Pada menit akhir babak kedua dan di tengah gemuruh penonton Estadio Da Luz, Lisbon, Portugal, yang membahana malam 25 Mei 2014 itu, Diego Simeone tidak terlihat lunglai. Pelatih Atletico de Madrid ini tetap memberi semangat kepada pemainnya. Mantan gelandang bertahan enerjik ini tetap mengangkat tangannya tinggi-tinggi, seolah berkata kepada pemainnya; “Hei, pertandingan belum berakhir!”
Namun pria ini juga tahu, mustahil rasanya melawan Raja Eropa dengan gelar Liga Champions terbanyak di babak tambahan dengan pemain yang sudah hancur secara stamina dan mental.
Baru saja, lompatan Sergio Ramos di menit ke 90+3 menghancurkan mimpinya untuk membuat Atletico berdiri sejajar dengan klub-klub besar Eropa. Mimpi yang bisa membuatnya menghancurkan duapoli Liga Spanyol di pentas nasional dan internasional musim 2013/2014.
Tinggal mengamankan hasil 1-0 sampai injury time babak kedua, kiper Atletico saat itu, Thibaut Courtois, harus memungut bola dari gawangnya saat comeback Real Madrid menghancurkan Atletico dengan skor telak 1-4 pada babak perpanjangan waktu.
“Gol Ramos adalah tragedi buat kami. Mereka bermain lebih baik daripada kami di babak tambahan. (Namun) kami telah melakukan yang terbaik,” ujar Gabi, kapten Atletico kala itu.
Simeone boleh saja bersedih, tapi siapapun yang menyaksikan perjuangan anak-anak Atletico bertarung sepanjang musim itu tahu bahwa mereka sudah melakukan segalanya untuk menjadi yang terbaik di Eropa. Bahkan, boleh dibilang Atletico telah melakukan lebih baik dari yang seharusnya.
Populernya kembali high pressure team
Sepekan sebelum laga final Liga Champions 2013/2014 yang dramatis itu—dari proses yang hampir sama, lompatan Diego Godin di Camp Nou memastikan keberhasilan Atletico merebut tahta La Liga dari Barcelona. Tahta yang tidak hanya menegaskan mereka adalah yang terbaik di tanah Spanyol, namun juga jadi penanda berubahnya tren taktik sepak bola di Spanyol sekaligus di benua Eropa.
Harus diakui, sejak Barcelona begitu dominan di Spanyol dan Eropa sejak musim 2008/2009 dengan tiki-taka-nya, tren sepak bola yang mengandalkan ball possession mendadak jadi contoh bagi seluruh klub di dunia. “Lihat bagaimana Barcelona bermain,” atau, “lihat bagaimana Xavi bermain. Itulah cara bermain sepak bola yang benar.”
Tren permainan tiki-taka sempat begitu superior. Sekalipun tidak selalu menghasilkan kemenangan di tiap pertandingan, setidaknya Barcelona masa itu tidak pernah mengubah gaya bermain ketika bertemu dengan siapapun—sekalipun ketika mereka diluluhlantakkan (dengan agregat) 0-7 oleh FC Bayern pada musim 2012/2013.
Sejak musim di mana Bayern begitu dominan dengan treble winner-nya pada era kepelatihan Jupp Heynckes, “kematian” tiki-taka sejatinya sudah mulai terlihat. Toh, berjarak beberapa pekan, pada partai final Piala Konfederasi 2013, tanda-tanda kematian tiki-taka ini pun semakin nampak oleh suksesornya; timnas Spanyol, yang dihancurkan Brasil dengan skor telak 0-3. Baru pada gelaran Piala Dunia setahun kemudian, tiki-taka benar-benar menemui ajalnya di tangan timnas Belanda yang diwarnai gol “The Flying Dutchmen” Robin Van Persie.
Hancurnya dominasi tiki-taka juga ditandai dengan munculnya tren sepak bola yang dipopulerkan (lagi) oleh Simeone dengan high pressure team-nya yang penuh determinasi. Sebuah ciri permainan yang sejatinya kerap kita temui oleh tim-tim medioker ketika bertemu tim yang jauh lebih superior.
Pendekatan permainan semacam ini sebenarnya sudah bertahun-tahun digunakan Jose Mourinho di mana pun ia melatih. Paling tidak, hal tersebut semakin terlihat sejak Mourinho datang ke Chelsea untuk kali pertama setelah mengantarkan FC Porto meraih gelar Liga Champions musim 2003/2004.
Mourinho kerap diidentikan dengan permainan yang disebut banyak haters sebagai anti-football. Ketika klub yang dilatih sejatinya mampu bermain menghibur, Mourinho justru kerap kali memainkan pertahanan yang dalam, menyerap sebanyak mungkin tekanan lawan, kemudian membunuh di saat lawan lengah. Dan di saat timnya sudah unggul, Mourinho akan “membunuh” pertandingan untuk mengamankan hasil.
Namun alih-alih dipandang sebagai sebuah “karya seni”, taktik ala Mourinho ini sering diledek sebagai upaya pengecut dari sebuah tim yang sejatinya mampu bermain lebih dari itu. Tengok saja, sejak datang ke Chelsea pada tahun 2004, Mourinho selalu mampir di klub-klub yang berisikan pemain-pemain hebat dan punya dana melimpah.
Menjadi wajar kemudian makin banyak haters yang bermunculan karena kesempatan untuk melihat klub bermain sehebat materi pemainnya macam Internazionale, Real Madrid, dan kini kembali ke Chelsea lagi jadi sia-sia belaka.
