Bung Hatta Sebagai Pencinta Sepak Bola

Terdapat kisah unik mengenai Mohamad Hatta yang jarang terekspos media massa. Siapa sangka jika di balik sosoknya, Bung Hatta adalah penggila sepak bola.

Di Plein van Rome, lapangan sepak bola yang terletak di alun-alun kota Padang, ia seringkali menghabiskan waktu masa remaja dengan bermain sepak bola.

Di lapangan yang terletak di depan kantor Geemente (semacam walikota) itu ia bergabung dalam klub sepak bola Young Fellow. Para pemainnya terdiri atas anak-anak Belanda dan pribumi.

Hebatnya, klub ini pernah menjadi juara se-Sumatera selama tiga tahun berturut-turut. Dan, Hatta muda adalah salah satu pilar klub (Majalah Tempo 18 Agustus 2001).

Marthias Doesky Pandoe, wartawan gaek dari Padang, menyimpan kenangan tentang periode ini. Menurut Pandoe, teman-teman Hatta yang pernah ditemuinya bercerita bahwa proklamator itu suka menempati posisi sebagai gelandang tengah—sesekali menjadi bek—yang tangguh. Orang-orang Belanda memberinya julukan onpas seerbaar (sukar diterobos begitu saja).

Rahim Oesman, bekas sahabatnya di MULO berkisah, ia adalah tukang jinjing sepatu bola milik Hatta. Dengan menenteng sepatu itu, ia bisa masuk dengan leluasa ke arena pertandingan dan menonton pertandingan dengan gratis.

Namun sayang, saat melanjutkan studi di Belanda, tak ada keterangan apakah Bung Hatta tetap gemar bermain sepak bola. Yang pasti, di negeri tulip itu, Hatta muda lebih dikenal sebagai mahasiswa berpandangan pemberontak-revolusioner. Sebagai ketua Perhimpunan Indonesia (PI), ia menelorkan gagasan-gagasan orisinilnya tentang kemerdekaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Tulisannya yang dipublikasikan lewat majalah Hindia Poetra. Dengan bersenjatakan pena, ia menusukkan gagasan anti-kolonialismenya di negeri kolonial. Berani, tegas, kritis, berjiwa merdeka.

Tak heran ia sempat mendekam di penjara. Di Den Haag, tempat ia diadili, dengan penuh percaya diri ia membacakan pledoinya. Ruangan itu seakan bergetar tatkala ia mengucapkan kalimat penutupnya: “Hanya satu tanah air yang dapat disebut tanah airku. Ia berkembang dengan usaha, dan itu usahaku.”

BACA JUGA:  Tentang Rodri: Bakat, Pendidikan, dan Kesederhanaan

Kepulangan dari Belanda

Datang dari Rotterdam pada tahun 1932, jiwa mudanya masih meletup-letup. Gagasan tentang kemerdekaan membuatnya dipenjara di Glodok, Jakarta pada 1934. Tak puas, Belanda mengasingkannya ke Boven Digoel yang disebutnya sebagai “neraka dunia”. Inilah Gulag Siberia-nya Hindia Belanda.

Tak ada kisah bahwa Bung Hatta masih bermain bola untuk menghabiskan waktu di tengah ketidakpastian. Cerita yang ada di sini adalah tentang Sang Proklamator yang membaca setiap sore, mengajarkan ilmu ekonomi dan filsafat dalam sepekan, serta menulis kolom untuk surat kabar Pemandangan sebulan sekali.

Tak sampai sepuluh bulan menghuni tempat itu, Bung Hatta bersama Bung Syahrir dipindahkan ke Banda Neira. Di kota yang pernah dijuluki Klein Europeesch Stad (kota Eropa kecil) itu, suasana lebih tenteram. Bung Hatta lagi-lagi menghabiskan waktu dengan membaca, menulis dan mengajar. Nah, di sini, hobi sepak bola beliau kambuh.

Di Banda Neira, Bung Hatta memiliki kedekatan dengan keluarga Baadilla, keturunan bangsawan Arab. Des, Does, Lily, Mimi, dan Ali adalah cucu Baadilla yang dijadikan anak angkat Bung Hatta dan Bung Syahrir. Nama pertama belakangan dikenal dengan nama Des Alwi, kolektor film dokumenter sekaligus mantan diplomat.

Des Alwi bercerita, kaca jendela rumah Om Kacamata, begitu Des dan saudaranya memanggil Bung Hatta, hancur berantakan akibat terkena bola yang ditendang Des. Menurutnya, selama delapan tahun pengasingan, Bung Hatta dan Bung Syahrir membunuh rasa sepi dengan memetik anggrek, mendaki gunung, dan bermain sepak bola! Rupanya, di pengasingan ini, hobi bermain sepak bola Bung Hatta kembali tumbuh.

Sayang, saat Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia (PSSI) didirikan oleh Ir. Soeratin Sosrosoegondo pada 1930, Bung Hatta masih di Belanda. Karena saat itu merupakan zaman tumbuhnya nasionalisme, sepak bola dan PSSI dipakai oleh Soeratin bersama para kompatriotnya sebagai landasan menuju kemerdekaan.

BACA JUGA:  Tak Ada Turnamen Pra-Musim di Indonesia

Soeratin sengaja menggunakan bahasa Indonesia untuk nama organisasinya, untuk meneguhkan identitas ke-Indonesiaan menuju kemerdekaan. Karena rasialisme dan diskriminasi terhadap inlander masih kuat, Belanda membentuk NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) sebagai tandingan PSSI pada Juli 1935.

PSSI melakoni debut timnas pertama kali pada 7 Agustus 1937 yang dihelat di Semarang. Para speeler timnas berasal dari Persis Solo, PSIM Yogyakarta, dan PSIT Cirebon. Setahun kemudian ketika Hindia Belanda diundang untuk berlaga di Piala Dunia 1938 menggantikan posisi Jepang, PSSI sempat memiliki kans untuk mengirimkan tim tapi kemudian tim bentukan NIVU-lah yang berangkat dengan restu pemerintah kolonial.

Sayangnya, dalam dua momentum bersejarah ini, Bung Hatta masih berada di pengasingan. Seandainya saja ia ada di Jawa, di sela waktu senggangnya, mungkin beliau akan ikut menyaksikan debut timnas melawan Nan Hwa, tim asal Tiongkok yang tengah melawat ke Jawa.

Ternyata, setelah kemerdekaan, dan menjadi tokoh penting negara, ia tak pernah melewatkan menonton pertandingan. Perlu diketahui, Bung Hatta adalah salah satu dari dua tokoh—selain Sultan Hamengko Buwono IX, yang saat itu menjadi ketua KONI—yang mendapatkan undangan untuk menonton pertandingan sepak bola dari Ali Sadikin (Ketua PSSI 1977-1981).

Pada usia senja, salah satu Dwitunggal ini tetap suka sepak bola dan mengenang Plein van Rome. Pada awal 1970-an, tatkala Marthias Doesky Pandoe bertamu di rumahnya, Bung Hatta sekonyong-konyong bertanya, “Di mana letak Plein van Rome sekarang?”

Pandoe menjawab, lapangan bolanya masih ada, tapi sudah beralih fungsi menjadi alun-alun kota Padang. Namanya sudah menjadi Lapangan Imam Bonjol, tepat di depan kantor Balai Kota Padang.

Wallahu A’lam Bisshawab

Komentar
Pecinta Persebaya dan penggemar tayangan "Laptop Si Unyil". Saat ini mengelola penerbitan buku dan mengajar di dua perguruan tinggi.