjukkan. Ia tak lupa betapa pedihnya kemiskinan dan susahnya untuk berbahagia.
Pemain yang berjuluk El Nino Maravilla ini merupakan seorang Katolik yang taat. Ajaran agama yang mendalam, ditambah kepekaan kepada kesusahan membuat Alexis tak asing dengan sikap-sikap diakonia.
Sebagai wujud diakonia karitatif dan reformatif, Alexis membangun lima lapangan sepak bola dengan rumput sintetis di Tocopilla. Ia ingin anak-anak berbakat di kota asalnya tak hanya bermain sepak bola menggunakan bola lusuh dan sebongkah batu sebagai tiang gawang.
Pembaca pasti paham bahwa Amerika Latin merupakan salah satu penghasil pemain-pemain muda berbakat yang begitu diminati klub-klub kaya di Eropa. Siapa tahu, akan banyak “Alexis Sanchez berikutnya” dari lapangan rumput sintetis yang dibangun oleh Alexis di Tocopilla.
Inilah bentuk diakonia transformatif yang Alexis tunjukkan. Ia tak hanya beramal dengan mengeluarkan uang untuk membangun, mewujudkan lapangan rumput sebagai bentuk diakonia reformatif. Alexis mengajak anak-anak dari keluarga miskin dengan bakat terpendam untuk terus bekerja keras dan disiplin.
Lewat “pelayanan” untuk negaranya, Alexis tak perlu lagi dipertanyakan. Beberapa hari yang lalu, ketika belum sepenuhnya bebas dari cedera otot, Alexis bermain untuk Chile menghadapi Uruguay.
Ia mencetak dua gol indah, salah satunya dengan adu lari dan adu fisik dengan bek Uruguay. Alexis menyeret bek tersebut ketika berlari bersama bola. Dengan kaki yang belum sepenuhnya bebas dari rasa sakit, ia mencetak gol sensasional. Chile menang tipis, 2-1.
Belum selesai di situ, dengan paha terbebat, ia membantu Arsenal melayani Manchester United di Old Trafford. Ia nampak payah ketika mengejar bola. Raut wajahnya berteriak, menunjukkan rasa nyeri yang seperti tak tertahankan meletup-letup di pahanya yang masih cedera.
Hebatnya, Alexis bermain penuh, ia tak mengeluh, memeras peluh, untuk Arsenal yang tak kunjung solid penuh. Alexis merupakan “diaken sepak bola” paling sahih. Ia melayani entitas yang tengah ia bela, sepenuh hati, seiklas luas.
Sebagai umat Tuhan, Alexis memberi contoh dengan tindakan, bukan hanya khotbah kosong belaka. Ia berkhotbah ketika peluhnya mengucur deras. Ia berkhotbah, ketika cedera otot yang bisa saja menyudahi kariernya tak dipedulikan dan tetap melakukan sprint membantu bek sayap Arsenal yang kepayahan.
Dan Alexis melakukannya secara iklas. Ia menikmati kerja pelayanan. Ia adalah pemain yang bersedih ketika sesi latihan berakhir. Ia adalah pemain yang rela mati di atas lapangan asal entitas yang ia bela tak jatuh dalam “kemiskinan prestasi”.
Kerja keras, iklas, dedikasi. Tiga atribut diakonia Alexis Sanchez. Tiga atribut pelayanan paling hakiki. Seperti trinitas, yang menetas dalam tiap pelayanan tuntas.