Coba saja bayangkan, Anda pernah punya pemain sehebat Samuel Eto’o, Cristiano Ronaldo, dan sekarang Eden Hazard? Lalu Anda sia-siakan talenta mereka untuk ikut sibuk merebut bola. Oke, kalau Anda tidak punya gelandang super semacam Wesley Sneijder, Mesut Ozil, dan sekarang Cecs Fabregas mungkin itu soal lain, tapi masalahnya Anda punya. Apa masuk akal kemudian kalau dengan pemain sekaliber itu Anda akan bermain terlalu dalam dan hanya mengandalkan serangan cepat tanpa berupaya menunjukkan permainan menghibur? Hm, bukankah rasanya mubazir sekali?
Beda Simeone beda Mourinho
Sekilas saja, jika kita melihat pola permainan Atletico Madrid sejak diasuh Diego Simeone, maka kita harus akui akan melihat bagaimana ada sedikit pendekatan ala Mourinho di sana.
Lihat saja statistik musim di mana Atletico menjuarai La Liga. Data dari ESPN menunjukkan bahwa Atletico rata-rata selalu bermain dengan penguasaan bola di bawah 50% (tepatnya 48,9%) selama semusim. Artinya, pendekatan Atletico bukanlah mengenai dominasi permainan, tapi fokus mengejar kemenangan.
Lantas apa yang membuat pelatih yang juga pernah bermain untuk Atletico ini berbeda dari Mourinho?
Selain soal kemampuannya dalam memaksimalkan sumber daya pemain yang—jelas—tidak se-“super” yang pernah dipunyai Mourinho, Simeone memainkan garis pertahanan tinggi kepada para pemainnya, mempersempit lapangan, memburu bola bahkan sejak berada di sepertiga area lawan. Hal yang jelas beda dengan Mourinho yang lebih suka menyerap serangan demi serangan lawan dengan pertahanan dalam.
Tidak bisa dipungkiri memang, salah satu keunggulan Atletico di bawah asuhan Simeone adalah kesuksesannya memaksa pemain untuk mati-matian bekerja demi tim. Hal ini tentu mengingatkan kita akan cara bermain Simeone sendiri kala masih merumput dulu; pantang menyerah, ngotot, dan penuh determinasi.
Namun, sekeras apapun usaha seorang pemain jika tidak dibarengi dengan sistem permainan yang tepat maka hasilnya tentu tidak akan maksimal. Itulah mengapa, untuk mendukung agresitivitas pemainnya, Simeone selalu menekankan seluruh pemainnya untuk bergerak secara bersama-sama. Menyempitkan ruang permainan. Pressing dan pressing.
Agresitivas ini membuat Atletico begitu digdaya dalam pertarungan perebutan bola. Dari setiap klub di La Liga, mereka rata-rata memenangkan 24,6 tekel per laga. Artinya, jauh lebih tinggi 20% dari rata-rata seluruh klub di Spanyol (sumber: ESPN). Tekanan yang mahadahsyat inilah yang begitu ditakuti oleh setiap lawan Atletico.
Lawan terhormat bagi Carlo Ancelotti
Sebelum laga perempatfinal yang kedua antara Real Madrid dan Atletico Madrid pada ajang Liga Champions malam kemarin, Carlo Ancelotti mengakui bahwa Simeone adalah salah satu lawan yang paling dihormatinya.
“Menghadapinya (Simeone) adalah kehormatan bagi saya, tetapi pada saat yang sama juga merupakan masalah,” ujar mantan gelandang bertahan AC Milan ini.
Dalam memo pribadi Ancelotti, seperti yang ditulis Ian Hawkey, wartawan olahraga The Telegraph, ia mengakui bahwa Atletico di bawah asuhan Simeone mempunyai tempat khusus dalam sejarah karirnya. Layaknya Juventus era Marcelo Lippi atau Liverpool di Final Istanbul 2005. “Salah satu kenangan terbaik dalam karir saya adalah ikut terlibat dalam pertandingan melawan Atletico,” katanya memuji.
Pujian ini bukan tanpa sebab. Praktis, sebelum Ancelotti mampu mengalahkan pasukan Simeone dengan skor tipis 1-0 di Santiago Bernabeau lewat gol Chicharito dan membuat Madrid melenggang ke semifinal Liga Champions musim ini, Madrid belum pernah sekalipun menang—termasuk ketika dibantai 0-4 di ajang La Liga.
Namun, beda di kompetisi lokal beda di Eropa. Selain memiliki “DNA” Liga Champions, Ancelotti benar-benar membuktikan siapa yang lebih berpengalaman sebagai pelatih. Ancelotti boleh saja kalah dalam catatan kemenangan melawan Simeone sepanjang musim, namun pelatih yang telah meraih tiga gelar Liga Champions ini mampu menang di laga yang lebih menentukan dan di situasi yang lebih krusial daripada Simeone.
Tak perlu alasan njlimet mengapa begitu. Sekalipun keduanya merupakan mantan pemain yang memiliki tipikal hampir sama; gelandang bertahan yang penuh diterminasi. Ancelotti memiliki guru yang lebih baik daripada Simeone, terutama soal penerapan taktik high pressure kepada timnya. Siapa? Ya, betul, Arrigo Sacchi.
Meskipun begitu, siapapun tahu, kekalahan Atletico dengan skor tipis 0-1 adalah usaha yang patut diapresiasi lebih, terutama melihat fakta bahwa Simeone berhadapan dengan skuat bintang Los Galacticos di kandang mereka dan hanya bermain dengan 10 pemain sejak Arda Turan dikeluarkan pada menit ke-76.
Dan sekali lagi, Atletico sudah melakukannya dengan lebih baik daripada yang seharusnya.
Gracias, Diego!